Daftar isi
Indonesia sempat mengalami masa di mana masyarakatnya belum mengenal tulisan. Namun hal masa ini berakhir pada abad ke 4. Sejak saat itu masyarakat Indonesia sudah bisa menulis meskipun belum menyeluruh.
Hal tersebut terbukti pada prasasti yupa yang merupakan peninggalan kerajaan Kutai. Hingga saat ini Indonesia menggunakan huruf alfabet yang terdiri dari 26 huruf. Namun ternyata kita memiliki huruf atau aksara sendiri lho. Keberadaan mereka sekarang sudah sangat jarang digunakan bahkan terancam punah. Berikut adalah aksara asli dari Indonesia yang perlu kamu ketahui.
Aksara Pallawa atau dikenal sebagai aksara Pallava adalah aksara kuno yang sering digunakan pada masa awal kerajaan di Nusantara khususnya kerajaan bercorak Hindu-Budha. Aksara ini banyak terdapat pada prasasti-prasasti kuno seperti Prasasti Talang Tuwo, Prasasti Yupa dan lain sebagainya.
Aksara ini diketahui berasal dari India Selatan tepatnya dari Dinasti Pallava dengan bahasanya yakni bahasa Sansekerta. Aksara ini bermula dari aksara Brahmi yang berkembang pada pertengahan milenium pertama sebelum Masehi. Selain bahasa Sansekerta, aksara ini yang erkembang menjadi aksara Tamil ini juga digunakan dalam bahasa Tamil, Sansekerta, Saurashtra, dan Jawa Kuno.
Aksara ini bisa sampai ke kawasan Asia Tenggara karena dibawa oleh para pendeta, biarawan, cendekiawan, dan pedagang. Di Indonesia, aksara ini kemudian berkembang menjadi aksara Sunda, Bali dan Kawi.Sedangkan di kawasan Asia Tenggara lainnya berkembang menjadi aksara Khmer, Lanna, Lao, Sen Alfabet Tai Lue Baru, dan Thai.
Saat ini, aksara Pallawa telah punah sejak abad ke 10. Masehi.
Aksara Kawi adalah sebutan untuk huruf jawa kuno yang digunakan pada abad ke 8 sampai abad 16 dan digunakan khusus di Pulau Jawa. Aksara ini menggunakan sistem abiguda yang artinya setiap hurufnya mewakili satu suku kata. Setiap huruf dari aksara kawi berakhiran /a/ namun dapat diubah-ubah sesuai dengan tanda baca yang digunakan.
Asal-usul aksara ini yakni berasal dari aksara Pallava atau Pallawa. Aksara tersebut mengalami perubahan bentuk aksara menjadi lebih sederhana. Penyederhanaan ini berlangsung pada abad ke 8 Masehi. Jumlah huruf pada aksara Kawi adalah 47 huruf dan dalam penulisannya tidak menggunakan spasi.
Perbedaan aksara Pallawa dengan aksara Kawi adalah aksara Jawa Kuno terdapat huruf vokal e pepet dan vokal e pepet panjang sedangkan aksara Pallawa tidak memilikinya. Aksara Jawa kuno lebih banyak menggunakan viarama sedangkan aksara Pallawa penggunaannya hanya di akhir kalimat saja.
Huruf Kawi berkembang dalam tiga tahap yakni Aksara Kawi Awal yang digunakan pada tahun 750–925 M. Contoh Aksara Kawi Awal terdapat pada prasasti Dinoyo (Malang), prasasti Sangkhara (Sragen) dan prasasti Plumpungan (Salatiga). Tahap kedua adalah Aksara Kawi Akhir yang digunakan pada tahun 925–1250 M seperti pada prasasti dari Kerajaan Medang dan Kerajaan Kediri. Tahap yang terakhir adalah Aksara Majapahit pada tahun 1250–1450 M yang dapat dilihat pada prasasti peninggalan kerajaan ini.
Sesuai dengan namanya, aksara ini adalah huruf yang berkembang di Pulau Bali. Aksara yang disebut juga sebagai Hanacaraka ini digunakan oleh para sastrawan Bali pada pertengahan abad ke 15. Aksara Bali merupakan hasil pengembangan dari aksara Jawa Kuno atau Kawi.
Pada awalnya, aksara ini digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta, Bali dan Kawi namun berkembang hingga mencakup bahasa Sasak dan bahasa Melayu dengan sedikit perubahan.
Jumlah aksara Bali berbeda-beda tergantung pada bahasa yang digunakan namun berkisar antara 18-33 huruf dasar. Seperti aksara sebelumnya, aksara Bali juga merupakan tulisan abugida atau alfasilabel. Biasanya orang Bali kuno menulis aksara ini di atas daun lontar.
Bentuk aksara Bali terdiri dari 2 bentuk yakni aksara dan diakritik:
Aksara adalah huruf dasar yang mewakili satu suku kata yang dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
Diakritik atau disebut juga sebagai panganggĕ yakni tanda baca yang melekat pada aksara yang aksara untuk mengubah vokal inheren aksara tersebut. Diakritik terdiri dari dua jenis yaitu:
Aksara Lontara adalah aksara yang berkembang di Indonesia terutama di wilayah Sulawesi Selatan namun juga dapat ditemukan di Bima, Sumbawa timur dan Ende, Flores . Aksara ini diterapkan dalam penulisan bahasa Bugis dan Makassar sehingga kerap disebut juga sebagai aksara Bugis, aksara Bugis-Makassar, atau aksara Lontara Baru. Bahasa lain yang menggunakan bahasa Lontara adalah bahasa Mandar dan bahasa Toraja.
Sama seperti aksara Bali, induk dari aksara Lontara adalah aksara Jawa Kuno dan masih termasuk sebagai perkembangan aksara Pallawa. Aksara ini mulai digunakan sejak abad 16 dan bertahan hingga abad 20. Penggunanya adalah para sastrawan namun ada juga yang menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Selayaknya turunan aksara Pallawa Lainnya, aksara Lontara juga merupakan huruf abugida dengan 23 aksara dasar. Berbeda dengan aksara Bali yang ditulis di atas daun lontar, aksara ini sudah ditulis di atas kertas. Aksara ini memiliki 5 tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama atau dikenal dengan istilah diakritik. Namun sebenarnya aksara Lontara tradisional tidak memiliki diakritik.
Aksara Sunda Kuno adalah aksara tradisional Indonesia lainnya yang jua berembang di Pulau Jawa khususnya untuk suku Sunda di Jawa Barat. Aksara ini masih merupakan perkembangan dari aksara Pallawa yang digunakan pada abad ke-14 sampai abad ke-18.
Kepunahan aksara ini terjadi ketika Kerajaan Mataram Islam memperluas wilayahnya hingga ke Priangan. Akibatnya kebudayaan Sunda tergantikan dengan budaya Jawa termasuk aksaranya.
Serupa dengan aksara Bali, aksara Sunda Kuno juga dituliskan di atas daun lontar yang diukir dengan menggunakan pisau. Aksara ini digunakan dalam beberapa naskah kuno diantaranya adalah Bujangga Manik, Sewaka Darma, Carita Ratu Pakuan, dan Carita Parahyangan.
Ada 4 jenis aksara Sunda diantaranya adalah sebagai berikut: