Daftar isi
Pasar tradisional banyak dijumpai di setiap kota di Indonesia, tak hanya di kota kecil tingkat kabupaten, namun pasar tradisional juga mudah ditemui di kota besar.
Pasar Tradisional merupakan tempat kegiatan berdagang yang cara transaksinya memakai cara tradisional, pembeli dan penjual bisa melakukan tawar menawar harga barang. Pasar tradisional biasanya terletak di lokasi yang mudah dijangkau masyarakat dan menjual kebutuhan pokok.
Pasar tradisional di Indonesia dikelola oleh pemerintah daerah dan rata-rata pasar tradisional yang besar sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Berikut 7 pasar tradisional yang terkemuka di Indonesia beserta sekilas sejarah berdirinya.
Pasar tradisional yang terkemuka di daerah Banda Aceh ini juga merupakan pasar terbesar di Aceh. Diambil dari bahasa Cina, Peunayong, yang memiliki arti memayungi. Memang di daerah pasar Peunayong adalah daerah yang didiami masyarakat etnis China atau Tionghoa, etnis India dan juga Persia.
Kawasan Peunayong adalah wilayah kota tua di kota Banda Aceh, sejarah mencatat bahwa para pedagang dari Cina datang dan berdagang serta menetap di sana, namun ada juga yang datang sebagai pedagang musiman.
Kegiatan berdagang menjadi mata pencaharian masyarakat Peunayong, pasar Peunayong sudah ada sejak abad ke-17. Dahulu, Belanda memang merancang wilayah Peunayong sebagai wilayah pecinan dan hingga saat ini pasar Peunoyang menjadi pusat penjual daging dan selalu ramai di bulan Ramadhan.
Saat ini pemerintah Kota Banda Aceh mengubah pasar Peunoyang menjadi kawasan wisata kuliner sebagai daya tarik wisatawan.
Pasar Gedhe, sesuai dengan namanya adalah pasar terbesar ke-3 di Indonesia. Pasar iniadalah pasar induk terbesar di kota Surakarta atau dikenal juga kota Solo. Pasar Gedhe adalah pasar legendaris yang dibangun pada tahun 1927.
Pasar tertua di kota Solo ini berdiri bersamaa dengan Keraton Kausanan Surakarta. Di zaman kolonial Belanda pasar ini masih belum sebesar saat ini dan lokasinya ada di persimpangan jalan kantor gubernur yang saat ini menjadi Balaikota Surakarta.
Pasar Gedhe mengalami beberapa kali pemugaran, di tahun 1927 pasar Gedhe direnovasi oleh arsitek belanda bernama Thomas Kartsen. Renovasi tersebut menjadikan pasar Gedhe sebagai pasar bertingkat dua pertama di Indonesia.
Pada tahun 1930 pasar Gedhe diresmikan oleh Paku Buwono X dan diganti nama menjadi pasar Gedhe Hardjonegoro. Nama Hardjonegoro diambil dari seorang rakyat Solo keturunan tionghoa yang diberi gelar KRT oleh Keraton Surakarta.
Pasar gede mengalami renovasi dan perbaikan bangunan selama beberapa dekade, namun asritektur asli masih dipertahankan hingga saat ini. Berbagai kebutuhan dijual di pasar Gedhe, mulai dari bahan pokok, peralatan rumah tangga, kerajinan tangan terutama batik hingga makanan tradisional khas Solo.
Pasar Gedhe tak hanya mencukupi kebutuhan masyarakat namun juga menjadi daya tarik wisatawan dalam negeri dan manca negara.
Siapa yang tidak tahu jalan Malioboro, ikon kota Yogyakarta. Di jalan Malioboro juga dapat kita temukan pasar terbesar di Yogyakarta yaitu pasar Beringharjo. Pasar ini termasuk pasar tradisional yang legendaris dan sudah berdiri sejak tahun 1925.
Dinamakan pasar Beringharjo karena dahulu wilayah tersebut adalah hutan beringin, jauh sebelumnya di wilayah tersebut dijadikan tempat berdagang oleh masyarakat Yogyakarta. Pada tanggal 24 Maret 1923, keraton Yogyakarta meminta Nederlansch Indisch Beton Maatschappij, perusahaan beton Hindia Belanda di Surabaya, untuk membangun los-los pasar.
Nama Beringharjo diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII padat tanggal 24 Maret 1925, pasar Beringharjo memiliki nilai historis sama halnya dengan Kraton Yogyakarta yang melewati 3 masa, masa kerajaan, penjajahan dan kemerdekaan.
Pasar Beringharjo menjual berbagai keperluan masyarakat sekitar, namun saat ini pasar ini lebih dikenal sebagai tujuan wisata yang menyediakan kerajinan tangan, batik dan juga masakan tradisional khas Yogyakarta seperti gudeg.
Ibukota negara juga memiliki pasar tradisional yang terkenal hingga di seluruh Asia Tenggara, pasar Tanah Abang yang terletak di Jakarta Pusat ini menjadi salah satu pasar tekstil grosir terbesar di Asia Tenggara. Itulah mengapa kita juga menjumpai pedagang dari Arab, Malaysia hingga India di pasar Tanah Abang.
Pasar Tanah Abang dibangun pada tahun 1735, tepatnya pada tanggal 30 Agustus oleh Yustinus Vinck melalui izin dari Gubernur Jenderal Abraham Patramini. Pasar ini dahulu bernama pasar Sabtu, karena hanya buka di hari Sabtu. Keberadaan pasar Sabtu ini dapat bersaing dengan keramaian pasar Senen yang sudah terlebih dahulu berdiri.
Pada saat itu pasar Tanah Abang hanya memiliki izin berjualan kain atau tekstil, sedangkan kebutuhan rumah tangga seperti sembako hanya diperdagangkan di hari Sabtu. Di tahun 1740 terjadi tragedi yang korbannya adalah masyarakat keturunan Cina.
Tragedi di tahun 1740 itu disebut Chineezenmoord, korbannya adalah orang-orang Cina pendatang, harta benda serta daganga mereka dirusak dan dibakar. Selepas tragedi tersebut, pasar Tanah Abang mulai bangkit kembali di tahun 1881, di tahun ini pasar dibuka 2 kali dalam seminggu.
Perdagangan di pasar Tanah Abang semakin menggeliat di awal abad ke-20, karena di masa ini Belanda telah berbaik hati mengembalikan wilayah pemukiman untuk pendatang Cina dan Arab. Di tahun 1926 pemerintah Belanda merenovasi pasar Tanah Abang menjadi bangunan permanen.
Setelah dibangung stasiun Tanah abang, pasar Tanah Abang semakin berkembang. Masjid Al Makmur dan Klenteng Hok Tek Tjen Sien juga dibangun di sekitar Tanah Abang. Hingga saat ini pasar Tanah Abang menjadi pusat tekstil dan berbagai barang yang populer dikunjungi oleh semua orang dari seluruh penjuru.
Semarang juga memiliki pasar tradisional yang cukup besar dan memiliki nilai historis peninggalan zaman kolonial. Pasar Johar di ibukota Jawa Tengah ini memiliki bangunan yang kokoh dan megah, dirancang oleh arsitek Belanda bernama Herman Karsten.
Sejarah pasar Johar berawal di tahun 1860, dahulu pasar Johar adalah pasar tradisional yang berada di sebelah timur alun-alun kota Semarang. Penduduk di sekitar pasar menyebut pasar tersebut pasar Johar karena pasar ini dikelilingi pohon Johar.
Pohon Johar yang mengelilingi pasar tersebut adalah hadiah dari Sunan Pandanara, pohon tersebut ditanam di wilayah pasar agar pasar rindang dan teduh. Pedagang di pasar Johar menjual bahan pokok hasil bumi antara lain jagung, ketela dan pisang.
Pada tahun 1931 pasar Johar dibangun sehingga bangunannya lebih besar karena menggabungkan pasar Pedamaran, Johar, Beteng, Jurnatan dan Pekojan. Di tahun 1955, pasar Johar dinobatkan menjadi pasar termegah dan terbesar di Asia Tenggara. Hingga kini pasar Johar masih berdiri dan dijadikan salah satu situs bangunan bersejarah.
Kota Bukittinggi di Sumatera juga memiliki pasar tradisional yang usianya juga cukup tua, pasar ini bernama pasar Aur Kuning. Pasar ini letaknya menyatu dengan terminal, sehingga setiap harinya pasar ini selalu ramai.
Pasar ini adalah saksi sejarah adanya kerja rodi pada masa kolonial, rakyat Minang dipaksa kerja rodi untuk membangun pasar Aur Kuning. Belanda mengambil pekerja-pekerja dari berbagai wilayah di Minang untuk membangun bangunan pasar ini.
Pembangunan pasar Aur Kuning dilakukan di tahun 1888, dan di tahun 1890 dan 1896 dibangun juga ”Loih galuang” atau los melengkung yang berada di tengah pasar. Perombakan terus dilakukan hingga tahun 1931 untuk memperbarui tampilan bangunan pasar serta membuat bangunan lebih besar.
Pasar Aur Kuning di Bukittinggi ini hingga saat ini masih menjadi salah satu pasar tradisional yang mencukupi berbagai kebutuhan masyarakat dan juga sebagai daya tarik wisatawan.
Meskipun pasar Sukawati menjual benda seni, namun pasar ini bisa dikategorikan sebagai pasar tradisional. Pasar ini termasuk pasar seni yang terkenal di bali, dan baru berdiri di tahun 1983.
Berawal dari para pengrajin sekaligus pedagang yang sering berjualan di Banjar Baluan dan sering ditertibkan oleh Pecalang atau petugas keamanan setempat, mereka meminta tempat kepada pemerintah untuk dapat mengais rezeki.
Pada tahun 1983 Pemda Gianyar membangun 1 unit bangunan pasar, kemudian pembangunan berlanjut dan pada tanggal 25 Mei 1985 pasar Seni Sukawati diresmikan oleh gubernur Bali saat itu, Prof. Dr Ida Bagus Mantra.
Pasar Sukawati menjadi destinasi wisata wajib bagi wisatawan dalam negeri dan mancanegara, pasar seni ini menjual hasil kerajinan tangan dan pernik-pernik khas Bali.