difusi inovasi - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/difusi-inovasi Sat, 01 Apr 2023 17:36:47 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 https://haloedukasi.com/wp-content/uploads/2019/11/halo-edukasi.ico difusi inovasi - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/difusi-inovasi 32 32 6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi https://haloedukasi.com/contoh-penerapan-teori-difusi-inovasi Sat, 01 Apr 2023 17:36:36 +0000 https://haloedukasi.com/?p=42105 Sesuai karakteristiknya, teori Difusi Inovasi yakni mampu mempersuasi atau memengaruhi individu hingga kelompok sosial tertentu. Difusi inovasi secara umum menjelaskan bagaimana sebuah inovasi disebarluaskan melalui berbagai media massa dalam kurun waktu tertentu kepada suatu masyarakat. Ide-ide baru yang awalnya dipandang secara subjektif, melalui sebuah konstruksi sosial, kemudian akan dipandang secara objektif. Inovasi-inovasi tersebut seiring perkembangan […]

The post 6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Sesuai karakteristiknya, teori Difusi Inovasi yakni mampu mempersuasi atau memengaruhi individu hingga kelompok sosial tertentu. Difusi inovasi secara umum menjelaskan bagaimana sebuah inovasi disebarluaskan melalui berbagai media massa dalam kurun waktu tertentu kepada suatu masyarakat.

Ide-ide baru yang awalnya dipandang secara subjektif, melalui sebuah konstruksi sosial, kemudian akan dipandang secara objektif. Inovasi-inovasi tersebut seiring perkembangan zaman akan mempermudah manusia dalam menjalankan aktivitasnya.

Namun demikian, segala inovasi tersebut selain dapat diterima, terkadang akan menemui sebuah penolakan dari kelompok sosial tertentu. Berikut ini telah dipaparkan enam contoh penerapan teori Difusi Inovasi yang berdampak dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

1. Bidang Antropologi

Selama lebih dari lima belas tahun, Antropolog Steave Lanching telah mengamati budaya Bali yang mengantarkannya pada pemahaman dimensi sistem pengetahuan yang memengaruhi inovasi teknologi masyarakat Bali, Indonesia.

Sawah yang selama berabad-abad telah menjadi sentra kehidupan dan mampu menghidupi lebih dari 2 juta masyarakat Bali, tidak lepas dari sistem pengelolaan yang mereka terapkan selama ini. Dimulai dari sistem irigasi “Jero Gede”, di bawahnya terdapat sejumlah bendungan yang masing-masing diatur oleh pendeta Hindu dari Pura .

Tingkat lebih rendah dari “Jero Gede” terdiri dari bendungan kecil yaitu 1.300 subak yang masing-masing diatur oleh seorang pendeta (pedanda). Secara hierarki, elaborasi ini membentuk organisasi sosial yang berguna bagi kepentingan sistem irigasi sawah di bali.

Koordinasi lain masyarakat Bali juga dilakukan dalam upaya mengontrol hama di sawah. Karena mudahnya berbagai hama berpindah dari satu sawah ke sawah lain, petani di Bali bekerja sama dengan petani lain guna membasmi hama, seperti tikus, belalang dan hama lainnya.

Pemecahan masalah ini dilakukan dengan menanam, mengairi, memanen secara serentak lalu meninggalkan atau membiarkan sawah mereka selama beberapa minggu dalam keadaan kosong.

Hama akan berkurang jika penanaman dilakukan secara serentak. Namun demikian, tidak tercukupinya persediaan air pada puncak kebutuhan akan terjadi jika tidak dibagi secara efisien.

Dalam keadaan seperti ini, pedanda tinggi memiliki pengaruh kuat. Ia akan mengirim perintah ke seluruh anggota Subak untuk membangun bendungan di setiap pematang dan berdoa melakukan persembahan setiap 3 hari selama 15 hari kedepan. (Lanching, 1987)

Pada 1970, pemerintah Indonesia memperkenalkan varietas beras revolusi hijau di Bali dengan harapan mampu meningkatkan produksi pangan nasional.

Petani baru juga disarankan menanam tiga kali per tahun, dan menggunakan pupuk kimia serta pestisida. Namun, sistem ini memunculkan jenis hama baru dan membunuh spesies hewan lain.

Para petani Bali dengan segera kembali ke sistem Pura air namun tetap melanjutan penanaman “varietas padi ajaib” dari pemerintah.

Secara keseluruhan, Antropolog Steave Lanching menyimpulkan bahwa kebudayaan Bali dan agama Hindhu telah benar-benar memberikan pengaruh terhadap setiap aspek kehidupan masyarakatnya.

2. Bidang Sosiologi Pedesaan

Selama periode tahun 1970-an, beberapa sosiolog pedesaan Amerika skeptis apakah melakukan riset terhadap difusi dan inovasi pertanian akan benar-benar berguna bagi kelangsungan hidup masyarakat di pedesaan.

Sikap kritis ini didorong oleh buku milik James Hightower, (1972): Hard Tomatoes, Hard time: he Failure of America’s Land Grant Complex.

Dalam buku ini, pemanen tomat dengan mesin mengharuskan petani menanam varietas tomat yang bertekstur keras. Keduanya, mesin pemanen dan varietas tomat keras, dikembangkan dengan tujuan agar menguntungkan konsumen karena harga tomat lebih murah. Namun, pada kenyataannya lebih banyak konsumen lebih menyukai tomak matang yang lunak.

Selain kurangnya jumlah gizi yang terkandung dalam tomat keras, mesin pemanen tomat juga menyebabkan para pemanen tomat kehilangan pekerjaan. Hingga menyebabkan ribuan petani kecil yang tidak mampu membeli mesin pemanen, karena harganya yang mahal, mengalami penurunan produksi.

Revolusi pertanian di AS ini menurut James Hightower merupakan tanggung jawab para sarjana di universitas pertanian milik negara melalui pengembangan dan difusi inovasi pertanian mereka lainnya.

Hightower juga berpendapat bahwa pengabaian terhadap dampak inovasi teknologi tersebut merupakan bentuk kegagalan dari sebagian universitas pertanian AS.

Hampir dari semua narasumber profesional yang mempublikasikan penelitian ini melakukan pengembangan terhadap penciptaan dan penyerapan teknologi produksi pertanian. Namun dari kesemuanya tidak menyertakan akibat dari inovasi ini.

Kritik keras Higtower kini beralih ke sosiolog pedesaan yang selama dua puluh tahun terakhir meneliti difusi dalam rangka mempercepat penyebaran dan penyerapan inovasi, bukannya mempelajari akibat yang ditimbulkan oleh teknologi, seperti hal apa yang dapat dilakukan dengan pencarian akar masalah sosial dari revolusi pertanian di AS.

3. Bidang Sosiologi Kesehatan

Pada 1964, Freedman melakukan sebuah riset bertajuk “Studi Taichung” di Thailand. Studi Taichung merupakan salah satu studi paling awal dari studi tentang KAP (knowledge, attitude, dan practice), yakni eksperimen dilakukan di luar laboratorium atau di lapangan.

Selama penelitian, Freedman menerapkan empat intervensi komunikasi berbeda pada sekitar 2.400 lingkungan di Thailand, yang masing-masing terdiri dari 20 hingga 30 keluarga. Berikut ini merupakan empat bentuk intervensi komunikasi yang diterapkan, antara lain:

  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan tentang program KB
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan dan memberikan informasi yang disampaikan melalui pos ke adopter lokal
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan serta melakukan kunjungan personal ke setiap rumah adopter bersama agen berbeda guna membujuk para wanita untuk mengadopsi program KB
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan serta melakukan kunjungan personal bersama agen berbeda ketika bertemu suami dan istri dalam keluarga yang diduga sebagai tambahan seluruh lingkungan di Taichung dengan alasan program KB

Setelah beberapa bulan melakukan eksperimen diskusi, didapatkan hasil bahwa sebanyak 40% atau 10.000 wanita di Taichung diketahui telah mengadopsi informasi tentang program KB. Tingkat kehamilan juga ikut menurun hingga 20%, dengan penggunaan alat kontrasepsi IUD sebanyak 78%.

Dalam eksperimen Taichung menunjukkan bahwa terapi komunikasi interpersonal, seperti pertemuan kelompok dan kunjungan menjadi metode paling signifikan dalam suksesnya program KB.

Poster sebagai salah satu metode komunikasi media massa juga berperan dalam menciptakan knowledge awareness tentang metode KB.

Freedman dan Barelson menyimpulkan bahwa hal terpenting yang harus dikembangkan pada masa kritis adalah membentuk motivasi personal dan dukungan sosial untuk terus melanjutkan program meski tanpa adanya kunjungan ke rumah.

Dengan demikian, pengaruh kecil dari rancangan eksperimen disebabkan oleh keuntungan yang cukup dalam menginformasikan tentang pentingnya komunikasi interpersonal. Hasil yang didapat nantinya adalah rasa optimisme para petugas pengembang program KB Nasional di negara-negara yang sedang berkembang lainnya.

4. Bidang Pendidikan

Sepeninggal Paul Mort (1959), para pengajar Columbia University banyak kehilangan kekuasaan dan memonopoli atas difusi dalam bidang pendidikan. Sehingga berbagai kajian baru lebih berfokus guru, difusi internal sekolah dan antarsekolah, dan difusi pendidikan di negara-negara ketiga.

Pada tahun 1960-an, Richard G. Carlson telah melakukan penelitian difusi pendidikan tentang sebaran matematika modern di kota Pittsburgh, khususnya antara guru-guru sekolah di Pennsylvania dan Virginia Barat. Ia mempelajari bagaimana pemimpin opini berperan dalam difusi matematika modern.

Selain itu, Carlson juga menyertakan berbagai variabel yang berkaitan dengan inovasi, karakter yang diterima dari inovasi dan tingkat serapan mereka, beserta akibat dari suatu inovasi pendidikan dan pengajaran terprogram.

Selama penelitian, Carlson telah melakukan interview dengan 38 pemilik sekolah menanyakan sejak kapan sekolah mereka mengadopsi dan dengan sekolah mana mereka bekerja sama menerapkan sistem matematika modern ini.

Dari berbagai interview tersebut, diketahui bahwa matematika modern mulai masuk ke pendidikan daerah sejak tahun 1958. Inovator mereka menyebar ke luar kota Pittsburgh.

Namun, 1 dari 38 sekolah tadi secara sosiometrik terpisah di jaringan lokal dan tidak berhubungan dengan yang lainnya.

Antara tahun 1959 hingga 1960, diketahui terdapat 6 kelompok pemilik sekolah telah mengadopsi sistem matematika modern. Tiga kelompok diantaranya merupakan pemimpin opini dari sekolah-sekolah di kota Pittsburgh.

Tingkat penyerapan setiap tahunnya kemudian mengalami peningkatan. Pada 1958 ada 1 adopter, pada akhir 1959 terdapat 5 adopter, 15 adopter pada 1960, 27 adopter pada 1961, 35 adopter pada 1962, dan pada akhir 1963 terdapat 38 adopter.

Dalam jangka 5 tahun, sistem matematika modern berhasil berkembang dan teradopsi secara penuh atau 100%.

5. Bidang Kesehatan

Pada 1954, departemen peneliti pasar dari suatu firma farmasi besar, Pfizer, menyediakan dana US$40.000 kepada tiga sosiolog Columbia University untuk proyek riset difusi obat.

Tujuan utama riset ini adalah Pfizer ingin mengetahui apakah iklan dalam jurnal media berperan dalam penyebaran produk barunya.

Studi difusi inovasi ini diterapkan pada 33 dokter di beberapa kota di kawasan regional New England, AS. Kajian pertama dilakukan pada 1953 dengan menganalisis difusi dari jenis antibiotik baru tetracyclin. Inovasi ini kemudian dirujuk oleh peneliti dari Columbia University dengan nama “Gamany”.

Sebanyak 87% dokter di kota Illinois telah melakukan uji coba obat tersebut setidaknya sekali dan membandingkannya dengan dua jenis antibiotik sejenis. Sebanyak 85% dari 125 dokter Illinois yang di-interview mengatakan bahwa “Gamany” bekerja secara signifikan.

Beberapa bulan kemudian, banyak dokter dilaporkan mengadopsi “Gamany” lebih awal dari rekaman resep yang dicatat. Meski hal ini kemungkinan disebabkan 10% sampel rekaman resep telah dikonsultasikan oleh para ahli difusi inovasi.

6. Bidang Komunikasi

Pada 1960, Paul J Deutschman dan Wayne Danielson memulai pola bagi peneliti difusi berita yang kemudian diikuti pada beberapa dekade berikutnya.

Keduanya melihat difusi berita sebagai proses komunikasi yang mengarahkan mereka pada penjajakan penyebaran beberapa peristiwa spektakuler dunia, seperti Pembunuhan Presiden AS, Paus atau Perdana Menteri, atau hancurnya pesawat.

Pada saat demikian, setiap media massa secara virtual akan membentuk audiens individu saling mendekati satu sama lain bahkan orang asing di sebuah ruang, mereka kemudian akan melengkapi berita sesuai kadar informasi yang mereka terima dan miliki.

Dalam hitungan menit, reporter akan memperoleh berbagai fakta penting dan menyebarkannya ke media massa. Sifat dari radio dan televisi akan membagi program mereka menjadi buletin broadcast/siaran berita. Sementara koran akan dibanjiri oleh banyaknya tulisan dan kata-kata.

Bagaimana suatu berita dalam berbagai media massa tadi menyebar dari satu individu ke individu lainnya merupakan perhatian pertama dari pakar difusi berita.

Mereka ingin tahu hubungan penting dari radio, televisi, koran, dan channel interpersonal dalam mengidentifikasi berita dan seberapa cepat difusi berita yang terjadi.

Dalam penelitiannya, Deutshman menemukan bahwa dalam 30 jam pertama, sekitar 75 hingga 95% publik telah mengetahui tentang berita yang tersebar melalui media massa. Karena prosesnya yang cepat, terkadang proses dari difusi berita sulit untuk dipelajari dengan metode biasa dari riset komunikasi.

Deutshman dan Danielson kemudian membuat sebuah kuisioner dan melakukan intervew telepon dalam 24 jam kejadian berita. Keduanya menemukan bahwa TV, radio, dan koran disetir oleh beberapa responden karena menjadi sumber pertama berita dari sebuah berita dibanding channel interpersonal.

The post 6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Difusi Inovasi: Pengertian – Karakteristik dan Elemen https://haloedukasi.com/difusi-inovasi Sun, 11 Dec 2022 08:46:10 +0000 https://haloedukasi.com/?p=39964 Berbagai inovasi akan terus muncul seiring perkembangan zaman dan teknologi. Kemunculan inovasi baru harus diimbangi dengan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan prinsip-prinsip tertentu.  Komunikasi inilah yang nantinya akan berpengaruh terhadap upaya pengembangan dan pengadopsian inovasi-inovasi baru dalam suatu suatu sistem sosial. Teori difusi inovasi akan memberikan kita pemahaman baru mengenai pentingnya komunikasi interpersonal dalam memperkenalkan ide-ide baru yang […]

The post Difusi Inovasi: Pengertian – Karakteristik dan Elemen appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Berbagai inovasi akan terus muncul seiring perkembangan zaman dan teknologi. Kemunculan inovasi baru harus diimbangi dengan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan prinsip-prinsip tertentu. 

Komunikasi inilah yang nantinya akan berpengaruh terhadap upaya pengembangan dan pengadopsian inovasi-inovasi baru dalam suatu suatu sistem sosial.

Teori difusi inovasi akan memberikan kita pemahaman baru mengenai pentingnya komunikasi interpersonal dalam memperkenalkan ide-ide baru yang di kemudian hari akan menjadi suatu hal penting bagi para peneliti efek media.

Pengertian Difusi Inovasi

Difusi inovasi adalah teori yang berusaha menjelaskan tentang bagaimana, mengapa, dan pada tingkat apa suatu ide (gagasan) dan teknologi baru menyebar dalam suatu kebudayaan. Istilah difusi inovasi merupakan perpaduan dari kata difusi dan inovasi.

Dalam KBBI, difusi berarti suatu proses penyebaran atau perembesan sesuatu (bisa teknologi, kebudayaan, dan ide) dari satu pihak ke pihak lain. Sementara itu, inovasi adalah proses masuk atau pengenalan hal-hal baru.

Everett Rogers, seorang profesor ilmu komunikasi, adalah orang yang mempopulerkan teori difusi inovasi melalui bukunya yang berjudul “Diffusion of Innovations”  (1962).

Rogers berpendapat bahwa difusi inovasi adalah proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui beberapa saluran dengan jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial yang dipandang secara subjektif. 

Asal-usul teori difusi inovasi memiliki berbagai variasi dan dapat menjangkau berbagai disiplin ilmu. Rogers merumuskan sebanyak lima elemen utama yang memberikan pengaruh besar terhadap penyebaran ide baru, antara lain inovasi, adopter, saluran komunikasi, waktu, dan sistem sosial.

Proses yang berlangsung tergantung pada modal sosial, yang kemudian inovasi harus diadopsi secara luas. Makna inovasi perlahan-lahan dikembangkan melalui sebuah proses konstruksi sosial.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa difusi inovasi adalah proses sosial dalam mengkomunikasikan ide atau gagasan baru yang awalnya dipandang secara subjektif, namun perlahan-lahan mulai dikembangkan melalui proses konstruksi sosial sehingga dapat dipandang secara objektif.

Latar Belakang Sejarah Difusi Inovasi

Konsep mengenai difusi pertama kali dipelajari dan diperkenalkan oleh sosiolog Prancis, Gabriel Tarde pada akhir abad ke-19 bersama antropolog Jerman dan Austria Friedrich Ratzel dan Leo Frobenius.

Penelitian dimulai pada 1920 hingga 1930 pada sub bidang sosiologi pedesaan di Amerika Serikat bagian utara. Kala itu, teknologi pertanian mengalami perkembangan yang begitu pesat, hingga para peneliti tertarik untuk melakukan penelitian bagaimana para petani secara mandiri melakukan adopsi inovasi terhadap benih, peralatan, dan teknik hibrida.

Pada 1943, sebuah studi tentang adopsi inovasi terhadap benih jagung hibrida di Lowa oleh Ryan dan Gross yang menguatkan karya sebelumnya tentang difusi inovasi ke dalam paradigma berbeda yang akan dikutip secara konsisten di masa depan.

Sejak dimulainya penelitian di bidang sosiologi pertanian, difusi inovasi mulai diterapkan ke berbagai konteks, seperti sosiologi medis, ilmu komunikasi, studi pembangunan, pemasaran, studi organisasi, biologi konservasi, manajemen pengetahuan, dan berbagai bidang kesehatan dengan kompleksitas tertentu.

 Pada 1962, Everett Rogers, profesor sosiologi pedesaan di Ohio University menerbitkan sebuah buku berjudul “Diffusion of Innovations”. Rogers melakukan sintesis terhadap penelitian dari lebih dari 508 studi difusi lintas bidang yang pada awalnya memengaruhi teori antropologi, sosiologi awal dan pedesaan, pendidikan, sosiologi industri, dan sosiologi medis.

Dari hasil penelitiannya, Rogers terapkan pada berbagai pengaturan perawatan kesehatan untuk mengatasi masalah seperti pencegahan kanker, program KB, dan mengemudi dalam keadaan mabuk.

Dari penerapan sintesisnya tersebut, Rogers mampu menghasilkan teori adopsi inovasi antara individu dan organisasi. Teori mengenai difusi inovasi dalam buku Rogers adalah teori yang paling sering dikutip dalam penelitian difusi.

Berbagai metodologinya diikuti dengan cermat dalam penelitian difusi baru-baru ini, bahkan ketika bidang tersebut telah mengalami perkembangan dan dipengaruhi oleh disiplin metodologi lain, seperti analisis jaringan sosial dan komunikasi. 

Karakteristik Teori Difusi Inovasi

Tujuan utama dari kegiatan difusi inovasi adalah pengadopsian ide, gagasan dan pengetahuan baru baik oleh individu maupun kelompok sosial tertentu.

Dalam beberapa studi difusi inovasi yang ada, telah banyak dilakukan eksplorasi terhadap banyaknya karakteristik inovasi. Salah satunya adalah meta-review yang telah mengidentifikasi beberapa karakteristik umum di antara sebagian besar studi.

Hal ini sejalan dengan beberapa karakteristik yang awalnya telah dikutip oleh Rogers dalam ulasannya, antara lain keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dan keterujiannya.

1. Keuntungan Relatif (Relative Advantage)

Keuntungan relatif merupakan pandangan mengenai keadaan sebuah inovasi baru, apakah dapat dikatakan lebih baik dari inovasi sebelumnya atau justru sebaliknya, tidak lebih baik dari inovasi sebelumnya.

Hal yang menjadi tolok ukurnya adalah bagaimana seorang adopter merasakan langsung dampak dari inovasi tersebut, berupa tingkat kepuasan terhadap inovasi tersebut. Semakin besar keuntungan relatif yang dirasakan oleh adopter, semakin cepat pula suatu inovasi diadopsi oleh kelompok tertentu.

2. Kesesuaian (Compatibility)

Dalam difusi inovasi, kesesuaian berkaitan erat dengan bagaimana suatu inovasi dapat dikatakan sesuai dengan kondisi masyarakat, seperti kebudayaan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Selain itu, kesesuaian juga dilihat dari kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian, jika suatu inovasi tidak memiliki kesesuaian dengan beberapa elemen masyarakat yang disebutkan tadi, maka proses pengadopsiannya tidak sebaik dan secepat inovasi yang kompatibel dengan elemen masyarakat yang ada. 

3. Kerumitan (Complexity)

Kerumitan atau complexity di sini berkaitan dengan seberapa sulit atau rumitnya sebuah inovasi dapat dipahami dan dijalankan oleh adopter.

Semakin rumit sebuah inovasi, maka semakin sulit pula untuk diadopsi. Sebaliknya, semakin mudah suatu inovasi untuk dipahami dan dijalankan, semakin mudah pula kegiatan adopsi dilakukan. 

4. Keterujian (Trialability)

Sulit atau mudahnya suatu inovasi untuk diadopsi tergantung pada faktor manakala inovasi tersebut dapat diuji coba dalam kondisi yang sebenarnya. Dengan dilakukannya suatu pengujian terlebih dahulu, akan diketahui sesuai atau tidaknya suatu inovasi terhadap sistem sosial tertentu.

Selain itu, adopter juga dapat lebih mudah dalam mengetahui kelebihan serta kekurangan suatu inovasi sebelum akhirnya diadopsi secara keseluruhan.

Elemen Kunci Difusi Inovasi

Dalam bukunya “Diffusion of Innovations”, Rogers merumuskan sebanyak lima elemen utama yang memberikan pengaruh besar terhadap penyebaran ide baru, antara lain inovasi, adopter, saluran komunikasi, waktu, dan sistem sosial.

Inovasi

Inovasi memiliki kategori yang luas, dan relatif terhadap pengetahuan saat ini dari berbagai unit yang dianalisis. Setiap ide, praktik, teknologi, atau objek yang dianggap baru oleh individu atau adopter lainnya dapat dianggap sebagai inovasi yang patut untuk dipelajari. 

Sejalan dengan hal ini, inovasi dapat dikatakan sebagai hal yang diukur secara subjektif menurut masing-masing individu yang menerimanya.

Adopter

Adopter atau pengadopsi adalah suatu unit kelompok analisis minimal. Dalam sebagian besar penelitian, pengadopsi adalah individu. Namun demikian, adopter juga dapat berupa organisasi (seperti bisnis, sekolah, rumah sakit), kelompok dalam jaringan sosial, atau negara.

Saluran Komunikasi

Difusi, menurut definisinya, terjadi di suatu unit yaitu antara orang atau organisasi. Saluran komunikasi memungkinkan terjadinya transfer informasi dari satu unit ke unit lainnya. 

Pola atau kemampuan komunikasi harus dibangun di antara pihak-pihak sedini mungkin agar terjadi proses difusi.

Waktu

Panjang durasi yang diperlukan agar inovasi dapat diadopsi secara sempurna tergantung dari beberapa faktor internal maupun eksternal. Namun, inovasi jarang diadopsi secara instan. 

Faktanya, dalam studi Ryan dan Gross (1943) tentang adopsi jagung hibrida, proses adopsi terjadi selama lebih dari sepuluh tahun, dan sebagian besar petani hanya mengabdikan sebagian kecil di ladang mereka untuk jagung varietas baru di tahun-tahun pertama setelah adopsi. 

Sistem Sosial

Sistem sosial merupakan kombinasi dari berbagai pengaruh, baik internal (hubungan sosial yang kuat dan lemah, ruang dari opinion leader) maupun eksternal (media massa, surfaktan, perintah dari organisasi atau pemerintah).

Terdapat banyak peran dalam suatu sistem sosial, yang dalam kombinasi dari beberapa peran tersebut mewakili pengaruh total pada adopter paling potensial.

Kategori Adopter dalam Difusi Inovasi

Rogers mengklasifikasikan kategori adopter sebagai individu dalam sistem sosial dengan dasar inovasi. Dalam bukunya Diffusion of Innovations, mengkategorikan adopter dalam difusi inovasi tersebut menjadi lima jenis, diantaranya innovators, early adopters, early majority, late majority, dan laggards.

Innovators

Inovator merupakan mereka yang pertama kali memperkenalkan dan melakukan adopsi suatu inovasi, baik berupa ide, gagasan, pengetahuan maupun metode baru.

Ciri utama yang dimiliki oleh seorang innovator adalah individu penyuka tantangan, berani mengambil resiko, dan biasanya memiliki kemampuan finansial yang mendukung untuk menjadi seorang inovator. Jumlah mereka hanya sekitar 2,5% dari jumlah populasi dalam suatu kelompok sosial tertentu.

Early Adopters (Perintis/Pelopor)

Early adopters atau perintis adalah mereka yang bersedia memulai inovasi dalam suatu kelompok.

Umumnya, early adopters mereka berasal dari kalangan terpandang dan memiliki banyak pengikut dalam suatu kelompok sosial tertentu. Jumlah mereka sekitar 13,5% dari jumlah keseluruhan dari suatu kelompok sosial.

Early Majority (Pengikut Dini)

Total ada sekitar 34% early majority dari seluruh jumlah suatu kelompok tertentu. Mereka adalah mayoritas orang yang secara bersama-sama menjadi pengikut awal dari suatu inovasi.

Ciri khas dari mereka adalah memiliki pertimbangan matang sebelum melakukan sebuah pengambilan keputusan.

Late Majority (Pengikut Akhir)

Late majority merupakan kumpulan masyarakat yang secara bersama-sama menjadi pengikut terakhir dalam sebuah inovasi.

Mereka merupakan kelompok yang memiliki pemikiran pragmatis terhadap suatu kebenaran dan kebermanfaatan dari suatu inovasi yang hendak mereka adopsi. Jumlah mereka sama dengan jumlah early majority, yaitu sekitar 34% dalam suatu kelompok sosial tertentu.

Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional)

Dalam suatu kelompok sosial, pasti ada beberapa orang yang masuk dalam kategori sulit untuk menerima inovasi atau perubahan. Mereka disebut dengan laggards atau kaum kolot/tradisional.

Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti usia, adat dan tradisi di daerah tempat tinggal, dan lainnya. Jumlah mereka ada sekitar 16% dari jumlah seluruh suatu kelompok sosial.

Tahapan Pengambilan Keputusan Inovasi

Pada 1943, Ryan dan Gross pertama kalinya mengidentifikasi keputusan adopsi sebagai suatu proses, diantaranya kesadaran, minat, evaluasi, percobaan, dan adopsi.

Seiring perkembangan teori, lima tahapan tadi dievaluasi oleh beberapa ahli hingga Rogers mengubah terminologi lima tahapannya menjadi pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi.

1. Tahap Pengetahuan (Knowledge)

Ketika pertama kali dihadapkan dengan suatu inovasi, individu cenderung akan mengalami fase ketidaktahuan mengenai informasi inovasi tersebut.

Dalam tahap ini, individu belum terinspirasi untuk tahu lebih banyak hingga adanya kegiatan pengenalan inovasi oleh innovator. Tahap inilah yang dinamakan dengan tahap knowledge (munculnya pengetahuan).

Ketika seseorang paham tentang sebuah inovasi, mereka akan cenderung lebih mudah untuk mengadopsinya.

Ada tiga jenis pengetahuan yang dicari masyarakat pada tahap ini, antara lain kesadaran bahwa inovasi tersebut ada, wawasan mengenai penggunaan inovasi tersebut, dan wawasan yang menjadi dasar dari fungsi inovasi tersebut.

2. Tahap Persuasi (Persuasion)

Dalam tahap persuasi, seseorang akan membentuk sikap tertarik atau tidak tertarik terhadap suatu inovasi. Masyarakat secara aktif akan mencari detail informasi mengenai inovasi baru tersebut, termasuk keuntungan dan kerugian yang menyertainya.

Sebuah persepsi akan terbentuk melalui tahap persuasi. Ada beberapa karakteristik inovasi yang dicari seseorang dalam tahap persuasi, diantaranya relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability.

3. Tahap Keputusan (Decision)

Setelah individu mengambil konsep dari sebuah inovasi, mereka akan menimbang keuntungan dan kerugian yang akan didapatkan dari inovasi tersebut.

Kemudian masuklah ke tahap decision di mana seseorang membuat sebuah keputusan terhadap sebuah inovasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tadi. Keputusan berupa penerimaan atau penolakan.

Ada beberapa faktor yang mampu memengaruhi keputusan seseorang, diantaranya praktik sebelumnya, perasaan atau kebutuhan, keinovatifan, dan norma dalam sistem sosial.

Dikarenakan kebanyakan merupakan sifat individualistis, Rogers mengatakan bahwa tahap ini adalah tahap paling sulit untuk memperoleh bukti empiris.

4. Tahapan Penerapan (Implementation)

Individu menerapkan sebuah inovasi untuk tingkat yang berbeda-beda tergantung pada situasi yang dialaminya. Pada tahap implementasi, individu juga akan membuat keputusan untuk mengadopsi sebuah inovasi baru, yang kemudian akan diterapkan dalam kehidupannya.

Individu yang menerapkan inovasi dalam kehidupannya disebut adopter. Jika pada tahap sebelumnya terjadi proses mental exercise yaitu berpikir dan memutuskan, maka dalam tahapan penerapan, seorang individu akan lebih mengarah ke perubahan tingkah laku.

5. Tahapan Konfirmasi/Lanjutan (Confirmation)

Pada tahap lanjutan, individu akan melakukan sebuah evaluasi guna memutuskan apakah akan terus menggunakan inovasi yang telah diadopsi atau memilih untuk mengakhirinya.

Tahap ini bersifat intrapersonal (bisa menyebabkan disonansi kognitif) dan interpersonal, di mana suatu kelompok telah membuat keputusan tepat.

Selama tahap konfirmasi, individu biasanya mengalami disonansi kognitif, yang dipicu oleh berbagai informasi negatif mengenai inovasi.

Apabila disonansi tidak segera dihilangkan, inovasi bisa ditinggalkan guna mencapai keseimbangan. Dengan demikian, dibutuhkan bantuan dari change agent untuk membantu adopter merasa lebih nyaman.

The post Difusi Inovasi: Pengertian – Karakteristik dan Elemen appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>