ilmu komunikasi - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/ilmu-komunikasi Mon, 08 Jan 2024 02:39:54 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 https://haloedukasi.com/wp-content/uploads/2019/11/halo-edukasi.ico ilmu komunikasi - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/ilmu-komunikasi 32 32 Hubungan Sosiologi dengan Komunikasi https://haloedukasi.com/hubungan-sosiologi-dengan-komunikasi Mon, 08 Jan 2024 02:39:50 +0000 https://haloedukasi.com/?p=47349 Sosiologi mempelajari segala hal tentang perilaku manusia di dalam masyarakat, termasuk berbagai cara dan pola interaksi antar individu maupun kelompok. Artinya, sosiologi dan komunikasi adalah dua ilmu yang saling berhubungan karena keduanya saling melengkapi. Sosiologi pun dikenal sebagai salah satu akar ilmu komunikasi di mana sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sosial kemasyarakatan dan komunikasi sendiri adalah […]

The post Hubungan Sosiologi dengan Komunikasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Sosiologi mempelajari segala hal tentang perilaku manusia di dalam masyarakat, termasuk berbagai cara dan pola interaksi antar individu maupun kelompok. Artinya, sosiologi dan komunikasi adalah dua ilmu yang saling berhubungan karena keduanya saling melengkapi.

Sosiologi pun dikenal sebagai salah satu akar ilmu komunikasi di mana sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sosial kemasyarakatan dan komunikasi sendiri adalah ilmu proses interaksi. Keduanya adalah ilmu yang saling memengaruhi satu sama lain di mana hubungan sosiologi dan komunikasi kemudian menghasilkan ilmu sosiologi komunikasi.

1. Sebagai Ilmu Komunikasi

Manusia hidup tidak sekadar membutuhkan benda-benda fisik atau material untuk dapat bertahan. Manusia membutuhkan sebuah proses ekspresi emosi dan pikiran untuk mengomunikasikan apa yang mereka rasakan dan pikirkan seperti yang dikemukakan oleh Onong Uchyana (2002).

Dalam proses komunikasi memerlukan setidaknya dua orang yang berperan sebagai si penyampai pesan, ide, sudut pandang, informasi, pendapat atau emosi dan si penerima ekspresi emosi dan pikiran dari pihak pertama. Proses komunikasi tersebut dibutuhkan dalam kehidupan sosial sehari-hari yang masih merupakan bagian dari sosiologi.

2. Sebagai Ilmu Sosiologi

Ilmu sosiologi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ilmu ini berfokus mengkaji dan membahas hubungan antar manusia atau kelompok di segala aspek, seperti politik, ekonomi, hukum, dan lainnya.

Ilmu sosiologi tidak sekadar mengamati dan memelajari kehidupan manusia-manusia yang hidup berdampingan dan berinteraksi di dalam masyarakat, tapi juga pengaruh timbal balik antara ekonomi dengan hukum, hukum dengan politik, politik dengan agama, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, hubungan sosiologi dengan komunikasi dianggap berkesinambungan karena komunikasi adalah bagian dari kehidupan sosial manusia dan bentuk dari suatu interaksi. Sementara itu, kehidupan sosial membutuhkan proses komunikasi untuk keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.

Baik ilmu sosiologi maupun komunikasi akan sama-sama terus berkembang seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat yang selalu dinamis. Menurut Dr. Everett Kleinjan dari East West Center, Hawaii, komunikasi dalam kehidupan manusia diibaratkan seperti aktivitas bernapas.

Komunikasi adalah salah satu cara agar manusia tetap hidup, sebab kebutuhan hidup manusia tidak hanya tentang sandang, pangan dan papan, tapi juga berkomunikasi dengan manusia lainnya. Penyampaian perasaan serta berbagi informasi adalah kegiatan dan kebutuhan dasar setiap manusia.

Sementara menurut Profesor Wilbur Schramm (1982), komunikasi dan masyarakat berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling membutuhkan dan saling bergantung untuk berkembang sebab komunikasi tidak dapat dilakukan ketika tidak ada manusia-manusia yang membentuk masyarakat.

Ketika masyarakat tidak eksis, perkembangan komunikasi akan berhenti dan tidak semaju seperti sekarang. Sedangkan masyarakat sendiri tidak dapat hidup tanpa komunikasi antara satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain.

The post Hubungan Sosiologi dengan Komunikasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
6 Teori Utama Sosiologi Komunikasi Beserta Contohnya https://haloedukasi.com/teori-utama-sosiologi-komunikasi Fri, 05 Jan 2024 08:52:25 +0000 https://haloedukasi.com/?p=47352 Sosiologi dan komunikasi adalah dua ilmu yang saling berhubungan erat dan dapat saling memengaruhi dalam prakteknya di kehidupan sosial. Jika digabungkan dan menghasilkan sosiologi komunikasi, artinya setiap interaksi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dapat memicu timbulnya perubahan pada pola hidup masyarakat. Komunikasi adalah bentuk interaksi antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu secara langsung […]

The post 6 Teori Utama Sosiologi Komunikasi Beserta Contohnya appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Sosiologi dan komunikasi adalah dua ilmu yang saling berhubungan erat dan dapat saling memengaruhi dalam prakteknya di kehidupan sosial. Jika digabungkan dan menghasilkan sosiologi komunikasi, artinya setiap interaksi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok dapat memicu timbulnya perubahan pada pola hidup masyarakat.

Komunikasi adalah bentuk interaksi antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Untuk memahami lebih jauh, berikut ini merupakan teori-teori sosiologi komunikasi beserta contohnya yang dapat disimak.

1. Dramaturgi Theory

Teori sosiologi komunikasi ini mengumpamakan kehidupan sebagai sebagai sebuah kisah di atas panggung. Seperti halnya berbagai drama dan film yang sering ditonton, hidup kenyataannya pun seperti itu karena setiap individu, kelompok maupun masyarakat secara luas memiliki cerita atau kisahnya tersendiri.

Diibaratkan sebagai kisah di atas panggung, artinya setiap manusia memerankan tokoh yang melakukan interaksi satu sama lain. Setiap manusia yang berinteraksi memiliki tujuan hidupnya masing-masing dan panggung merupakan sebuah simbol dari dunia sosial.

Contohnya : Pegawai swalayan atau pegawai bank yang selalu melayani pelanggan dan nasabahnya sesuai dengan peraturan pekerjaan mereka. Sopan santun harus tetap dijaga disertai dengan keramahtamahan agar pengunjung merasa dihargai dan di kemudian hari akan datang lagi.

Para pegawai ini akan bersikap profesional yang cenderung formal dan kaku karena setiap perkataan dan gerakan tubuh tidak bisa seenaknya. Namun saat sudah waktunya istirahat siang atau pulang kerja, mereka akan bersikap lebih santai, terutama saat mengobrol dengan rekan kerja dan anggota keluarganya.

Lewat dari jam kerja atau setidaknya pada waktu jam istirahat, para pegawai tersebut bersikap tidak formal. Hal tersebut dianggap sebagai fase back stage atau di belakang panggung, sedangkan saat harus berhadapan dengan pelanggan atau nasabah, itu adalah fase front stage atau saat pertunjukan.

2. Interactionism Symbolic Theory

Interactionism symbolic theory atau teori interaksionisme simbolik adalah teori sosiologi komunikasi lainnya yang merujuk pada proses interaksi yang membentuk pola pikir dan kapasitas berpikir manusia. Sesuai dengan istilahnya, teori ini menunjukkan bahwa interaksi sosial membutuhkan berbagai macam simbol serta maknanya.

Melalui segala simbol dan makna dibaliknya yang harus manusia pelajari secara alami, manusia akan terus belajar dan berkembang, baik dari segi pemikiran maupun tindakan. Simbol-simbol beserta makna itulah yang membuat manusia memiliki interpretasinya masing-masing terhadap kondisi maupun situasi sosial di mana mereka berada.

Penting untuk mengenal juga tiga prinsip yang ada pada teori interaksionisme simbolik, yakni antara lain :

  • Makna (Meaning)

Interaksi antar manusia merupakan sebuah proses dalam kehidupan sosial yang menjadi jalan bagi perkembangan sebuah makna. Makna serta simbol membuat manusia dapat memaknai suatu hal secara berbeda-beda, mampu memilih tindakan yang berbeda-beda untuk menghadapi suatu masalah, maupun mengubah makna sesuai situasi yang dihadapi.

Manusia memiliki interpretasinya masing-masing tentang suatu hal, proses interpretatif ini yang kemudian membentuk makna dan memodifikasinya, menyesuaikan dengan segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.

  • Bahasa (Language)

Bahasa dalam teori sosiologi komunikasi ini juga dianggap sebagai sumber makna. Melalui bahasa yang sama, interaksi sosial berjalan dengan lebih baik karena memudahkan antar manusia untuk saling mengerti apa yang hendak dan sedang dimaksudkan.

Komunikasi sekalipun berbeda bahasa terkadang bukan masalah yang besar, namun bahasa yang sama adalah alat untuk membuat makna dapat berkembang dan interaksi antar individu lebih berarti. Pemahaman akan lebih mudah apabila sesama manusia menggunakan bahasa yang sama.

  • Pemikiran (Thought)

Pemikiran adalah asal dari interpretasi makna terhadap suatu simbol. Dalam setiap interaksi, manusia harus tetap terus berpikir untuk memaknai setiap hal yang dikomunikasikan bersama dengan manusia lainnya.

Pemikiran bukan hanya tentang proses interpretasi, melainkan juga tentang imajinasi yang menghasilkan suatu ide. Bahkan untuk segala sesuatu yang baru dan masih asing, manusia dapat berpikir untuk memperoleh maknanya berdasarkan pengetahuan yang sudah pernah didapat.

Contohnya : Salah satu contoh dari teori interaksionisme simbolik ini adalah seperti halnya seseorang yang mengunggah foto atau gambarnya di akun media sosial pribadi, menunjukkan dirinya dengan kue ulang tahun dan lilin angka terpasang pada kue tersebut.

Orang-orang yang melihat unggahan tersebut langsung dapat menginterpretasikan bahwa hari di mana ia mengunggah foto itu adalah hari ulang tahunnya. Orang-orang dapat berpikir bahwa ia sedang berulang tahun dan umurnya saat ini sesuai dengan lilin angka yang tersemat di atas kue.

Penggunaan simbol melalui unggahan foto di media sosial mampu menunjukkan berbagai makna diikuti dengan berbagai interpretasi dari banyak orang. Namun tanda atau simbol tersebut juga sekaligus menjadi identitas diri orang yang menunjukkan foto tersebut.

3. Diffusion of Inovation Theory

Diffusion of inovation theory atau teori difusi inovasi merupakan teori sosiologi komunikasi yang merujuk pada cara agar suatu ide baru mampu masuk ke dalam kebudayaan tertentu. Selain berinovasi dengan gagasan baru, kemunculan gagasan ini juga perlu melebur ke kelompok atau budaya yang sudah ada.

Pengembangan ide baru tidak selalu mudah dan memerlukan proses konstruksi sosial agar dapat diterima dengan baik, berikut merupakan keempat elemen dari teori sosiologi komunikasi satu ini.

  • Inovasi : Inovasi adalah ide baru beserta penerapan realisasi ide tersebut.
  • Saluran Komunikasi : Suatu inovasi dapat diadopsi oleh siapa saja dan orang-orang kemudian dapat mengetahui adanya inovasi tersebut adalah melalui proses komunikasi. Saluran komunikasi personal adalah penggunaan saluran untuk penyampaian inovasi kepada satu individu, namun saluran komunikasi massa adalah penggunaan saluran untuk penyampaian inovasi kepada masyarakat luas sekaligus.
  • Jangka Waktu : Jarak waktu dari saat penyampaian inovasi dilakukan baik kepada individu maupun ke masyarakat luas hingga akhirnya terdapat pihak yang mengadopsinya disebut dengan elemen jangka waktu.
  • Sistem Sosial : Sistem sosial juga merupakan elemen dari teori difusi inovasi karena tanpa adanya sistem sosial maka inovasi tidak memiliki target. Sistem sosial eksis karena memiliki peran sebagai penerima maupun penolak penyampaian inovasi.

Contohnya : Pemerintah dengan gagasan program BPJS Kesehatan yang penyampaian informasinya dapat diterima oleh seluruh masyarakat melalui saluran komunikasi massa. Masyarakat tidak hanya bisa mencari informasi, mendaftar, hingga membayar tagihan secara langsung.

Kini telah hadir program aplikasi yang memudahkan antrean pendaftaran hingga masalah pelunasan tagihan per bulan. Selama masyarakat dapat mengakses internet dengan mudah, maka program pemerintah satu ini maka siapa saja bisa menikmati layanan kesehatan tanpa harus membayar lebih banyak.

4. Uses and Gratifications Theory

Uses and gratifications theory atau teori penggunaan dan pemenuhan kepuasan adalah salah satu teori sosiologi komunikasi yang berfokus pada pelayanan media kepada masyarakat dengan memberi kepuasan. Teori ini tidak hanya menunjukkan bagaimana memberi apa yang disukai masyarakat, tapi juga hal-hal yang dibutuhkan masyarakat.

Dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat dan melayani dengan benar, perlu adanya pendekatan teori ini untuk pemahaman dan pencarian media massa yang mampu mengomunikasikan informasi kepada masyarakat luas.

Contohnya : Salah satu hal yang kini penggunaannya menjadi suatu kebutuhan sehari-hari sebagai media belajar maupun hiburan adalah ponsel pintar. Anak-anak dapat belajar dan bermain banyak hal menggunakan ponsel pintar yang terhubung ke jaringan internet.

Begitu pula dengan orang dewasa yang setiap harinya melakukan pekerjaan serta memperoleh beragam informasi dari penggunaan gawai tersebut selama terdapat akses internet. Tanpa disadari, aktivitas tersebut terasa begitu alami karena telah menjadi kebutuhan dan kesukaan individu sehari-hari.

5. Hypodermic Needle Theory

Hypodermic needle theory atau teori jarum hipodermik adalah teori sosiologi komunikasi yang menunjukkan bahwa media massa memiliki kekuatan terhadap masyarakat. Teori yang juga disebut dengan istilah teori peluru ini menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya bersifat homogen sehingga mudah menerima penyampaian informasi apapun.

Kekuatan media massa (seperti halnya televisi) terletak pada kemampuannya dalam memengaruhi individu maupun kelompok dalam masyarakat. Ketika sebuah kabar atau informasi terus-menerus disampaikan, maka kemungkinan masyarakat untuk menerimanya akan lebih besar.

Contohnya : Media massa menunjukkan iklan produk pemutih kulit yang menarik bagi sebagian besar kaum wanita. Iklan produk dibuat semenarik mungkin, khususnya dalam hal menampilkan visual yang sesuai dengan apa yang ditawarkan produk tersebut.

Melalui keunggulan yang disampaikan terus-menerus kepada masyarakat sekalipun masyarakat yang melihatnya tidak tahu secara pasti seberapa cepat efek produk dapat memutihkan kulit, mereka akan percaya dan tertarik membeli produk tersebut.

6. FIRO / Fundamental Interpersonal Relationship Orientation Theory

Teori sosiologi komunikasi satu ini menunjukkan bahwa tiap individu dalam masyarakat berorientasi kepada orang lain. Meski caranya dalam mengorientasikan bisa berbeda-beda, diri individu tersebut tetap berpotensi mengalami perubahan.

Orientasi tersebut mampu memengaruhi seseorang dalam hal perilaku maupun pola hubungan dengan pihak lain (bisa berupa sesama individu maupun dengan suatu kelompok tertentu). Berikut ini adalah tiga hal fokus dari teori ini yang berkaitan dengan kebutuhan setiap individu :

  • Inklusi, yakni ketika seseorang ingin dikenal oleh pihak lain yang berinteraksi dengannya.
  • Kontrol, yakni ketika seseorang ingin mengubah lingkungan sosialnya dan mengadakan suatu perubahan di mana seluruh kendali ada pada dirinya.
  • Afeksi, yakni ketika seseorang ingin adanya keintiman dalam suatu hubungan dan interaksi dengan pihak lain, seperti perasaan ingin disayangi atau diperhatikan.

Contohnya : Salah satu contoh nyata dari teori FIRO di sekitar kita adalah adanya pegawai baru yang ingin beradaptasi dengan baik di tempat kerjanya yang baru. Tidak sekadar ingin mengerjakan tugasnya sebaik mungkin agar rekan kerja maupun atasan dapat mengenalnya dan mengetahui kemampuannya, tapi juga agar dapat diakui keterampilannya.

Proses interaksi dapat menjadi lebih jauh ketika seorang pegawai memiliki keinginan lainnya, seperti kontrol dan afeksi sehingga ia mengawali suatu perubahan dalam lingkungan pergaulan di dalam pekerjaannya atau ia mulai menginginkan hubungan lebih akrab dan lebih dari hubungan profesional dengan teman-teman kerjanya.

The post 6 Teori Utama Sosiologi Komunikasi Beserta Contohnya appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi https://haloedukasi.com/contoh-penerapan-teori-difusi-inovasi Sat, 01 Apr 2023 17:36:36 +0000 https://haloedukasi.com/?p=42105 Sesuai karakteristiknya, teori Difusi Inovasi yakni mampu mempersuasi atau memengaruhi individu hingga kelompok sosial tertentu. Difusi inovasi secara umum menjelaskan bagaimana sebuah inovasi disebarluaskan melalui berbagai media massa dalam kurun waktu tertentu kepada suatu masyarakat. Ide-ide baru yang awalnya dipandang secara subjektif, melalui sebuah konstruksi sosial, kemudian akan dipandang secara objektif. Inovasi-inovasi tersebut seiring perkembangan […]

The post 6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Sesuai karakteristiknya, teori Difusi Inovasi yakni mampu mempersuasi atau memengaruhi individu hingga kelompok sosial tertentu. Difusi inovasi secara umum menjelaskan bagaimana sebuah inovasi disebarluaskan melalui berbagai media massa dalam kurun waktu tertentu kepada suatu masyarakat.

Ide-ide baru yang awalnya dipandang secara subjektif, melalui sebuah konstruksi sosial, kemudian akan dipandang secara objektif. Inovasi-inovasi tersebut seiring perkembangan zaman akan mempermudah manusia dalam menjalankan aktivitasnya.

Namun demikian, segala inovasi tersebut selain dapat diterima, terkadang akan menemui sebuah penolakan dari kelompok sosial tertentu. Berikut ini telah dipaparkan enam contoh penerapan teori Difusi Inovasi yang berdampak dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

1. Bidang Antropologi

Selama lebih dari lima belas tahun, Antropolog Steave Lanching telah mengamati budaya Bali yang mengantarkannya pada pemahaman dimensi sistem pengetahuan yang memengaruhi inovasi teknologi masyarakat Bali, Indonesia.

Sawah yang selama berabad-abad telah menjadi sentra kehidupan dan mampu menghidupi lebih dari 2 juta masyarakat Bali, tidak lepas dari sistem pengelolaan yang mereka terapkan selama ini. Dimulai dari sistem irigasi “Jero Gede”, di bawahnya terdapat sejumlah bendungan yang masing-masing diatur oleh pendeta Hindu dari Pura .

Tingkat lebih rendah dari “Jero Gede” terdiri dari bendungan kecil yaitu 1.300 subak yang masing-masing diatur oleh seorang pendeta (pedanda). Secara hierarki, elaborasi ini membentuk organisasi sosial yang berguna bagi kepentingan sistem irigasi sawah di bali.

Koordinasi lain masyarakat Bali juga dilakukan dalam upaya mengontrol hama di sawah. Karena mudahnya berbagai hama berpindah dari satu sawah ke sawah lain, petani di Bali bekerja sama dengan petani lain guna membasmi hama, seperti tikus, belalang dan hama lainnya.

Pemecahan masalah ini dilakukan dengan menanam, mengairi, memanen secara serentak lalu meninggalkan atau membiarkan sawah mereka selama beberapa minggu dalam keadaan kosong.

Hama akan berkurang jika penanaman dilakukan secara serentak. Namun demikian, tidak tercukupinya persediaan air pada puncak kebutuhan akan terjadi jika tidak dibagi secara efisien.

Dalam keadaan seperti ini, pedanda tinggi memiliki pengaruh kuat. Ia akan mengirim perintah ke seluruh anggota Subak untuk membangun bendungan di setiap pematang dan berdoa melakukan persembahan setiap 3 hari selama 15 hari kedepan. (Lanching, 1987)

Pada 1970, pemerintah Indonesia memperkenalkan varietas beras revolusi hijau di Bali dengan harapan mampu meningkatkan produksi pangan nasional.

Petani baru juga disarankan menanam tiga kali per tahun, dan menggunakan pupuk kimia serta pestisida. Namun, sistem ini memunculkan jenis hama baru dan membunuh spesies hewan lain.

Para petani Bali dengan segera kembali ke sistem Pura air namun tetap melanjutan penanaman “varietas padi ajaib” dari pemerintah.

Secara keseluruhan, Antropolog Steave Lanching menyimpulkan bahwa kebudayaan Bali dan agama Hindhu telah benar-benar memberikan pengaruh terhadap setiap aspek kehidupan masyarakatnya.

2. Bidang Sosiologi Pedesaan

Selama periode tahun 1970-an, beberapa sosiolog pedesaan Amerika skeptis apakah melakukan riset terhadap difusi dan inovasi pertanian akan benar-benar berguna bagi kelangsungan hidup masyarakat di pedesaan.

Sikap kritis ini didorong oleh buku milik James Hightower, (1972): Hard Tomatoes, Hard time: he Failure of America’s Land Grant Complex.

Dalam buku ini, pemanen tomat dengan mesin mengharuskan petani menanam varietas tomat yang bertekstur keras. Keduanya, mesin pemanen dan varietas tomat keras, dikembangkan dengan tujuan agar menguntungkan konsumen karena harga tomat lebih murah. Namun, pada kenyataannya lebih banyak konsumen lebih menyukai tomak matang yang lunak.

Selain kurangnya jumlah gizi yang terkandung dalam tomat keras, mesin pemanen tomat juga menyebabkan para pemanen tomat kehilangan pekerjaan. Hingga menyebabkan ribuan petani kecil yang tidak mampu membeli mesin pemanen, karena harganya yang mahal, mengalami penurunan produksi.

Revolusi pertanian di AS ini menurut James Hightower merupakan tanggung jawab para sarjana di universitas pertanian milik negara melalui pengembangan dan difusi inovasi pertanian mereka lainnya.

Hightower juga berpendapat bahwa pengabaian terhadap dampak inovasi teknologi tersebut merupakan bentuk kegagalan dari sebagian universitas pertanian AS.

Hampir dari semua narasumber profesional yang mempublikasikan penelitian ini melakukan pengembangan terhadap penciptaan dan penyerapan teknologi produksi pertanian. Namun dari kesemuanya tidak menyertakan akibat dari inovasi ini.

Kritik keras Higtower kini beralih ke sosiolog pedesaan yang selama dua puluh tahun terakhir meneliti difusi dalam rangka mempercepat penyebaran dan penyerapan inovasi, bukannya mempelajari akibat yang ditimbulkan oleh teknologi, seperti hal apa yang dapat dilakukan dengan pencarian akar masalah sosial dari revolusi pertanian di AS.

3. Bidang Sosiologi Kesehatan

Pada 1964, Freedman melakukan sebuah riset bertajuk “Studi Taichung” di Thailand. Studi Taichung merupakan salah satu studi paling awal dari studi tentang KAP (knowledge, attitude, dan practice), yakni eksperimen dilakukan di luar laboratorium atau di lapangan.

Selama penelitian, Freedman menerapkan empat intervensi komunikasi berbeda pada sekitar 2.400 lingkungan di Thailand, yang masing-masing terdiri dari 20 hingga 30 keluarga. Berikut ini merupakan empat bentuk intervensi komunikasi yang diterapkan, antara lain:

  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan tentang program KB
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan dan memberikan informasi yang disampaikan melalui pos ke adopter lokal
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan serta melakukan kunjungan personal ke setiap rumah adopter bersama agen berbeda guna membujuk para wanita untuk mengadopsi program KB
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan serta melakukan kunjungan personal bersama agen berbeda ketika bertemu suami dan istri dalam keluarga yang diduga sebagai tambahan seluruh lingkungan di Taichung dengan alasan program KB

Setelah beberapa bulan melakukan eksperimen diskusi, didapatkan hasil bahwa sebanyak 40% atau 10.000 wanita di Taichung diketahui telah mengadopsi informasi tentang program KB. Tingkat kehamilan juga ikut menurun hingga 20%, dengan penggunaan alat kontrasepsi IUD sebanyak 78%.

Dalam eksperimen Taichung menunjukkan bahwa terapi komunikasi interpersonal, seperti pertemuan kelompok dan kunjungan menjadi metode paling signifikan dalam suksesnya program KB.

Poster sebagai salah satu metode komunikasi media massa juga berperan dalam menciptakan knowledge awareness tentang metode KB.

Freedman dan Barelson menyimpulkan bahwa hal terpenting yang harus dikembangkan pada masa kritis adalah membentuk motivasi personal dan dukungan sosial untuk terus melanjutkan program meski tanpa adanya kunjungan ke rumah.

Dengan demikian, pengaruh kecil dari rancangan eksperimen disebabkan oleh keuntungan yang cukup dalam menginformasikan tentang pentingnya komunikasi interpersonal. Hasil yang didapat nantinya adalah rasa optimisme para petugas pengembang program KB Nasional di negara-negara yang sedang berkembang lainnya.

4. Bidang Pendidikan

Sepeninggal Paul Mort (1959), para pengajar Columbia University banyak kehilangan kekuasaan dan memonopoli atas difusi dalam bidang pendidikan. Sehingga berbagai kajian baru lebih berfokus guru, difusi internal sekolah dan antarsekolah, dan difusi pendidikan di negara-negara ketiga.

Pada tahun 1960-an, Richard G. Carlson telah melakukan penelitian difusi pendidikan tentang sebaran matematika modern di kota Pittsburgh, khususnya antara guru-guru sekolah di Pennsylvania dan Virginia Barat. Ia mempelajari bagaimana pemimpin opini berperan dalam difusi matematika modern.

Selain itu, Carlson juga menyertakan berbagai variabel yang berkaitan dengan inovasi, karakter yang diterima dari inovasi dan tingkat serapan mereka, beserta akibat dari suatu inovasi pendidikan dan pengajaran terprogram.

Selama penelitian, Carlson telah melakukan interview dengan 38 pemilik sekolah menanyakan sejak kapan sekolah mereka mengadopsi dan dengan sekolah mana mereka bekerja sama menerapkan sistem matematika modern ini.

Dari berbagai interview tersebut, diketahui bahwa matematika modern mulai masuk ke pendidikan daerah sejak tahun 1958. Inovator mereka menyebar ke luar kota Pittsburgh.

Namun, 1 dari 38 sekolah tadi secara sosiometrik terpisah di jaringan lokal dan tidak berhubungan dengan yang lainnya.

Antara tahun 1959 hingga 1960, diketahui terdapat 6 kelompok pemilik sekolah telah mengadopsi sistem matematika modern. Tiga kelompok diantaranya merupakan pemimpin opini dari sekolah-sekolah di kota Pittsburgh.

Tingkat penyerapan setiap tahunnya kemudian mengalami peningkatan. Pada 1958 ada 1 adopter, pada akhir 1959 terdapat 5 adopter, 15 adopter pada 1960, 27 adopter pada 1961, 35 adopter pada 1962, dan pada akhir 1963 terdapat 38 adopter.

Dalam jangka 5 tahun, sistem matematika modern berhasil berkembang dan teradopsi secara penuh atau 100%.

5. Bidang Kesehatan

Pada 1954, departemen peneliti pasar dari suatu firma farmasi besar, Pfizer, menyediakan dana US$40.000 kepada tiga sosiolog Columbia University untuk proyek riset difusi obat.

Tujuan utama riset ini adalah Pfizer ingin mengetahui apakah iklan dalam jurnal media berperan dalam penyebaran produk barunya.

Studi difusi inovasi ini diterapkan pada 33 dokter di beberapa kota di kawasan regional New England, AS. Kajian pertama dilakukan pada 1953 dengan menganalisis difusi dari jenis antibiotik baru tetracyclin. Inovasi ini kemudian dirujuk oleh peneliti dari Columbia University dengan nama “Gamany”.

Sebanyak 87% dokter di kota Illinois telah melakukan uji coba obat tersebut setidaknya sekali dan membandingkannya dengan dua jenis antibiotik sejenis. Sebanyak 85% dari 125 dokter Illinois yang di-interview mengatakan bahwa “Gamany” bekerja secara signifikan.

Beberapa bulan kemudian, banyak dokter dilaporkan mengadopsi “Gamany” lebih awal dari rekaman resep yang dicatat. Meski hal ini kemungkinan disebabkan 10% sampel rekaman resep telah dikonsultasikan oleh para ahli difusi inovasi.

6. Bidang Komunikasi

Pada 1960, Paul J Deutschman dan Wayne Danielson memulai pola bagi peneliti difusi berita yang kemudian diikuti pada beberapa dekade berikutnya.

Keduanya melihat difusi berita sebagai proses komunikasi yang mengarahkan mereka pada penjajakan penyebaran beberapa peristiwa spektakuler dunia, seperti Pembunuhan Presiden AS, Paus atau Perdana Menteri, atau hancurnya pesawat.

Pada saat demikian, setiap media massa secara virtual akan membentuk audiens individu saling mendekati satu sama lain bahkan orang asing di sebuah ruang, mereka kemudian akan melengkapi berita sesuai kadar informasi yang mereka terima dan miliki.

Dalam hitungan menit, reporter akan memperoleh berbagai fakta penting dan menyebarkannya ke media massa. Sifat dari radio dan televisi akan membagi program mereka menjadi buletin broadcast/siaran berita. Sementara koran akan dibanjiri oleh banyaknya tulisan dan kata-kata.

Bagaimana suatu berita dalam berbagai media massa tadi menyebar dari satu individu ke individu lainnya merupakan perhatian pertama dari pakar difusi berita.

Mereka ingin tahu hubungan penting dari radio, televisi, koran, dan channel interpersonal dalam mengidentifikasi berita dan seberapa cepat difusi berita yang terjadi.

Dalam penelitiannya, Deutshman menemukan bahwa dalam 30 jam pertama, sekitar 75 hingga 95% publik telah mengetahui tentang berita yang tersebar melalui media massa. Karena prosesnya yang cepat, terkadang proses dari difusi berita sulit untuk dipelajari dengan metode biasa dari riset komunikasi.

Deutshman dan Danielson kemudian membuat sebuah kuisioner dan melakukan intervew telepon dalam 24 jam kejadian berita. Keduanya menemukan bahwa TV, radio, dan koran disetir oleh beberapa responden karena menjadi sumber pertama berita dari sebuah berita dibanding channel interpersonal.

The post 6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Teori Kelompok Bungkam: Pengertian – Komposisi dan Konsep https://haloedukasi.com/teori-kelompok-bungkam Sat, 17 Dec 2022 03:16:39 +0000 https://haloedukasi.com/?p=39954 Dalam kehidupan bermasyarakat, akan terlihat adanya suatu kelompok yang berkuasa dan terpinggirkan. Dari masing-masing kelompok tersebut, kelompok yang berkuasa cenderung memiliki dominasi lebih terhadap kelompok marginal yang sering terbungkam oleh berbagai kenyataan yang ada. Seringnya, hal ini bersinggungan dengan masalah gender, ras, strata sosial, dan masih banyak lagi. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ulasan […]

The post Teori Kelompok Bungkam: Pengertian – Komposisi dan Konsep appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Dalam kehidupan bermasyarakat, akan terlihat adanya suatu kelompok yang berkuasa dan terpinggirkan. Dari masing-masing kelompok tersebut, kelompok yang berkuasa cenderung memiliki dominasi lebih terhadap kelompok marginal yang sering terbungkam oleh berbagai kenyataan yang ada.

Seringnya, hal ini bersinggungan dengan masalah gender, ras, strata sosial, dan masih banyak lagi. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak ulasan berikut ini.

Pengertian

Teori Kelompok Bungkam atau Muted Group Theory merupakan salah satu teori dalam ilmu komunikasi yang berfokus pada bagaimana suatu kelompok yang terpinggirkan dibungkam dan dikucilkan melalui penggunaan bahasa tertentu. Gagasan utama Muted Group Theory adalah suatu bahasa memberikan penghormatan dan nilai diri yang lebih kepada penutur aslinya dibanding kelompok lain di luar bahasa tersebut.

Teori ini diciptakan oleh Ardener bersaudara, yakni Edwin Ardener dan Shirley Ardener pada 1975 dengan menggunakan istilah “kebungkaman” atau “kebisuan” yang mengacu pada ketidakmampuan suatu kelompok untuk mengekspresikan diri mereka karena suatu ketidakadilan, yaitu sistem komunikasi.

Dari proses tersebut dapat mengakibatkan terjadinya distorsi informasi karena kelompok marginal tidak dapat mengekspresikan gagasan mereka dengan jelas. Sehingga kelompok dominan memiliki kecenderungan untuk mengabaikan suara dari kelompok bawahan. Hingga pada akhirnya akan berimplikasi pada bungkamnya kelompok marginal.

Komposisi Teori Kelompok Bungkam

Mark Orbe (1998), ahli dalam bidang ilmu komunikasi, menyatakan bahwa di Amerika Serikat dan beberapa budaya lainnya, masyarakat memberikan penghargaan terhadap mereka yang memiliki karakteristik dan perspektif tertentu, seperti laki-laki berkulit putih, heteroseksual, keturunan Eropa, muda, tidak memiliki cacat tubuh, dan beragama Kristen. Orang-orang dengan karakteristik tersebut membentuk kelompok dominan atau pemegang kekuasaan di suatu budaya.

Sedangkan kelompok lain yang memiliki karakteristik berbeda, biasanya merupakan bawahan dari kelompok tersebut. Dalam konteks bahwa mereka tidak memiliki akses yang sama terhadap kekuasaan sebanyak yang dimiliki kelompok anggota dominan. Karena itu, ras Afrika, LGBT, kelas sosial bawah, kaum lanjut usia, orang dengan cacat tubuh dan non-Kristen dapat menjadi anggota dari kelompok bungkam, sama halnya dengan wanita.

Asumsi Teori Kelompok Bungkam

Dalam Muted Group Theory, Cheris Kramarae membangun teori ini dengan berfokus pada tidak komunikasi. Selain itu, tujuan yang dibuat oleh Kramarae bisa dikatakan lebih terbatas dibanding dengan tujuan milik Ardener, yaitu ketertarikan Ardener untuk menerapkan Muted Group Theory melintasi banyak budaya. Sementara Kramarae hanya terbatas pada pola-pola komunikasi di kalangan pria dan wanita Inggris dan Amerika Serikat.

Jadi, untuk mencapai tujuannya tersebut, Kramarae membuat tiga asumsi yang ia yakini begitu sentral bagi teori kelompok bungkam, di antaranya:

  • Perbedaan Pengalaman Akibat Pembagian Kerja

Kramarae percaya bahwa laki-laki dan perempuan memiliki pandangan berbeda mengenai dunia karena laki-laki lebih banyak bekerja di luar rumah dan bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang. Sementara perempuan lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus keluarga. Dengan demikian, laki-laki cenderung lebih berdaya dibanding wanita, baik secara mental maupun pola pikir.

  • Wanita Sulit untuk Mengekspresikan Ide Mereka

Menurut Kramarae, bahasa Inggris adalah bahasa buatan manusia yang mewujudkan perspektif maskulinitas dibanding feminitas, laki-laki di sini merupakan laki-laki berkulit putih. Dengan kata lain, laki-laki menggunakan bahasa untuk mendominasi perempuan, sehingga suara perempuan menjadi terbungkam.

Kramarae juga menyebutkan bahwa kontrol laki-laki terhadap bahasa banyak menghasilkan kata-kata yang cenderung merendahkan perempuan, seperti ‘wanita jalang’, ‘pelacur’, dan masih banyak lagi.

  • Wanita Harus Menyesuaikan dengan Sistem Ekspresi Pria yang Diterima

Kramarae menyebut bahwa wanita harus memilih kosa kata mereka secara hati-hati ketika berada di depan umum. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan antara hal apa yang paling ingin mereka sampaikan dengan hal apa yang hanya bisa dikatakan oleh wanita namun tidak dapat diutarakan karena adanya perbedaan pola bahasan antara laki-laki dan perempuan.

Konsep Teori Kelompok Bungkam

Kebisuan

Suatu kebisuan terjadi akibat ketidakmampuan untuk mengartikulasikan apa yang menjadi ide-ide mereka, terlepas dari ruang dan waktu yang menyertai, serta tanpa mengubah bahasa yang biasa mereka gunakan hanya karena ingin memenuhi apa yang menjadi kehendak kelompok dominan.

Kebisuan merupakan hasil dari kurangnya daya yang mengakibatkan sebuah pengabaian, teredam, hingga akhirnya tidak terlihat. Seperti pernyataan Cheris Kramarae, bahwa interaksi sosial dan komunikasi menciptakan sebuah struktur bahasa.

Karena sebagian besar struktut bahasa dan sistem komunikasi dibangun oleh laki-laki, maka laki-laki memiliki keunggulan dibandingkan perempuan. Sebagai konsekuensinya, perempuan sulit untuk mengutarakan pikiran mereka bahkan melalui kata-kata mereka sendiri karena telah dibatasi oleh aturan bahasa laki-laki. 

Kelompok Bungkam

Kelompok bungkam sifatnya nisbi terhadap kelompok dominan. Premis dari Muted Group Theory adalah anggota dari kelompok marginal akan membisukan diri mereka sendiri tanpa paksaan. Hal ini didasarkan pada pendapat Gerdrin, yaitu pembungkaman merupakan suatu fenomena sosial berdasarkan pemahaman bahwa dalam suatu masyarakat terdapat kelompok dominan dan non-dominan. 

Dengan demikian, proses pembungkaman memberikan pemahaman kolektif tentang siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak. Perbedaan kekuasaan tersebut melahirkan kasta ‘penindas’ dan ‘yang tertindas’. 

Kramarae menyebutkan bahwa kelompok bungkam sebagai ‘yang tertindas’ diartikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki ‘kata-kata yang diakui publik’ untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Kegagalan dalam mengartikulasikan berbagai ide yang mereka miliki menyebabkan timbulnya keraguan terhadap validitas dan keabsahan perasaan mereka sendiri.

Proses Pembungkaman

Pemikiran utama mengenai teori ini adalah anggota kelompok marginal akan dibungkam dan dianggap sebagai penutur yang tidak fasih, di mana proses pembungkaman tergantung pada pemaksaan eksplisit dan koersi.

Dari sini kita akan paham bahwa penyebab terjadinya pembungkaman adalah adanya konsekuensi baik dari indeks distribusi maupun tidak meratanya suatu kekuasaan. Oleh karenanya, pemahaman terhadap pembungkaman hanya dapat dicapai melalui pemahaman sosial dengan mengenal siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak.

Menurut West dan Turner (2019), ada empat metode yang bisa digunakan untuk mencapai distribusi kekuasaan yang berdampak pada suatu kebungkaman, di antaranya:

  • Ejekan

Pada tahapan ini, pria akan memberikan label kepada wanita dengan berbagai leksikon, seperti wanita adalah seorang penggosip, suka mengomel, suka merengek, merongrong dan lain sebagainya. Pria juga sering berkata bahwa wanita tidak memiliki selera humor dan suka membicarakan hal-hal tidak penting. Pria sering meremehkan berbagai pembahasan wanita, namun di sisi lain pria ingin wanita menjadi sosok pendengar yang baik dan selalu mendukung pria.

  • Ritual atau Upacara

Beberapa orang menyatakan bahwa terdapat banyak upacara atau ritual sosial yang memiliki dampak pembungkaman terhadap wanita, atau menyatakan kedudukan wanita lebih rendah dari pria. Sebagai contoh, dalam upacara pernikahan ketika seorang ayah memberikan tangan putrinya yang awalnya berada di lengannya kepada pria yang akan menjadi suaminya. Selain itu, perubahan nama belakang wanita setelah menikah akan dirubah mengikuti nama keluarga suaminya.

  • Kontrol

Banyak ahli menunjukkan bahwa pria lebih banyak mengendalikan keputusan, termasuk dalam sejarah masa lalu, media arus utama, praktik komunikasi, dan masih banyak lagi. Perilaku komunikasi yang menjaga pria tetap memegang suatu kendali disebut interupsi.

Ketika pria menginterupsi wanita, sering kali wanita akan beralih ke topik apa pun yang pria ingin bicarakan. Namun, ketika wanita melakukan interupsi, keadaan tidak akan sama seperti ketika pria menginterupsi wanita.

  • Pelecehan

Tindakan pelecehan bisa terjadi di mana saja, seperti di ruang publik atau jalan, tempat kerja, bahkan dalam konteks pendidikan. Hal ini biasanya akan dinaturalisasikan oleh pria, sedangkan pengalaman dan kekhawatiran wanita terkait pelecehan akan diabaikan atau diremehkan, bahkan akan diberi label sebagai seseorang yang mudah histeris, tukang ribut, dan terlalu sensitif. Berbagai respon tersebut membuat wanita enggan melapor atau sekadar bercerita tentang hal yang telah dialaminya.

Strategi Perlawanan

Tujuan yang ingin dicapai Teori Kelompok Bungkam sejatinya lebih dari sekadar menjelaskan fenomena pembungkaman terhadap wanita, yakni ingin menyuarakan perubahan dalam status quo yang ada.

Seperti yang diungkapakan oleh Houston & Kramarae (1991) dan Ezster Hargittai & Aaron Shaw (2015), wanita atau seorang individu dapat menggunakan beberapa strategi berikut ini guna menghindari proses ‘muting’, antara lain:

  • Berani menyebutkan faktor penyebab proses pembungkaman.
  • Mengambil kembali, serta mengangkat dan mementingkan wacana wacana yang dianggap ‘remeh’.
  • Buat kata-kata baru untuk membentuk sistem bahasa baru yang lebih representatif untuk menceritakan pengalaman mereka (kelompok marginal dan pengalaman gender).
  • Manfaatkan platform media, baik tradisional dan baru, untuk menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok ini.

The post Teori Kelompok Bungkam: Pengertian – Komposisi dan Konsep appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
5 Ragam Perspektif Komunikasi https://haloedukasi.com/ragam-perspektif-komunikasi Sat, 17 Dec 2022 02:57:00 +0000 https://haloedukasi.com/?p=39897 Komunikasi memiliki definisinya masing-masing tergantung dalam konteks penggunaannya. Dari beberapa definisi komunikasi yang ada tersebut, kita dapat melihat lain penekanan, maka lain pula fungsi komunikasi yang diinginkan. Apabila dikaitkan dengan perencanaan program komunikasi (PPK), maka akan menghasilkan perbedaan tujuan dari PPK sesuai definisi komunikasi yang dipakai. Berbagai perbedaan tersebut akan bertambah lebar lagi ketika melihat […]

The post 5 Ragam Perspektif Komunikasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Komunikasi memiliki definisinya masing-masing tergantung dalam konteks penggunaannya. Dari beberapa definisi komunikasi yang ada tersebut, kita dapat melihat lain penekanan, maka lain pula fungsi komunikasi yang diinginkan.

Apabila dikaitkan dengan perencanaan program komunikasi (PPK), maka akan menghasilkan perbedaan tujuan dari PPK sesuai definisi komunikasi yang dipakai.

Berbagai perbedaan tersebut akan bertambah lebar lagi ketika melihat ragam perspektif komunikasi. Berikut akan dipaparkan sebanyak 5 ragam perspektif komunikasi, agar kita mampu memperoleh bayangan mengenai perspektif mana yang lebih dekat dengan tujuan PPK yang ingin kita buat.

Perspektif Transmisionis

Perspektif transmisionis merupakan pandangan paling dominan dalam komunikasi, dengan menekankan pada proses pengiriman pesan dari sumber ke penerima melalui saluran tertentu dan menghasilkan suatu efek tertentu pula.

Dalam prosesnya, komunikasi dianggap tidak memiliki hambatan apa pun dan berjalan secara linear, satu arah. Acuan dalam pandangan ini adalah model komunikasi milik Harold D. Lasswell yang menyatakan bahwa ‘komunikasi adalah siapa, mengatakan apa, melalui saluran mana, kepada siapa, dengan efek apa’.

Masih dalam model Lasswell, karakteristik masing-masing komponen komunikasi tidak diperhitungkan. Dengan demikian, perspektif transmisionis melihat proses komunikasi secara mekanistik, ibarat upaya menyalurkan arus listrik dari sumbernya ke bola lampu dan/atau berbagai alat elektronik lainnya, lalu menyala. Jadi, baik sumber maupun penerima pesan memiliki dimensi kemanusiaannya masing-masing dari segi sosial, budaya, dan biologis.

Apabila pendekatan ini diterapkan dalam strategi komunikasi, maka pelaksana PPK selaku komunikator akan menempatkan khalayak sebagai pihak yang hanya menerima apa pun yang ingin disampaikan oleh komunikator.

Sebaliknya, komunikator akan menganggap dirinya boleh mengatakan apa pun karena sudah yakin bahwa khalayak akan menerimanya. Di sisni, komunikator beranggapan bahwa semua informasi yang ia sampaikan sudah pasti didengar dan menimbulkan efek terhadap khalayak.

Perspektif Display

Proses komunikasi dianggap sebagai upaya menarik perhatian khalayak dengan memajang sejumlah informasi (ibarat menaruh berbagai macam barang di etalase toko). Dengan demikian, komunikasi diarahkan sebagai upaya menampilkan sebanyak-banyaknya informasi atau pesan dengan harapan khalayak akan tertarik dengan usaha komunikasi kita. Pembuatan CV dan daftar riwayat hidup merupakan beberapa contoh terbaik dalam perspektif display.

Pandangan juga dikenal dengan istilah model publisitas, di mana model komunikasi nya memberikan tekanan pada pentingnya berbagai proses dan upaya dalam memberikan informasi kepada publik (publisitas) agar mereka tahu dan sadar akan program yang kita miliki, yang kemudian akan menghasilkan atensi dari publik terhadap informasi yang kita publis. Press release atau press conference yang sering diadakan para praktisi humas merupakan contoh dari publisitas.

Semisal perspektif display-attention diterapkan dalam stategi komunikasi, maka pelaksana PPK akan memusatkan diri pada upaya menampilkan ragam informasi yang akan ditampilkan kepada khalayak. Hendaknya, pilihlah informasi apa saja tanpa memikirkan dampak khusus yang akan ditimbulkan. Karena yang terpenting adalah atensi dari publik terhadap informasi tersebut.

Perspektif Mencipta Makna

Pemilihan tanda (signs) dalam proses komunikasi menjadi hal yang sangat mendasar agar makna yang dikirimkan dapat dipahami oleh khalayak (Fiske, 1990: 39-63). Dalam khazanah ilmu komunikasi, penggunaan tanda dan makna dibahas dalam semiotika.

Dalam semiotika, signs (tanda), terdiri atas ikon (icons) yang memiliki kemiripan, seperti foto wajah seseorang mirip atau sama dengan pemilik wajah tersebut; indeks (index) yang dicirikan dengan keterkaitan, seperti asap yang merupakan tanda adanya api; simbol (symbol) yang dicirikan dengan kesepakatan, misalnya lampu hijau berarti jalan.

Jika perspektif mencipta makna diterapkan dalam strategi komunikasi suatu PPK, para perencana harus mulai menyadari tentang ‘makna atau citra’ apa yang akan disampaikan kepada publik. Selanjutnya, dalam pemilihan berbagai tanda, sekiranya harus akurat dan mewakili makna dan citra pesan, namun tetap mudah dipahami oleh publik.

Perspektif Ritual

Komunikasi dalam perspektif ritual, dilakukan dengan tujuan memelihara dan mempererat solidaritas komunitas. Berbagai partisipan dalam komunikasi dilibatkan agar menjadi bagian komunitas yang memiliki rasa saling memiliki.

Dengan menjadi ‘jemaah’ komunitas tersebut akan memunculkan berbagai istilah, seperti berbagi (sharing), asosiasi, partisipasi, persahabatan (fellowship), memiliki keyakinan yang sama (the possession of common faith).

Ciri lain dari pandangan ini adalah penekanannya pada proses komunikasi sebagai usaha memelihara suatu komunitas dan menghadirkan kembali kepercayaan bersama, bukan sebagai sarana penyebaran pesan. Komunikasi diibaratkan seperti secred ceremony (upacara suci), di mana semua partisipannya terlibat.

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ritual pun memiliki karakteristik tersendiri, yakni sebagai peneguhan nilai  komunikasi, sebagai penggambaran hal yang dianggap penting, dan sebagai penunjuk sesuatu yang sedang berlangsung serta mudah pecah dalam proses sosial.

Jika perspektif ritual diterapkan dalam strategi komunikasi, maka pelaksana PPK perlu mempertimbangkan nilai intrinsik dari kegiatan komunikasi tersebut. Tampaknya, pendekatan ini cocok diterapkan dalam strategi komunikasi yang akan dilaksanakan di wilayah konflik, guna memperbaiki kembali hubungan yang telah retak.

Perspektif Konstruksi Realitas

Menurut perspektif konstruksi realitas, kegiatan komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan suatu ‘kenyataan lain’ atau ‘kenyataan kedua’ melalui pengembangan wacana atas dasar realitas tertentu atau kenyataan pertama.

Selain itu, komunikasi dalam pandangan ini merupakan suatu upaya menghadirkan ‘bangunan makna’ tertentu kepada khalayak dengan menghimpun, mengolah dan menyusun berbagai informasi berdasarkan kerangka tertentu sehingga melahirkan suatu kenyataan simbolik atau kenyataan kedua tertentu.

Perspektif konstruksi realitas juga sering disebut dengan perspektif wacana. Karena kegiatan komunikasi yang terjadi bukan hanya sekadar proses penyampaian pesan atau informasi, melainkan kegiatan menyajikan sebuah wacana kepada publik yang dalam wacana tersebut terkandung ‘muatan’ tertentu.

Apabila perspektif konstruksi realitas diterapkan dalam strategi komunikasi, maka pelaksana PPK hendaknya piawai dalam mengembangkan Discourse sesuai tujuan kampanye yang akan dicapai. Mereka selayaknya orang yang kreatif menerjemahkan tujuan kampanye ke dalam wacana yang akan menjadi konten suatu kampanye.

The post 5 Ragam Perspektif Komunikasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Difusi Inovasi: Pengertian – Karakteristik dan Elemen https://haloedukasi.com/difusi-inovasi Sun, 11 Dec 2022 08:46:10 +0000 https://haloedukasi.com/?p=39964 Berbagai inovasi akan terus muncul seiring perkembangan zaman dan teknologi. Kemunculan inovasi baru harus diimbangi dengan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan prinsip-prinsip tertentu.  Komunikasi inilah yang nantinya akan berpengaruh terhadap upaya pengembangan dan pengadopsian inovasi-inovasi baru dalam suatu suatu sistem sosial. Teori difusi inovasi akan memberikan kita pemahaman baru mengenai pentingnya komunikasi interpersonal dalam memperkenalkan ide-ide baru yang […]

The post Difusi Inovasi: Pengertian – Karakteristik dan Elemen appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Berbagai inovasi akan terus muncul seiring perkembangan zaman dan teknologi. Kemunculan inovasi baru harus diimbangi dengan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan prinsip-prinsip tertentu. 

Komunikasi inilah yang nantinya akan berpengaruh terhadap upaya pengembangan dan pengadopsian inovasi-inovasi baru dalam suatu suatu sistem sosial.

Teori difusi inovasi akan memberikan kita pemahaman baru mengenai pentingnya komunikasi interpersonal dalam memperkenalkan ide-ide baru yang di kemudian hari akan menjadi suatu hal penting bagi para peneliti efek media.

Pengertian Difusi Inovasi

Difusi inovasi adalah teori yang berusaha menjelaskan tentang bagaimana, mengapa, dan pada tingkat apa suatu ide (gagasan) dan teknologi baru menyebar dalam suatu kebudayaan. Istilah difusi inovasi merupakan perpaduan dari kata difusi dan inovasi.

Dalam KBBI, difusi berarti suatu proses penyebaran atau perembesan sesuatu (bisa teknologi, kebudayaan, dan ide) dari satu pihak ke pihak lain. Sementara itu, inovasi adalah proses masuk atau pengenalan hal-hal baru.

Everett Rogers, seorang profesor ilmu komunikasi, adalah orang yang mempopulerkan teori difusi inovasi melalui bukunya yang berjudul “Diffusion of Innovations”  (1962).

Rogers berpendapat bahwa difusi inovasi adalah proses di mana suatu inovasi dikomunikasikan melalui beberapa saluran dengan jangka waktu tertentu dalam suatu sistem sosial yang dipandang secara subjektif. 

Asal-usul teori difusi inovasi memiliki berbagai variasi dan dapat menjangkau berbagai disiplin ilmu. Rogers merumuskan sebanyak lima elemen utama yang memberikan pengaruh besar terhadap penyebaran ide baru, antara lain inovasi, adopter, saluran komunikasi, waktu, dan sistem sosial.

Proses yang berlangsung tergantung pada modal sosial, yang kemudian inovasi harus diadopsi secara luas. Makna inovasi perlahan-lahan dikembangkan melalui sebuah proses konstruksi sosial.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa difusi inovasi adalah proses sosial dalam mengkomunikasikan ide atau gagasan baru yang awalnya dipandang secara subjektif, namun perlahan-lahan mulai dikembangkan melalui proses konstruksi sosial sehingga dapat dipandang secara objektif.

Latar Belakang Sejarah Difusi Inovasi

Konsep mengenai difusi pertama kali dipelajari dan diperkenalkan oleh sosiolog Prancis, Gabriel Tarde pada akhir abad ke-19 bersama antropolog Jerman dan Austria Friedrich Ratzel dan Leo Frobenius.

Penelitian dimulai pada 1920 hingga 1930 pada sub bidang sosiologi pedesaan di Amerika Serikat bagian utara. Kala itu, teknologi pertanian mengalami perkembangan yang begitu pesat, hingga para peneliti tertarik untuk melakukan penelitian bagaimana para petani secara mandiri melakukan adopsi inovasi terhadap benih, peralatan, dan teknik hibrida.

Pada 1943, sebuah studi tentang adopsi inovasi terhadap benih jagung hibrida di Lowa oleh Ryan dan Gross yang menguatkan karya sebelumnya tentang difusi inovasi ke dalam paradigma berbeda yang akan dikutip secara konsisten di masa depan.

Sejak dimulainya penelitian di bidang sosiologi pertanian, difusi inovasi mulai diterapkan ke berbagai konteks, seperti sosiologi medis, ilmu komunikasi, studi pembangunan, pemasaran, studi organisasi, biologi konservasi, manajemen pengetahuan, dan berbagai bidang kesehatan dengan kompleksitas tertentu.

 Pada 1962, Everett Rogers, profesor sosiologi pedesaan di Ohio University menerbitkan sebuah buku berjudul “Diffusion of Innovations”. Rogers melakukan sintesis terhadap penelitian dari lebih dari 508 studi difusi lintas bidang yang pada awalnya memengaruhi teori antropologi, sosiologi awal dan pedesaan, pendidikan, sosiologi industri, dan sosiologi medis.

Dari hasil penelitiannya, Rogers terapkan pada berbagai pengaturan perawatan kesehatan untuk mengatasi masalah seperti pencegahan kanker, program KB, dan mengemudi dalam keadaan mabuk.

Dari penerapan sintesisnya tersebut, Rogers mampu menghasilkan teori adopsi inovasi antara individu dan organisasi. Teori mengenai difusi inovasi dalam buku Rogers adalah teori yang paling sering dikutip dalam penelitian difusi.

Berbagai metodologinya diikuti dengan cermat dalam penelitian difusi baru-baru ini, bahkan ketika bidang tersebut telah mengalami perkembangan dan dipengaruhi oleh disiplin metodologi lain, seperti analisis jaringan sosial dan komunikasi. 

Karakteristik Teori Difusi Inovasi

Tujuan utama dari kegiatan difusi inovasi adalah pengadopsian ide, gagasan dan pengetahuan baru baik oleh individu maupun kelompok sosial tertentu.

Dalam beberapa studi difusi inovasi yang ada, telah banyak dilakukan eksplorasi terhadap banyaknya karakteristik inovasi. Salah satunya adalah meta-review yang telah mengidentifikasi beberapa karakteristik umum di antara sebagian besar studi.

Hal ini sejalan dengan beberapa karakteristik yang awalnya telah dikutip oleh Rogers dalam ulasannya, antara lain keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, dan keterujiannya.

1. Keuntungan Relatif (Relative Advantage)

Keuntungan relatif merupakan pandangan mengenai keadaan sebuah inovasi baru, apakah dapat dikatakan lebih baik dari inovasi sebelumnya atau justru sebaliknya, tidak lebih baik dari inovasi sebelumnya.

Hal yang menjadi tolok ukurnya adalah bagaimana seorang adopter merasakan langsung dampak dari inovasi tersebut, berupa tingkat kepuasan terhadap inovasi tersebut. Semakin besar keuntungan relatif yang dirasakan oleh adopter, semakin cepat pula suatu inovasi diadopsi oleh kelompok tertentu.

2. Kesesuaian (Compatibility)

Dalam difusi inovasi, kesesuaian berkaitan erat dengan bagaimana suatu inovasi dapat dikatakan sesuai dengan kondisi masyarakat, seperti kebudayaan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tersebut. Selain itu, kesesuaian juga dilihat dari kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Dengan demikian, jika suatu inovasi tidak memiliki kesesuaian dengan beberapa elemen masyarakat yang disebutkan tadi, maka proses pengadopsiannya tidak sebaik dan secepat inovasi yang kompatibel dengan elemen masyarakat yang ada. 

3. Kerumitan (Complexity)

Kerumitan atau complexity di sini berkaitan dengan seberapa sulit atau rumitnya sebuah inovasi dapat dipahami dan dijalankan oleh adopter.

Semakin rumit sebuah inovasi, maka semakin sulit pula untuk diadopsi. Sebaliknya, semakin mudah suatu inovasi untuk dipahami dan dijalankan, semakin mudah pula kegiatan adopsi dilakukan. 

4. Keterujian (Trialability)

Sulit atau mudahnya suatu inovasi untuk diadopsi tergantung pada faktor manakala inovasi tersebut dapat diuji coba dalam kondisi yang sebenarnya. Dengan dilakukannya suatu pengujian terlebih dahulu, akan diketahui sesuai atau tidaknya suatu inovasi terhadap sistem sosial tertentu.

Selain itu, adopter juga dapat lebih mudah dalam mengetahui kelebihan serta kekurangan suatu inovasi sebelum akhirnya diadopsi secara keseluruhan.

Elemen Kunci Difusi Inovasi

Dalam bukunya “Diffusion of Innovations”, Rogers merumuskan sebanyak lima elemen utama yang memberikan pengaruh besar terhadap penyebaran ide baru, antara lain inovasi, adopter, saluran komunikasi, waktu, dan sistem sosial.

Inovasi

Inovasi memiliki kategori yang luas, dan relatif terhadap pengetahuan saat ini dari berbagai unit yang dianalisis. Setiap ide, praktik, teknologi, atau objek yang dianggap baru oleh individu atau adopter lainnya dapat dianggap sebagai inovasi yang patut untuk dipelajari. 

Sejalan dengan hal ini, inovasi dapat dikatakan sebagai hal yang diukur secara subjektif menurut masing-masing individu yang menerimanya.

Adopter

Adopter atau pengadopsi adalah suatu unit kelompok analisis minimal. Dalam sebagian besar penelitian, pengadopsi adalah individu. Namun demikian, adopter juga dapat berupa organisasi (seperti bisnis, sekolah, rumah sakit), kelompok dalam jaringan sosial, atau negara.

Saluran Komunikasi

Difusi, menurut definisinya, terjadi di suatu unit yaitu antara orang atau organisasi. Saluran komunikasi memungkinkan terjadinya transfer informasi dari satu unit ke unit lainnya. 

Pola atau kemampuan komunikasi harus dibangun di antara pihak-pihak sedini mungkin agar terjadi proses difusi.

Waktu

Panjang durasi yang diperlukan agar inovasi dapat diadopsi secara sempurna tergantung dari beberapa faktor internal maupun eksternal. Namun, inovasi jarang diadopsi secara instan. 

Faktanya, dalam studi Ryan dan Gross (1943) tentang adopsi jagung hibrida, proses adopsi terjadi selama lebih dari sepuluh tahun, dan sebagian besar petani hanya mengabdikan sebagian kecil di ladang mereka untuk jagung varietas baru di tahun-tahun pertama setelah adopsi. 

Sistem Sosial

Sistem sosial merupakan kombinasi dari berbagai pengaruh, baik internal (hubungan sosial yang kuat dan lemah, ruang dari opinion leader) maupun eksternal (media massa, surfaktan, perintah dari organisasi atau pemerintah).

Terdapat banyak peran dalam suatu sistem sosial, yang dalam kombinasi dari beberapa peran tersebut mewakili pengaruh total pada adopter paling potensial.

Kategori Adopter dalam Difusi Inovasi

Rogers mengklasifikasikan kategori adopter sebagai individu dalam sistem sosial dengan dasar inovasi. Dalam bukunya Diffusion of Innovations, mengkategorikan adopter dalam difusi inovasi tersebut menjadi lima jenis, diantaranya innovators, early adopters, early majority, late majority, dan laggards.

Innovators

Inovator merupakan mereka yang pertama kali memperkenalkan dan melakukan adopsi suatu inovasi, baik berupa ide, gagasan, pengetahuan maupun metode baru.

Ciri utama yang dimiliki oleh seorang innovator adalah individu penyuka tantangan, berani mengambil resiko, dan biasanya memiliki kemampuan finansial yang mendukung untuk menjadi seorang inovator. Jumlah mereka hanya sekitar 2,5% dari jumlah populasi dalam suatu kelompok sosial tertentu.

Early Adopters (Perintis/Pelopor)

Early adopters atau perintis adalah mereka yang bersedia memulai inovasi dalam suatu kelompok.

Umumnya, early adopters mereka berasal dari kalangan terpandang dan memiliki banyak pengikut dalam suatu kelompok sosial tertentu. Jumlah mereka sekitar 13,5% dari jumlah keseluruhan dari suatu kelompok sosial.

Early Majority (Pengikut Dini)

Total ada sekitar 34% early majority dari seluruh jumlah suatu kelompok tertentu. Mereka adalah mayoritas orang yang secara bersama-sama menjadi pengikut awal dari suatu inovasi.

Ciri khas dari mereka adalah memiliki pertimbangan matang sebelum melakukan sebuah pengambilan keputusan.

Late Majority (Pengikut Akhir)

Late majority merupakan kumpulan masyarakat yang secara bersama-sama menjadi pengikut terakhir dalam sebuah inovasi.

Mereka merupakan kelompok yang memiliki pemikiran pragmatis terhadap suatu kebenaran dan kebermanfaatan dari suatu inovasi yang hendak mereka adopsi. Jumlah mereka sama dengan jumlah early majority, yaitu sekitar 34% dalam suatu kelompok sosial tertentu.

Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional)

Dalam suatu kelompok sosial, pasti ada beberapa orang yang masuk dalam kategori sulit untuk menerima inovasi atau perubahan. Mereka disebut dengan laggards atau kaum kolot/tradisional.

Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti usia, adat dan tradisi di daerah tempat tinggal, dan lainnya. Jumlah mereka ada sekitar 16% dari jumlah seluruh suatu kelompok sosial.

Tahapan Pengambilan Keputusan Inovasi

Pada 1943, Ryan dan Gross pertama kalinya mengidentifikasi keputusan adopsi sebagai suatu proses, diantaranya kesadaran, minat, evaluasi, percobaan, dan adopsi.

Seiring perkembangan teori, lima tahapan tadi dievaluasi oleh beberapa ahli hingga Rogers mengubah terminologi lima tahapannya menjadi pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, dan konfirmasi.

1. Tahap Pengetahuan (Knowledge)

Ketika pertama kali dihadapkan dengan suatu inovasi, individu cenderung akan mengalami fase ketidaktahuan mengenai informasi inovasi tersebut.

Dalam tahap ini, individu belum terinspirasi untuk tahu lebih banyak hingga adanya kegiatan pengenalan inovasi oleh innovator. Tahap inilah yang dinamakan dengan tahap knowledge (munculnya pengetahuan).

Ketika seseorang paham tentang sebuah inovasi, mereka akan cenderung lebih mudah untuk mengadopsinya.

Ada tiga jenis pengetahuan yang dicari masyarakat pada tahap ini, antara lain kesadaran bahwa inovasi tersebut ada, wawasan mengenai penggunaan inovasi tersebut, dan wawasan yang menjadi dasar dari fungsi inovasi tersebut.

2. Tahap Persuasi (Persuasion)

Dalam tahap persuasi, seseorang akan membentuk sikap tertarik atau tidak tertarik terhadap suatu inovasi. Masyarakat secara aktif akan mencari detail informasi mengenai inovasi baru tersebut, termasuk keuntungan dan kerugian yang menyertainya.

Sebuah persepsi akan terbentuk melalui tahap persuasi. Ada beberapa karakteristik inovasi yang dicari seseorang dalam tahap persuasi, diantaranya relative advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability.

3. Tahap Keputusan (Decision)

Setelah individu mengambil konsep dari sebuah inovasi, mereka akan menimbang keuntungan dan kerugian yang akan didapatkan dari inovasi tersebut.

Kemudian masuklah ke tahap decision di mana seseorang membuat sebuah keputusan terhadap sebuah inovasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tadi. Keputusan berupa penerimaan atau penolakan.

Ada beberapa faktor yang mampu memengaruhi keputusan seseorang, diantaranya praktik sebelumnya, perasaan atau kebutuhan, keinovatifan, dan norma dalam sistem sosial.

Dikarenakan kebanyakan merupakan sifat individualistis, Rogers mengatakan bahwa tahap ini adalah tahap paling sulit untuk memperoleh bukti empiris.

4. Tahapan Penerapan (Implementation)

Individu menerapkan sebuah inovasi untuk tingkat yang berbeda-beda tergantung pada situasi yang dialaminya. Pada tahap implementasi, individu juga akan membuat keputusan untuk mengadopsi sebuah inovasi baru, yang kemudian akan diterapkan dalam kehidupannya.

Individu yang menerapkan inovasi dalam kehidupannya disebut adopter. Jika pada tahap sebelumnya terjadi proses mental exercise yaitu berpikir dan memutuskan, maka dalam tahapan penerapan, seorang individu akan lebih mengarah ke perubahan tingkah laku.

5. Tahapan Konfirmasi/Lanjutan (Confirmation)

Pada tahap lanjutan, individu akan melakukan sebuah evaluasi guna memutuskan apakah akan terus menggunakan inovasi yang telah diadopsi atau memilih untuk mengakhirinya.

Tahap ini bersifat intrapersonal (bisa menyebabkan disonansi kognitif) dan interpersonal, di mana suatu kelompok telah membuat keputusan tepat.

Selama tahap konfirmasi, individu biasanya mengalami disonansi kognitif, yang dipicu oleh berbagai informasi negatif mengenai inovasi.

Apabila disonansi tidak segera dihilangkan, inovasi bisa ditinggalkan guna mencapai keseimbangan. Dengan demikian, dibutuhkan bantuan dari change agent untuk membantu adopter merasa lebih nyaman.

The post Difusi Inovasi: Pengertian – Karakteristik dan Elemen appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
6 Gaya Komunikasi Organisasi https://haloedukasi.com/gaya-komunikasi-organisasi Sat, 10 Dec 2022 04:06:00 +0000 https://haloedukasi.com/?p=39868 Dalam konteks komunikasi organisasi, gaya komunikasi memiliki peranan penting dalam proses penerimaan pesan terhadap komunikannya. Kesesuaian setiap gaya komunikasi yang digunakan tergantung pada maksud dari pengirim serta harapan dari penerima. Gaya komunikasi dapat didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antar individu yang diterapkan dalam situasi tertentu. Masing-masing gaya tersebut digunakan untuk mendapatkan respons atau tanggapan tertentu dan […]

The post 6 Gaya Komunikasi Organisasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Dalam konteks komunikasi organisasi, gaya komunikasi memiliki peranan penting dalam proses penerimaan pesan terhadap komunikannya. Kesesuaian setiap gaya komunikasi yang digunakan tergantung pada maksud dari pengirim serta harapan dari penerima.

Gaya komunikasi dapat didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antar individu yang diterapkan dalam situasi tertentu. Masing-masing gaya tersebut digunakan untuk mendapatkan respons atau tanggapan tertentu dan dalam situasi tertentu pula.

The Controlling Style

The Controlling Style merupakan gaya komunikasi yang sifatnya mengendalikan. Hal ini ditandai dengan adanya suatu kehendak atau maksud untuk membatasi, mengatur, dan memaksa perilaku pikiran, dan tanggapan orang lain atau lawan bicaranya agar patuh terhadap pandangan-pandangannya. Kegiatan komunikasi dengan gaya komunikasi ini dikenal dengan istilah komunikasi satu arah.

Beberapa pihak yang menerapkan tipe ini memiliki kecenderungan untuk lebih memusatkan perhatiannya kepada pengiriman pesan dibandingkan dengan upaya berbagi sebuah pesan.

Mereka tidak tertarik dengan tanggapan yang diberikan oleh orang lain, kecuali tanggapan tersebut bermanfaat untuk kepentingan pribadinya. Komunikasi tipe ini juga tidak memiliki masalah dengan pandangan negatif orang lain terhadap mereka.

The Equalitarian Style

Aspek penting yang ditekankan dalam The Equalitarian Style adalah adanya landasan persamaan. Hal ini ditandai dengan adanya pemberlakuan arus penyebaran informasi atau pesan, baik secara verbal maupun tertulis, yang sifatnya dua arah. Selain itu, kegiatan komunikasi yang berlangsung dilakukan secara terbuka.

Masing-masing individu dalam kegiatan komunikasi dengan The Equalitarian Style dapat mengungkapkan gagasan atau pendapat mereka dalam suasana yang santai, rileks, dan informal. Sehingga, dengan suasana tersebut, dapat dipastikan setiap individu mampu mencapai kesepakatan dan pengertian bersama.

Individu-individu yang menerapkan gaya komunikasi ini cenderung memiliki sikap kepedulian tinggi serta kemampuan dalam membina hubungan baik dengan orang lain, baik dalam konteks hubungan pribadi maupun lingkungan profesional (pekerjaan).

The Equalitarian Style akan sangat efektif jika diterapkan dalam suatu organisasi, karena mampu memelihara empati dan kerja sama khususnya saat dalam pengambilan keputusan sebuah permasalahan yang kompleks.

The Structuring Style

The Structuring Style dalam penggunaannya selalu memanfaatkan pesan-pesan secara lisan maupun tertulis guna memantapkan dan menegaskan instruksi yang harus dilaksanakan, seperti penjadwalan tugas dan pekerjaan serta struktur organisasi.

Komunikator atau pengirim pesan akan lebih memusatkan perhatiannya pada keinginan untuk memersuasi orang lain dengan berbagai informasi mengenai tujuan-tujuan yang dibawanya, seperti tujuan suatu organisasi, aturan dan prosedur yang berlaku dalam suatu organisasi, dan jadwal kerja.

Stogdill dan Coons dari The Bureau of Business Research of Ohio State University, menemukan dimensi dari suatu gaya kepemimpinan yang efektif, yang mereka beri nama Initiating Structure (Struktur Inisiasi). Keduanya menjelaskan bahwa pemrakarsa struktur (structure initiator) yang efisien adalah mereka para individu yang mampu merencanakan berbagai pesan verbal guna penegasan dan pemantapan lebih pada tujuan organisasi, kerangka perusahaan, serta baik dalam memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul.

The Dynamic Style

Pada kegiatan komunikasi dengan The Dynamic Style, pengirim pesan (sender) memiliki kecenderungan agresif karena mereka paham bahwa lingkungan kerjanya berorientasi pada tindakan (action-oriented). Tujuan utama penerapan gaya komunikasi ini adalah untuk memberikan stimulus atau rangsangan pada karyawan atau pekerja agar bekerja lebih cepat, baik, dan efisien.

The Dynamic Style cukup efektif jika diterapkan dalam situasi yang genting dan kritis, namun dengan syarat pekrja atau bawahan memiliki kemampuan dan kapasitas yang cukup untuk mengatasi permasalahan tersebut. Gaya komunikasi dinamis juga sering digunakan oleh para juru kampanye atau orator untuk menggerakkan massa.  

The Relinguishing Style

The Relinguishing Style lebih cenderung memberikan kesediaan dalam menerima saran, pendapat, maupun gagasan orang lain dibanding keinginan untuk memberikan instruksi atau perintah meski sender memiliki hak untuk mengontrol dan memberikan perintah pada orang lain.

Namun demikian, pesan atau informasi pada kegiatan komunikasi dengan gaya komunikasi ini akan efektif jika pengirim pesan bekerjasama dengan orang atau individu yang memiliki pengetahuan luas, berpengalaman di bidangnya, teliti, serta bersedia bertanggung jawab atas semua tugas dan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

The Withdrawal Style

Gaya komunikasi The Withdrawal Style akan memunculkan efek atau akibat berupa melemahnya tindak komunikasi. Artinya tidak adanya keinginan dari orang-orang untuk menggunakan gaya komunikasi ini untuk berinteraksi dengan orang lain dikarenakan adanya beberapa persoalan atau kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh masing-masing individu tersebut.

Sebagai contoh, ketika seorang individu mengatakan “Saya tidak tertarik untuk terlibat dalam masalah ini”. Pernyataan tersebut memiliki dua makna, yaitu bahwa individu tersebut mencoba untuk lepas diri dari tanggung jawab dan merupakan sebuah tanda atau sinyal jika ia berkeinginan untuk menghindari interaksi dan komunikasi dengan orang lain.

The post 6 Gaya Komunikasi Organisasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
5 Tipe Kekuasaan dalam Organisasi Menurut French dan Raven https://haloedukasi.com/tipe-kekuasaan-dalam-organisasi Sat, 10 Dec 2022 03:55:35 +0000 https://haloedukasi.com/?p=39869 Hierarki kekuasaan dalam suatu organisasi memberikan konsekuensi tersendiri terhadap masing-masing anggotanya. Kekuasaan yang efektif akan mampu menumbuhkan motivasi para bawahan untuk melaksanakan tugasnya guna mencapai tujuan yang ditetapakan, dan juga sebaliknya. Dalam suatu kekuasaan, hampir selalu berkaitan dengan berbagai praktik, seperti penggunaan rangsangan atau paksaan sebagai cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selayaknya para pimpinan setidaknya […]

The post 5 Tipe Kekuasaan dalam Organisasi Menurut French dan Raven appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Hierarki kekuasaan dalam suatu organisasi memberikan konsekuensi tersendiri terhadap masing-masing anggotanya. Kekuasaan yang efektif akan mampu menumbuhkan motivasi para bawahan untuk melaksanakan tugasnya guna mencapai tujuan yang ditetapakan, dan juga sebaliknya.

Dalam suatu kekuasaan, hampir selalu berkaitan dengan berbagai praktik, seperti penggunaan rangsangan atau paksaan sebagai cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selayaknya para pimpinan setidaknya mengupayakan sedikit penggunaan insentif dan koersif.

Kekuasaan didefinisikan sebagai kualitas yang melekat dalam suatu interaksi antara dua atau lebih individu, berupa kemampuan memengaruhi orang lain agar bersedia melakukan sesuatu sesuai instruksi atau perintahnya. Apabila setiap individu yang berinteraksi melakukan tindakan dalam rangka saling memengaruhi satu sama lain, maka dalam interaksi tersebut akan muncul suatu pertukaran kekuasaan.

Menurut French dan Raven, terdapat lima tipe kekuasaan dalam sebuah organisasi, diantaranya reward, coercive, expert, referent, dan legitimate.

Reward Power (Kekuasaan Balas Jasa)

Reward power merupakan tipe kekuasaan yang memusatkan perhatiannya pada kemampuan untuk memberikan imbalan, penghargaan atau ganjaran kepada bawahan atau pekerja atas hasil dari pekerjaan dan tanggung jawab yang telah dilakukannya.

Jenis kekuasaan ini akan terwujud dalam sebuah situasi atau keadaan yang memungkinkan orang lain menemukan sebuah kepuasan. Namun, akan melemah apabila reward (penghargaan) yang diberikan tidak mencapai tingkat kepuasan yang cukup bagi orang lain.

Tipe kekuasaan seperti ini timbul karena posisi atau jabatan yang dimiliki memungkinkannya untuk memberikan imbalan atau reward tersebut kepada orang yang berada di bawahnya. Reward di sini bisa berupa gaji, kenaikan jabatan (promosi), pujian, pengakuan, dan hal-hal menarik lainnya.

Coercive Power (Kekuasaan Paksaan)

Coercive power atau kekuasaan paksaan merupakan jenis kekuasaan yang cenderung memusatkan perhatiannya pada penggunaan hukuman atau ancaman dalam memengaruhi seseorang agar bersedia bertindak sesuai keinginannya.

Bisa dipastikan tiipe koersif berlaku apabila seorang bawahan merasa atasannya memiliki “lisensi” untuk menghukum dengan berbagai tugas yang sulit, cacian, makian, hingga tindakan pemotongan gaji.

Bisa dikatakan bahwa coercive power merupakan kebalikan dari reward power. David Lewless menyebutkan bahwa apabila tipe kekuasaan koersif terlalu sering digunakan oleh seorang pemimpin, akan berpotensi pada munculnya tindakan balas dendam dari bawahannya akibat perlakuan tidak adil yang diterimanya.

Referent Power (Kekuasaan Rujukan)

Kekuasaan rujukan merupakan jenis kekuasaan didasarkan pada suatu kekaguman, kesukaan, keteladanan, kepribadian, dan karisma dari seorang pemimpin. Dalam artian bahwa perasaan-perasaan tersebut timbul ketika seseorang mengidentifikasi orang lain yang memiliki kualitas seperti yang diinginkannya.

Singkatnya, seorang pemimpin akan memiliki referensi terhadap bawahannya yang mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan kepadanya. Contoh dari tipe kekuasaan ini adalah Mahatma Gandhi, yang memimpin jutaan orang dengan kepribadian dan karismanya yang mengagumkan.

Expert Power (Kekuasaan Keahlian)

Bentuk kekuasaan yang didasarkan pada keahlian dan pengetahuan mendalam. Tipe ini memfokuskan diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan pasti memiliki keahlian, pengetahuan, dan informasi lebih mengenai persoalan tertentu guna memenuhi peran dan tanggung jawab yang diemban.

Seorang pemimpin atau atasan akan dianggap memiliki suatu expert power mengenai persoalan tertentu, jika para bawahannya sering berkonsultasi serta menerima jalan pemecahan masalah yang diberikan pimpinan tersebut. Bill Gates adalah salah satu contoh pemimpin dengan expert power yang sudah diakui kemampuannya oleh para bawahannya.

Legitimate Power (Kekuasaan Sah)

Kekuasaan sah merupakan kekuasaan yang sesungguhnya (actual power), yaitu ketika seseorang melalui suatu kesepakatan diberikan sebuah hak untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam suatu organisasi. Jenis kekuasaan ini masih bersandar pada struktur sosial dalam suatu organisasi, terutama nilai-nilai kultural yang ada dalam lingkungan tersebut.

Contoh nyata dari legitimate power adalah senioritas dalam organisasi, di mana seseorang yang dianggap lebih tua akan memiliki hak dan wewenang lebih, baik untuk memberikan perintah atau instruksi, kepada seseorang yang lebih muda darinya.   

The post 5 Tipe Kekuasaan dalam Organisasi Menurut French dan Raven appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Media Relation: Pengertian – Ruang Lingkup & Cara Kerja https://haloedukasi.com/media-relation Sat, 10 Dec 2022 02:38:00 +0000 https://haloedukasi.com/?p=39821 Dalam praktiknya, humas dan media selalu berkaitan dan bersentuhan dikarenakan kebutuhannya masing-masing. Humas memerlukan media untuk publikasi, sedangkan jurnalis membutuhkan bahan atau informasi yang bisa mereka muat di media. Maka dari itu, diperlukan hubungan yang baik dan stabil diantara keduanya, agar selalu bisa saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Pengertian Media relations atau hubungan media merupakan sebuah […]

The post Media Relation: Pengertian – Ruang Lingkup & Cara Kerja appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Dalam praktiknya, humas dan media selalu berkaitan dan bersentuhan dikarenakan kebutuhannya masing-masing. Humas memerlukan media untuk publikasi, sedangkan jurnalis membutuhkan bahan atau informasi yang bisa mereka muat di media.

Maka dari itu, diperlukan hubungan yang baik dan stabil diantara keduanya, agar selalu bisa saling memenuhi kebutuhan masing-masing.

Pengertian

Media relations atau hubungan media merupakan sebuah spesialisasi khusus dalam public relations atau humas yang berkewajiban membangun dan memelihara hubungan saling menguntungkan antara sebuah organisasi dan berbagai saluran komunikasi atau media massa yang meliput berbagai organisasi atau perusahaan yang ada.

Terdapat dua pendekatan menonjol yang digunakan dalam melihat media relations. Pendekatan pertama melihat media relations sebagai kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh publisitas secara maksimum dari media massa.

Pendekatan kedua melihat media relations sebagai sebuah hubungan positif yang berkelanjutan dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Selain untuk memperoleh publisitas, tujuan lain dari hubungan ini adalah membantu jurnalis agar berita yang dilaporkan nya bersifat akurat, fair, dan berimbang.

Fungsi Media Relations

Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab mengapa media massa menjadi begitu penting bagi praktisi humas, di antaranya:

  • Sebagai saluran komunikasi praktisi humas, contohya dengan melalui publikasi dan iklan.
  • Sebagai alat membentuk pendapat umum yang dapat memengaruhi keberadaan lembaga.
  • Sebagai alat untuk menjalankan fungsi agenda setting, tentunya hal ini berkaitan dengan cara dari media menyajikan isu di kalangan orang tertentu.
  • Sebagai third party endorser yang dapat mengukuhkan posisi lembaga di tengah-tengah masyarakat. Karena apa yang dikatakan oleh media, seringkali ditempatkan sebagai pendapat yang layak untuk diperhatikan.
  • Sebagai sarana dalam melakukan difusi inovasi. Karena media berperan penting dalam pengenalan ide atau gagasan baru kepada publik, dengan jangkauan yang lebih luas.
  • Sebagai tempat pertarungan berbagai wacana dan kepentingan yang terwujud dalam berbagai pemberitaannya.

Cara Kerja Media Relations

Tugas utama dari sebuah media adalah bagaimana mengolah realitas sosial untuk dijadikan sebuah informasi yang nantinya akan disampaikan oleh pers. Agar informasi yang disajikan bermanfaat bagi pemberdayaan khalayak, informasi yang diberikan oleh praktisi humas haruslah objektif dan tidak terdistorsi oleh pihak mana pun. Reporter yang berfungsi sebagai gatekeeper harus melakukan seleksi terhadap realitas sosial yang ada menggunakan kriteria nilai layak berita.

Setelah itu, berita yang telah ditulis oleh reporter kemudian akan diseleksi lagi oleh para redaktur bidang menggunakan kriteria layak muat. Redaktur boleh melakukan penyuntingan terhadap berita tadi, dan boleh pula untuk tidak memuatnya karena berbagai alasan.

Berbagai berita yang sudah layak muat akan diseleksi dan diedit lagi oleh redaktur pelaksana atau pimpinan redaksi sebagai penanggung jawab media. Para redaktur pelaksana dan pimpinan redaksi akan menggunakan kriteria layak terbit sebagai pedoman dalam pemilihan berita yang akan dimuat di media massa.

Ruang Lingkup Media Relations

Level Kelembagaan

Media relations pada level kelembagaan terjadi antara organisai (bisnis, sosial, politik) dan organisasi media. Pada level ini, para pimpinan lembaga atau organisasi harus memiliki kesadaran untuk selalu menjaga hubungan baik dengan para pimpinan media massa.

Level Individu

Pada level individu, media relations terjadi antara pekrja organisasi yang masing-masing diwakili oleh humas dan pekerja media, yaitu wartawan. Ini merupakan hubungan yang mau tidak mau pasti terjadi, direncanakan atau tidak. Praktisi humas akan selalu berhubungan dengan media, baik direncanakan atau tidak, diinginkan atau tidak, maupun suka atau tidak suka.

Maka dari itu, membangun hubungan baik antar keduanya adalah sebuah kewajiban utama. Dengan begitu, hubungan kedua organisasi pun akan terkelola dengan baik. Humas akan mendapatkan media sebagai penyampai pesan-pesannya, dan wartawan akan mendapatkan bahan untuk pemberitaanya.

Langkah Sistematis Media Relations

Terdapat dua langkah sistematis yang perlu dilakukan oleh humas dalam rangka membangun hubungan baik dengan media, yaitu:

  • Memahami media massa yang ada, baik dari jati diri media, cara kerja media, maupun gaya khusus yang dimiliki masing-masing media, ruang lingkup, sirkulasi, serta aspek-aspek keredaksian dari sebuah media massa.
  • Merancang sebuah program hubungan media yang memiliki tujuan jelas serta dapat dipertanggungjawabkan pada lembaga.

Cutlip, Center, dan Broom menyarankan beberapa sikap yang harus diterapkan oleh para praktisi humas yang ingin membangun hubungan baik dengan para jurnalis, antara lain:

  • Mengutamakan kejujuran. Apa pun yang terjadi terhadap sebuah lembaga atau organisasi, praktisi humas harus tetap jujur kepada para jurnalis.
  • Memberikan keterangan kepada jurnalis secepat mungkin. Hal ini berkaitan dengan prinsip kerja media yang selalu mengutamakan aktualitas berita atau informasi, serta kecepatan dalam menyajikannya.
  • Tidak mengiba kepada jurnalis. Seringkali keluhan muncul akibat jurnalis melakukan sebuah kesalahan. Begitu juga dengan perihal permohonan untuk pemuatan berita atau informasi.
  • Tidak meminta jurnalis untuk menghentikan sebuah pemberitaan.
  • Tidak membanjiri media dengan release yang mengandung unsur promosi, dan mengesampingkan berita yang bermanfaat bagi publik.

Sedangkan untuk aktivitas atau kegiatan yang bisa dilakukan oleh praktisi humas guna menjalin hubungan baik dengan media, di antaranya:

  • Melakukan pengiriman news release (siaran berita)
  • Melakukan kegiatan jumpa pers
  • Mengundang media untuk proses peliputan
  • Melakukan kunjungan perusahaan
  • Melakukan kunjungan pers
  • Melakukan wawancara pers
  • Melakukan taklimat pers
  • Melakukan media gathering
  • Menulis surat kepada redaksi serta berbagai kegiatan lain yang secara moral dan hukum dapat dipertanggungjawabkan

Kesalahan dalam Media Relations

Grabowski mengidentifikasi bahwa terdapat tujuh kesalahan yang dilakukan oleh praktisi humas guna menjalin hubungan dengan media, di antaranya:

  • Praktisi humas sering kurang memahami subjek yang sedang disampaikannya.
  • Praktisi humas tidak mau tahu atau tidak perduli terhadap jurnalis.
  • Kemampuan jual yang sangat rendah dari seorang praktisi humas.
  • Kemampuan menulis yang rendah dari seorang praktisi humas.
  • Praktisi humas terlalu percaya pada hal-hal yang tidak perlu.
  • Adanya perencanaan yang kurang matang dari seorang praktisi humas.
  • Kurangnya komunikasi antara praktisi humas dengan departemen lain di perusahaan.

Dimensi Etis dalam Media Relations

Masalah etis yang sedang berkembang di Indonesia mengenai hubungan praktisi humas dengan media massa (jurnalis) adalah pantaskah seorang praktisi humas menyediakan sebuah “amplop” bagi jurnalis yang sedang meliput kegitan yang dilakukan oleh lembaga atau organisasinya.

Kode etik profesi humas di berbagai negara menekankan pentingnya komitmen untuk menjaga integritas saluran komunikasi, termasuk oleh praktisi humas. Karena dengan begitu, praktisi humas juga berharap terhadap terhadap kredibilitas media yang terjaga serta pesan-pesan yang disampaikan dapat menjadi acuan dan dipercaya oleh publik.

Sebagai contoh, salah satu kode etik PRSA (Public Relations Society of America) yang menyatakan bahwa “seorang anggota tidak akan terlibat dalam praktik yang bertujuan mengorupsi integritas saluran komunikasi atau proses pemerintahan”. Dalam kode etik Perhumas Pasal III ayat b menyatakan “Anggota Perhumas selayaknya tidak melibatkan diri dalam tindakan untuk memanipulasi integritas sarana maupun jalur komunikasi massa.”

Masih di pasal yang sama, namun di ayat c menyatakan bahwa “seorang praktisi humas tidak diperbolehkan menyebarkan informasi yang tidak benar atau menyesatkan”. Serta akan segera melakukan koreksi terhadap informasi salah yang sudah terlanjur beredar, serta yang berada dalam tanggung jawabnya (artikel 2 Kode Etik PRSA).

Dari sini kita tahu bahwa kode etik humas mengatur dengan jelas bagaimana seharusnya seorang praktisi humas bersikap dalam menghadapi media massa (saluran komunikasi massa). yang menjadi persoalan adalah bagaimana para praktisi humas menginterpretasikan pasal-pasal tersebut.

The post Media Relation: Pengertian – Ruang Lingkup & Cara Kerja appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Jumpa Pers: Pengertian – Jenis dan Perencanaannya https://haloedukasi.com/jumpa-pers Mon, 05 Dec 2022 08:11:50 +0000 https://haloedukasi.com/?p=39822 Salah satu kegiatan teknis yang harus ditangani oleh praktisi humas adalah penyelenggaraan jumpa pers (press conference) bagi organisasi atau perusahaan. Acara ini diselenggarakan karena perusahaan memiliki informasi penting yang memiliki nilai berita, sehingga harus dipublikasikan ke punlik secara serempak melalui berbagai media massa. Pengertian Saat ini, jumpa pers sering disebut dengan istilah news conference. Karena mengingat dalam […]

The post Jumpa Pers: Pengertian – Jenis dan Perencanaannya appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Salah satu kegiatan teknis yang harus ditangani oleh praktisi humas adalah penyelenggaraan jumpa pers (press conference) bagi organisasi atau perusahaan. Acara ini diselenggarakan karena perusahaan memiliki informasi penting yang memiliki nilai berita, sehingga harus dipublikasikan ke punlik secara serempak melalui berbagai media massa.

Pengertian

Saat ini, jumpa pers sering disebut dengan istilah news conference. Karena mengingat dalam acara tersebut tidak hanya pers atau media cetak saja yang hadir, namun juga media penyiaran.

Baskin dkk (1997:221) dalam Public Relations: The Practice and The Profession, mendefinisikan press conference sebagai peluang terstruktur yang memiliki tujuan menyebarkan berita secara serempak kepada seluruh media.

Sementara itu, Tucker, Derelian, dan Rouner (1994:205) mengartikan jumpa pers sebagai peluang meningkatkan nilai penting sebuah isu pada media, dengan publik sebagai sasarannya.

Dapat kita simpulkan bahwa jumpa pers adalah sebuah kegiatan terstruktur yang menjadi kesempatan untuk membuat sebuah isu atau keadaan menjadi penting dan memperoleh perhatian dimulai dari kalangan media hingga khalayak luas, publik.

Jumpa pers menjadi sebuah sarana terjadinya dialog aktif antara wartawan dan pihak perusahaan yang diwakili oleh seorang juru bicara. Melalui jumpa pers pula, media massa menjadi sarana bagi perusahaan atau organisasi untuk menyampaikan permasalahan-permasalahan penting yang sedang mereka hadapi kepada publik.

Ada sejumlah keuntungan yang didapatkan oleh organisasi ketika praktisi humas mengadakan jumpa pers. Adanya perhatian cukup besar dari media massa terhadap suatu isu yang awalnya mungkin tidak ada sama sekali.

Jika ada sebuah keuntungan, maka dipastikan ada kekurangan yang menyertainya. Yaitu, di samping biaya yang dikeluarkan cukup besar, dalam sebuah jumpa pers terkadang memiliki kendala seperti risiko tidak adanya wartawan yang mau menghadiri jumpa pers tersebut. Belum lagi, di Indonesia jumpa pers bisa menjadi ajang wartawan beramplop beraksi.

Jenis Jumpa Pers

Pada dasarnya, jumpa pers dapat dibedakan menjadi dua jenis, di antaranya:

Jumpa Pers Spontan

Jumpa pers jenis ini dilakukan tanpa adanya persiapan panjang, serta dilakukan secara spontan. Biasanya berkaitan dengan informasi penting yang harus segera disampaikan kepada publik.

Jumpa Pers Terencana

Jumpa pers ini umumnya banyak dilakukan oleh berbagai organisasi dengan perencanaan dan persiapan yang matang.

Headline, waktu, lokasi, pembicara, materi, serta perlengkapan teknis lainnya yang diperlukan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, termasuk wartawan yang diundang.

Waktu Terbaik Mengadakan Jumpa Pers

Ada beberapa kondisi dan kesempatan yang mengharuskan praktisi humas untuk menyelenggarakan sebuah jumpa pers, di antaranya:

  • Ketika adanya peluncuran sebuah produk terbaru dari sebuah perusahaan, atau ketika sebuah organisasi membuat program baru yang perlu untuk diketahui oleh publik, misalnya pemberian beasiswa bagi mahasiswa berprestasi di perguruan tinggi, program asuransi jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin, dan lain lain.
  • Ketika sedang terjadi krisis di sebuah perusahaan. Sebagai contoh ketika terjadi pemogokan kerja para buruh, terjadi pemboikotan suatu produk oleh kelompok konsumen, dan ketika terjadi sebuah kecelakaan pesawat pada perusahaan aviasi.
  • Ketika terjadi perluasan banguna sebuah perusahaan di daerah baru.
  • Ketika terjadi isu-isu kontroversial dalam sebuah perusahaan atau organisasi. Misalnya, ketika ada sebuah isu tentang tindak pelecehan seksual.
  • Ketika sebuah organisasi sedang mengadakan restrukturasi pada lingkup manajemen, seperti pergantian CEO, adanya akuisisi, dan lain lain.
  • Ketika adanya perubahan kebijakan penting dari sebuah perusahaan atau organisasi. Misalnya, ketika adanya perubahan dalam sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru.

Perencanaan Jumpa Pers

Agar kegiatan sebuah jumpa pers berjalan sesuai yang diharapkan, perlu dilakukan beberapa perencanaan dengan baik dan sistematis. Dalam perencanaannya pun, harus mempertimbangkan beberapa faktor, di antaranya:

  • Menentukan ketepatan atau tujuan dari sebuah aktivitas jumpa pers
  • Pemilihan waktu yang tepat (sudah termasuk hari, jam, cuaca dan suasana)
  • Pemilihan tempat yang strategis
  • Persiapan ruang dan berbagai peralatan yang dibutuhkan awak media
  • Memberikan pemberitahuan lebih awal kepada awak media
  • Memberikan tawaran berupa wawancara telepon bagi media penting yang berhalangan hadir
  • Menyediakan video tape untuk televisi
  • Penggunaan alat bantu visual yang diperlukan
  • Pengarahan yang diberikan pada juru bicara (praktisi humas)
  • Pembuatan berbagai media kit sederhana
  • Mempertimbangkan berbagai momen lain yang memiliki nilai berita
  • Apabila diperlukan, sewa seorang juru foto guna mengabadikan momen

Kriteria Pembicara dalam Jumpa Pers

Salah satu aspek penentu keberhasilan sebuah jumpa pers adalah pembicara yang handal. Selain kemampuan retorika yang baik, penguasaan materi juga diperlukan agar informasi yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Selain itu, ada beberapa pertimbangan yang perlu dibuat dalam menentukan juru bicara dalam jumpa pers, diantaranya:

  • Juru bicara yang dipilih harus memiliki kredibilitas tinggi.
  • Juru bicara harus menguasai materi atau persoalan secara mendalam, serta sudah terbiasa menghadapi awak media.
  • Meski pun juru bicara sudah cakap dan menguasai persoalan secara mendalam, juga diperlukan orang lain yang nantinya bisa membantu dalam mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan sulit yang sering diajukan oleh awak media.
  • Juru bicara sebisa mungkin harus menghindari pernyataan off the record.
  • Juru bicara dalam jumpa pers harus dilengkapi dengan materi tertulis yang nantinya bisa dimuat dalam media kit.

Tugas Praktisi Humas dalam Jumpa Pers

Dalam sebuah jumpa pers, tugas utama praktisi humas bukanlah menjadi juru bicara, namun bertindak sebagai manajer atau direktur panggung yang bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan jumpa pers.

Sering kali dijumpai seorang praktisi humas yang menempatkan diri sebagai juru bicara utama dalam jumpa pers. Bisa saja hal ini dilakukan ketika tidak ada orang yang lebih layak tampil sebagai juru bicara.

Persiapan Jumpa Pers

Sebelum jumpa pers digelar, ada baiknya mempersiapkan beberapa hal berikut ini agar jumpa pers berjalan dengan lancar dan sesuai rencana.

  • Headline. Perumusan headline yang diharapkan akan muncul di media massa perlu dilakukan agar tidak terjadi sebuah penggiringan opini publik.
  • Statistik yang mendukung posisi. Data-data statistik akan menjadi pendukung informasi yang akan disampaikan.
  • Aspek visual. Penggunaan aspek visual akan memberikan kesan menyenangkan dan tidak membosankan saat acara berlangsung.
  • Pengarahan pada pihak-pihak yang terlibat. Upaya ini dilakukan agar terjadi keseragaman informasi yang disampaikan, serta acara berlangsung dengan sistematis.
  • Menciptakan kekompakan terhadap apa yang akan disampaikan. Upaya ini dilakukan agar informasi yang tampil di media massa koheren.

Hal yang Diperhatikan Dalam Jumpa Pers

Selama Jumpa Pers

Selama jumpa pers berlangsung, praktisi humas harus menunjukkan sikap yang mendukung terlaksananya jumpa pers. Berikut ada beberapa hal yang perlu dilakukan, antara lain:

  • Selalu bersikap hangat, bersahabat, menyenangkan, dan mudah diakses oleh oleh awak media.
  • Mampu mengantisipasi setiap pertanyaan yang muncul. Namun, juru bicara hanya perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan topik. Selain itu, berbagai pertanyaan tersebut harus diarahkan agar datang dari banyak wartawan sehingga tidak ada kesan wartawan yang mendominasi.
  • Mampu mengendalikan waktu. Sebuah jumpa pers harus diberikan batas waktu, baik karena tugas wartawan maupun substansi jumpa pers.

Setelah Jumpa Pers

Setelah kegiatan (jumpa pers) selesai digelar, praktisi humas dan juru bicara perlu melakukan beberapa hal berikut, di antaranya:

  • Segera bangun dari duduk, guna mendekatkan diri dengan awak media yang kemungkinan masih punya pertanyaan untuk diajukan.
  • Dalam keadaan seperti itu, hendaknya juru bicara dan petugas humas cermat mengamati wartawan yang ingin mengajukan pertanyaan, sehingga para wartawan masih bisa berkonsentrasi penuh. Dengan begitu, wartawan akan merasa deperlakukan secara manusiawi, serta organisasi akan memiliki image positif di mata para wartawan.
  • Usahakan menjawab dengan singkat setiap pertanyaan yang diajukan oleh wartawan.
  • Hindari pertanyaan yang sulit untuk dijawab atau membutuhkan waktu lama dan konsentrasi penuh.
  • Selalu hindari jawaban “no comment” jika memang tidak ingin menjawab atau memberikan komentar.

Media Kit Pelengkap Jumpa Pers

Ada beberapa materi pelengkap yang sifatnya penting dan dapat diikutsertakan pada kegiatan jumpa pers, yaitu press kit atau media kit. Berikut ini merupakan beberapa materi dalam media kit, diantaranya:

  • Backgrounder
  • Press release
  • Position paper atau kertas posisi
  • Berbagai foto yang mendukung kegiatan jumpa pers
  • Suvenir atau gimmick
  • Sketsa biografi
  • Company profile
  • Fact sheet

Checklist Jumpa Pers

Daftar checklist berisikan daftar pertanyaan yang digunakan untuk memantau persiapan jumpa pers secara lengkap, serta agar kegiatan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan (Hunt & Grunig, 1994). Berikut ini merupakan beberapa daftar checklist dalam jumpa pers, antara lain:

  • Apakah target publik penerima informasi yang akan disampaikan telah sesuai dengan undangan yang dibuat?
  • Apakah kegiatan jumpa pers membutuhkan reporter umum atau reporter spesialis?
  • Apakah akan menggunakan seluruh media yang ada?
  • Apakah ada perbedaan impact terhadap penggunaan antara media cetak dan siaran?
  • Apakah media kit yang telah dipersiapkan hanya diperuntukkan bagi yang hadir saja atau termasuk yang tidak hadir?
  • Apakah fasilitas pendukung di dalam ruangan untuk kegiatan sudah memadai? Baik berupa sound system, photocopy, lighting, computer modem, jaringan telepon, serta akses setelah pertemuan dengan pembicara.
  • Bagaimana dengan permasalahan etis? Apakah harus disediakan berbagai layanan seperti makan siang dan transportasi?
  • Apakah akan disediakan layanan transportasi bagi yang berasal dari daerah terpencil?
  • Bagaimana dengan persiapan keperluan lain seperti alat tulis, kertas, dan air minum?
  • Apakah perlu dipasang beberapa tanda arah agar tidak terjadi kebingungan?
  • Apakah seluruh pembicara maupun peserta harus diberikan name tags , daftar peserta (alamat), dan lainnya?
  • Apakah adanya identifikasi terhadap kehadiran staf dan peserta perlu dilakukan, agar membantu wartawan dalam menggali informasi?
  • Berapa narasumber yang diperlukan untuk menanggapi isu yang kompleks, satu orang saja atau lebih?
  • Apakah perlu adanya sebuah press room untuk kelanjutan acara nantinya (lengkap dengan alat penunjang)?
  • Apakah persiapan-persiapan lanjutan telah dicanangkan setelah konferensi pers?

The post Jumpa Pers: Pengertian – Jenis dan Perencanaannya appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>