kritik sastra - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/kritik-sastra Wed, 16 Mar 2022 07:45:19 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 https://haloedukasi.com/wp-content/uploads/2019/11/halo-edukasi.ico kritik sastra - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/kritik-sastra 32 32 5 Contoh Kritik Saran https://haloedukasi.com/contoh-kritik-saran Wed, 16 Mar 2022 07:45:17 +0000 https://haloedukasi.com/?p=32436 Apakah kalian mengetahui kritik sastra? Kali ini kami akan menjelaskan beberapa contoh kritik sastra. Sebelum itu, kami jelaskan terlebih dahulu apa itu kritik sastra. Kritik sastra adalah salah satu cara yang dapat digunakan dalam memberikan penilaian terhadap suatu sastra yang biasanya berupa karya seni dengan maksud dan tujuan untuk melakukan pengkajian serta masukan maupun saran […]

The post 5 Contoh Kritik Saran appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Apakah kalian mengetahui kritik sastra? Kali ini kami akan menjelaskan beberapa contoh kritik sastra. Sebelum itu, kami jelaskan terlebih dahulu apa itu kritik sastra.

Kritik sastra adalah salah satu cara yang dapat digunakan dalam memberikan penilaian terhadap suatu sastra yang biasanya berupa karya seni dengan maksud dan tujuan untuk melakukan pengkajian serta masukan maupun saran terhadap sebuah sastra yang telah ada.

Pada umumnya,terdapat berbagai macam kritik sastra. Sama halnya dengan namanya, kritik sastra dimaksudkan agar sebuah karya sastra kelak akan menjadi lebih baik dilengkapi dengan arti yang sangat luas. Berikut beberapa contoh kritik sastra.

1. Contoh 1 Kritik Sastra Cerita Pendek

Judul Sastra : Motivasi Kezia dalam Cerita “Carmen

Ringkasan :

Cerpen yang dibagikan melalui website secara online dan dimuat pada tahun 2016 ini menceritakan tentang seseorang yang sedang berjuang untuk memahami dan menemani diri sendiri.

Dalam cerpen yang diciptakan Kezia, terdapat tokoh utama yang sebenarnya hanya satu orang, namun diumpamakan seolah – olah merupakan dua tokoh. Di akhir cerita pendek ini dua sosok tersebut disimpulkan menjadi satu toko yakni Carmen yang sedang bicara dengan dirinya sendiri yang menjadi keunikan dalam sastra ini.

Kritik Sastra :

Kritik sastra yang pertama kali ini menggunakan teori pendekatan ekspresif dari pengarang, yang mana menyadari bahwa pengarang memiliki wewenang dalam berimajinasi untuk membuat karyanya.

Adapun beberapa pengalaman hidup Kezia yang kurang mengenakkan dan membuat pergolakkan batin dalam dirinya yang menjadi latar belakang penulisan cerpen ‘Carmen’. Penulis cerpen, yakni Kezia, berhasil menuangkan kisahn hidupnya di dalam karya ini dan menuntun para pembaca untuk mengambil hikmah dari cerpen ‘Carmen’ ini.

Dalam hal ini Kezia berhasil mempresentasikan apa yang terjadi dalam kisah hidupnya, sehingga hingga saat ini belum ditemukan adanya kekurangan dari karya yang ia ciptakan tersebut.

2. Contoh 2 Kritik Sastra Novel

Judul Karya : Love Is karya Navika Anggun

Ringkasan :

Novel yang berjudul ‘Love Is’ ini bercerita mengenai perjalanan hidup wanita yang berhasil mempunyai perusahaan yang besar ketika ia sedang berjuang dengan penyakit kerasnya. Pikirannya dipenuhi dengan memori masa lalunya.

Dalam memorinya, ia sempat meninggalkan rumah orang tuanya kemudian bertemu dengan cinta pertamanya. Lalu ia bertemu kembali dengan cinta pertamanya tersebut, yang kemudian menjadi cinta terakhirnya sekaligus.

Kritik Saran :

Terdapat banyak unsur semiotik di dalam novel ini yang mengandung makna tersirat. Semiotik itu sendiri merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang sistem tanda. Dalam novel ini, unsur semiotik berupa ikon, indeks, dan simbol.

Ikon ditandai dengan kata ‘rembulan’ yang mengartikan bahwa karakter laki – laki tersebut dapat menyinari hari – hari seperti rembulan di malam hari. Indeks dalam novel ini berupa kata ‘bersinar’ yang diartikan sebagai perasaan berseri dan bahagia dari tokoh utama. Sedangkan simbol berupa kata ‘pesta awal tahun’ yang menandakan letupan bahagia dari sepasang kekasih.

Unsur – unsur di atas mengacu pada berbagai objek, kegiatan, maupun sifat yang sangat berkaitan dengan cahaya dan warna. Unsur – unsur senada yang digunakan tersebut merupakan keunggulan dari novel ini yang membuat para pembaca lebih mudah mencerna dan memahaminya.

Namun, di sisi lain unsur tersebut juga dapat menjadi kelemahan dari novel ini karena terkesan membosankan oleh karena adanya banyak pengulangan kata yang sama.

3. Contoh 3 Kritik Saran Puisi

Judul Sastra : Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya karya W. S. Rendra

Isi Puisi :

Mama tersayang

Akhirnya kutemukan jodohku

Terpupuslah sudah masa sepiku

Karena kapal yang berlayar

Telah berlabuh dan ditambatkan

Dan sepatu yang berat serta nakal

Kini telah dilepaskan

Berganti dengan sandal rumah

Yang tentram, jinak, dan sederhana

Kritik Sastra :

Puisi tersebut dianalisis dengan kritik mimetik yang memandang sebuah karya sastra menjadi suatu cerminan yang dapat mengilustrasikan kenyataan yang ada di kehidupan manusia. Karena pada dasarnya, sastra adalah cerminan atau gambaran hidup.

Di dalam karya ini, objek yang sebenarnya dapat digambarkan dengan jelas dan sesuai dengan realita yang ada. Gambaran tersebut adalah kehidupan seseorang yang telah menemukan jodohnya dan meminta persetujuan oleh ibunya untuk direstui agar dapat melanjutkan ke tahap serius.

4. Contoh 4 Kritik Sastra Esai / Novel Sindiran Untuk Pemerintah

Judul Sastra : Nyanyi Suri karya Indragiri

Ringkasan :

Novel ini merupakan novel yang berdasarkan dengan realitas kehidupan manusia sehari – hari yang dapat dibuat oleh siapapun. Meskipun tak jarang novel dibuat berdasarkan curahan hati hingga imajinasi seseorang misalnya percintaan, pendidikan, daan lain – lain.

Novel Nyanyi Sunyi yang diciptakan oleh Indragiri merupakan salah satu karya sastra yang ditujukan untuk memberikan sindiran terhadap pemerintah. Novel seperti ini biasanya memiliki peminat yang lebih sedikit dibanding dengan novel percintaan. Oleh karena itu, penulis harus membungkus novel ini semenarik mungkin.

Kritik Sastra :

Penulis ingin menyuarakan suara rakyat melalui tulisannya. Dengan karyanya penulis mampu menceritakan dan menyampaikan suara rakyat kepada pemerintah. Tujuan penulisan novel sangat berguna bagi dan memberi keuntungan bagi rakyat.

Penulis berusaha untuk membantu masyarakat yang resah dan merasa susah supaya pemerintah dapat mendengarkan apa yang dirasakan. Mengingat kini masih ada beberapa daerah di Indonesia terutama di pedesaan yang masih berada di bawah garis kemiskinan dengan berbagai sumber alam yang dimanfaatkan oleh oknum pemerintah secara tidak adil.

5. Contoh 5 Kritik Sastra Novel

Judul Sastra : Dilan 1990 karya Pidi Baiq

Ringkasan :

Kini banyak sekali novel yang bertema percintaan, salah satu yang pernah naik daun dan dikenal banyak orang adalah Dilan 1990 karya Pidi Baiq. Novel ini sangat dramatis dengan bahasa – bahasa rayuan dari seorang anak lelaki pada teman perempuannya.

Banyak kalimat yang sederhana namun memukau yang dilontarkan Dilan, sang tokoh utama kepada Milea, teman sekolahnya itu. Dilan berusaha untuk mendapatkan hati Milea dengan berbagai cara yang dituangkan dalam novel tersebut.

Kritik Sastra :

Novel ini memiliki kelebihan pada gaya bahasanya yang terkenal santai dan enak dibaca, sehingga mudah dimengerti oleh berbagai kalangan terutama anak muda. Dengan alurnya, novel ini mampu menyeret pembaca hanyut dalam cerita melalui percakapan yang terkesan natural dan apa adanya.

Ilustrasi dan properti yang mendukung membuat novel ini semakin terasa klasik dan hangat, contohnya gambar rumah Milea yang terletak di Bandung.

Sayangnya, di dalam novel ini terdapat beberapa kekurangan salah satunya adalah penggunaan bahasa Dilan yang kurang konsisten misalnya dalam penggunaan kata tidak, enggak, dan juga gak yang terdapat dalam narasi.

Selain itu banyak dialog ditemukan diakhiri dengan ‘hahaha’ atau ‘hehehe’ serta narasi yang singkat.

The post 5 Contoh Kritik Saran appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kritik Sastra Novel Laut Bercerita https://haloedukasi.com/kritik-sastra-novel-laut-bercerita Sat, 11 Dec 2021 01:44:34 +0000 https://haloedukasi.com/?p=29323 Laut bercerita merupakan sebuah novel garapan Leila Salikha Chudori yang diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) pada tahun 2017 silam. Novel setebal 394 halaman ini  mengangkat tema tentang persahabatan, kisah cinta, kekeluargaan, hingga rasa kehilangan yang mampu menyihir pembacanya untuk kembali menyusuri ruang masa lalu dimana latar waktu cerita dalam novel ini berlangsung. Novel Laut […]

The post Kritik Sastra Novel Laut Bercerita appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Laut bercerita merupakan sebuah novel garapan Leila Salikha Chudori yang diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) pada tahun 2017 silam. Novel setebal 394 halaman ini  mengangkat tema tentang persahabatan, kisah cinta, kekeluargaan, hingga rasa kehilangan yang mampu menyihir pembacanya untuk kembali menyusuri ruang masa lalu dimana latar waktu cerita dalam novel ini berlangsung.

Novel Laut Bercerita ini akan membawa memori pembaca ke dalam masa-masa reformasi yang penuh kepahitan. Meskipun bergenre historical ficition atau fiksi sejarah, namun penulis mengembangkan cerita dalam novel berdasarkan fakta yang ada. Ia bahkan melalukan serangkaian riset wawancara dan penyelidikan mendalam terhadap korban, keluarga korban, dan juga tokoh-tokoh serta tempat terjadinya peristiwa nahas di masa lalu itu. Tak heran, penulis membutuhkan waktu 5 tahun untuk bisa menyelesaikan novel ini. Hal itu juga yang membuat cerita dalam novel ini menjadi sangat hidup ketika dibaca.

Novel Laut Bercerita sendiri mengisahkan tentang kekerasan dan hilangnya para aktivis mahasiswa di masa Orde Baru. Novel ini disusun menjadi dua bagian dengan setting waktu yang jauh berbeda. Bagian pertama cerita dalam novel ini mengisahkan dari sudut pandang tokoh yang bernama Biru Laut dan kawan-kawan aktivisnya. Sedangkan pada bagian kedua, sudut pandang yang digunakan adalah dari sisi Asmara Jati yang merupakan adik dari Biru Laut.

Bagian Pertama

Biru Laut merupakan seorang mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, yang sangat menyukai dunia sastra. Laut, nama panggilannya, sangat menyukai karya sastrawan Indonesia yang bernama Pramoedya Ananta Toer yang saat itu karya-karyanya dilarang untuk terbit. Laut pun diam-diam menfotokopi buku-buku Pramoedya di suatu tempat fotokopi terlarang. Disanalah ia bertemu dengan Kinan, seorang mahasiswa FISIP, yang kemudian memperkenalkannya pada organisasi Wirasena dan Winatra.

Bergabung di organisasi Winatra membuat Laut semakin giat melakukan aktivitas diskusi buku dan kondisi politik negeri ini dengan rekan-rekan organisasinya. Selain aktif berdiskusi, Laut juga gemar menulis. Berbagai gagasannya ia tulis dan ia kirimkan ke media cetak.

Pada suatu ketika, Laut dan rekan-rekannya melakukan aksi protes yang disebut dengan Aksi Tanam Jagung Blangguan untuk membela rakyat yang haknya diambil paksa. Setelah selesai melakukan aksi, Laut dan rekan-rekannya kembali ke terminal. Saat tengah menunggu bis, tiba-tiba datang sekelompok orang yang berusaha menangkap mereka.

Laut, Alex, dan Bram yang berhasil tertangkap kemudian dibawa ke sebuah tempat yang nampak semacam markas tentara. Disana, ketiganya diinterogasi dan bahkan mendapat siksaan fisik demi mendapat jawaban atas pertanyaan siapa dalam dari aksi protes yang mereka lakukan. Setelah lewat dua hari satu malam, ketiganya kemudian dikembalikan ke terminal Bungurasih, Surabaya.

Singkat cerita, sejak organisasi Winatra dan Wirasena dilarang dengan sebab dianggap membahayakan pemerintah, Alex dan rekan-rekannya menjadi buron. Satu-persatu rekan Laut menghilang secara tiba-tiba dan demikian juga dengan Laut.

Selain kisah terkait aktivitas organisasinya, di bagian pertama novel ini juga menceritakan mengenai kisah antara Laut dengan keluarganya dan bagaimana kehidupan mereka dan orang-orang terdekat mereka berubah sejak menghilangnya Laut dan teman-temannya.

Bagian Kedua

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa bagian kedua dari novel Laut Bercerita mengambil sudut pandang Asmara yang merupakan adik dari tokoh Laut. Asmara dan Laut adalah dua kakak beradik yang memiliki visi dan minat berlainan. Laut sangat menggemari sastra sementara Asmara berminat pada bidang sains.

Latar bagian kedua kisah dalam novel ini mengambil latar waktu di tahun 2000 atau tepat dua tahun setelah menghilangnya Laut dan ketigabelas rekannya. Asmara dan kawan-kawannya serta dibantu oleh keluarga rekan-rekan Laut yang juga menghilang membentuk lembaga untuk menekan pemerintah agak menuntaskan kasus hilangnya para aktivis tersebut.

Hingga suatu hari, ada informasi mengenai ditemukannya tulang belulang manusia di Kepulauan Seribu, sebagian dikubur dan sebagian lainnya dengan dianalisis forensik. Tulang belulang siapakah itu? Dan siapa pelaku dan dalam dibalik semua kasus itu?

Penokohan

Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam novel Laut Bercerita ini memang tampak sangat nyata. Hal ini sangat mungkin mengingat Lela S Chudori memang terinspirasi dari kasus penculikan dan penghilangan sejumlah aktivis di tahun 1998 silam. Bahkan sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa penulis juga melakukan serangkaian riset dan wawancara kepada korban yang pernah di culik kala itu.

Sebut saja tokoh bernama Mas Gala yang akan mengingatkan pembaca kepada sosok Wiji Thukul, seorang penyair dan pegiat Hak Asasi Manusia, yang hilang pada tahun 1998 silam. Demikian juga tokoh-tokoh lainnya yang digambarkan sebagaimana mahasiswa pada umumnya. Laut dan kekasihnya Anjani atau Alex dan Sunu yang merupakan teman seperjuangan Laut semenjak awal mereka kuliah. Kemudian ada juga sosok Bima yang merupakan pemimpin dari tiap gerakan aksi yang mereka lakukan.

Kelebihan Novel

Kelebihan novel Laut Bercerita adalah pada keberaniannya mengangkat tema yang sebenarnya cukup sensitif, yakni mengenai pelanggaran hak dan kemanusiaan yang pernah terjadi di era Orde Baru lalu. Meski bergenre fiksi sejarah, nyatanya novel yang ditulis dengan riset yang matang ini justru berhasil menvisualisasikan karakter dan suasana yang sedemikian hidup dan tampak nyata.

Selain itu, alur novel ini yang mengundang teka-teki dan tanda tanya tentu mengusik rasa penasaran dan menjadi sangat menarik untuk diikuti lembar demi lembarnya. Terlebih lagi pemilihan kata dan penggunaan bahasa yang bisa dikatakan mudah dipahami membuat novel ini semakin enak untuk dibaca.

Dan yang utama adalah nilai moral yang secara tersirat dihadirkan dalam karya sastra ini, yakni tentang rasa kemanusiaan serta perjuangan untuk menegakkan keadilan dan hak asasi manusia tentunya menjadi ruh tersendiri bagi novel ini secara keseluruhan.

Kekurangan Novel

Diantara kekurangan novel ini adalah penggunaan alur campuran atau alur maju mundur yang bisa menimbulkan kebingungan bagi pembaca. Sehingga, untuk bisa memahami isi dan jalan cerita dalam novel ini dengan baik diperlukan fokus yang pemahaman seksama sehingga jalan cerita dalam novel bisa dipahami dengan baik.

The post Kritik Sastra Novel Laut Bercerita appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kritik Sastra Novel Negeri 5 Menara https://haloedukasi.com/kritik-sastra-novel-negeri-5-menara Sat, 11 Dec 2021 01:41:30 +0000 https://haloedukasi.com/?p=29322 Novel Negeri 5 Menara merupakan novel pertama dari Trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, seorang penulis asal Maninjau, Sumatera Barat. Novel Negeri 5 Menara diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 2009 dengan tebal 423 halaman. Novel Negeri 5 Menara sendiri mengisahkan tentang seorang anak MTSN yang dipaksa oleh orang tuanya untuk masuk […]

The post Kritik Sastra Novel Negeri 5 Menara appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Novel Negeri 5 Menara merupakan novel pertama dari Trilogi Negeri 5 Menara yang ditulis oleh Ahmad Fuadi, seorang penulis asal Maninjau, Sumatera Barat. Novel Negeri 5 Menara diterbitkan oleh penerbit Gramedia pada tahun 2009 dengan tebal 423 halaman.

Novel Negeri 5 Menara sendiri mengisahkan tentang seorang anak MTSN yang dipaksa oleh orang tuanya untuk masuk ke pondok pesantren. Di pondok, sebagaimana semua santri yang lainnya, ia harus mengikuti berbagai aturan dan kewajiban di pondok. Diantara bentuk hukuman bagi pelanggar aturan di pondok tersebut adalah harus mencari kesalahan orang lain untuk kemudian dicatat dalam sebuah kartu khusus. Alif Fikri, nama anak dalam novel ini yang karena terlambat datang ke masjid dengan 5 temannya yang lain, ia pun harus menjadi jasus atau mata-mata di pondok.

Mengikuti kisah Alif Fikri dalam novel ini membuat pembaca mengetahui bahwa hidup di pondok tidaklah semonoton yang dipikirkan banyak orang. Belajar di pondok tidak hanya sebatas belajar agama dan menghafal Al-Qu’an saja, tetapi juga penerapan kehidupan sehari-hari dan bahkan tetap bisa menyalurkan hobi.

Unsur Intrinsik Novel

  • Tema
    Novel yang mengangkat kisah tentang kisah seorang anak bernama Alif Fikri ini bertemakan pendidikan. Hal ini nampak dari kisah dalam novel ini yang menceritakan bagaimana tokoh utama dalam menjalani pendidikannya selama di pesantren.
  • Penokohan
    Berikut adalah beberapa tokoh yang diangkat dalam kisah novel ini:
    Amak: orang yang ramah dan penyayang kepada semua orang serta sangat memperhatikan masa depan peradaban Islam.
    Ayah: merupakan orang yang peduli dan setia serta amanah.
    Alif : Anak yang penuh semangat, penurut, patuh, dan konsisten akan pilihannya.
    Dulmajid: merupakan sosok yang mandiri, rajin belajar, dan setia kawan.
    Raja Lubis: Percaya diri, suka berbagai, dan rajin belajar.
    Said: adalah sosok yang berpikiran dewasa namun kurang percaya diri.
    Baso: seorang agamis, memiliki kepedulian, dan sangat berbakti pada orang tuanya.
    Atang: orang yang humoris dan sangat menepati janjinya.

  • Setting/Latar
    Beberapa latar tempat yang digambarkan dalam cerita di Novel ini adalah Pondok Madani, aula, lapangan, kamar, menara, kelas, dan Kota Bandung. Sementara latar waktunya ada pagi hari, sore, malam, dan dini hari.
    Latar suasana yang dibangun dalam cerpen ini diantaranya suasana tenang, bahagia, dan gelisah.

  • Alur
    Alur yang digunakan dalam novel Negeri 5 Menara ini adalah alur campuran, yakni penggabungan antara alur maju dan alur mundur. Dimana penulis sekali waktu menggunakan alur maju dan di waktu lain, dia menggunakan alur mundur untuk mengenang kejadian di masa lalu.

  • Gaya Bahasa
    Beberapa kali penulis menggunakan majas untuk menguatkan suasana dan pesan dalam novel ini. Diantara jenis majas yang digunakan adalah majas hiperbola, majas personifikasi, dan juga majas asosiasi.

  • Sudut Pandang
    Novel Negeri 5 Menara ditulis dengan menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama. Hal ini ditunjukkan dengan digunakannya kata “Aku” yang merupakan kata ganti orang pertama.

  • Amanat

Amanat yang  ingin disampaikan penulis dalam novel ini adalah keharusan bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh dan bekerja keras untuk meraih impian dan kesuksesan. Namun, dibalik itu semua tentunya diperlukan pula do’a dari orang tua.


Kelebihan Novel

Diantara kelebihan dari Novel Negeri 5 Menara ini adalah bahasa yang digunakannya cukup mudah dicerna dan tidak menimbulkan kebingungan pada pembaca. Selain itu, untuk memudahkan pembaca dalam memahami seluk beluk di dalam Pondok Madani disertakan pula sketsa denah tata letak gedung di dalam pondok.

Penggambaran yang sangat detail dalam novel ini membuat membacanya seperti sedang menikmati laporan jurnalistrik, terlebih beberapa nama tempat dan fakta dalam novel ini yang dikatakan sama seperti aslinya.

Novel  Negeri 5 Menara juga  sangat cocok dibaca oleh para orang tua untuk menjadi panduan memasukkan putra-putri nya dalam melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi, bahwa pesantren bisa juga menjadi pilihan yang baik untuk anaknya. Novel ini juga bisa mengubah cara pandang pembaca mengenai pendidikan pesantren. Bahwa ternyata di pesantren itu tidaklah terbatas belajar mengenai ilmu agama semata.

Bagi para pelajar yang sedang menimba ilmu novel  ini juga bisa menjadi alternatif bacaan yang memotivasi, terlebih di dalamnya tersimpan banyak tips dan trik untuk menghadapi ujian.

Kekurangan Novel

Sementara itu, kelemahan novel ini adalah kurangnya dinamika dalam cerita dimana klimaks cerita yang disajikan oleh penulis kurang terasa maksimal dan terkesan datar saja. hal ini dimungkinkan karena kisah dalam novel ini yang memang berdasarkan kisah nyata dari penulis sehingga tidak ingin dilebih-lebihkannya.

Selain itu, novel Negeri 5 Menara yang terbit setelah Laskar Pelangi menimbulkan kesan “mengekor”, terlebih tema dan nilai dari kedua novel ini hampir sama.

Pada akhirnya, membaca novel Negeri 5 Menara ini akan membawa pembaca untuk lebih mengenali sisi lain dari pondok pesantren yang sebenarnya. Novel ini juga menampilkan sisi-sisi manusiawi yang sering kita rasakan dan juga menawarkan solusi yang mungkin bisa mejadi inspirasi bagi pembaca. Selain itu pesan yang ingin disampaikan, yang terangkum lewat sebuah pepatan arab ‘Man Jadda Wajada’ yang berarti, “siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses” tentu saja bisa menjadi pedoman bagi setiap orang yang ingin mengejar impiannya.

The post Kritik Sastra Novel Negeri 5 Menara appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kritik Sastra Novel Dilan 1990 https://haloedukasi.com/kritik-sastra-novel-dilan-1990 Sat, 11 Dec 2021 01:36:42 +0000 https://haloedukasi.com/?p=29321 Novel Dilan 1990 merupakan salah satu karya dari novelis Pidi Baiq yang diterbitkan oleh salah satu penerbit Mizan Group, yakni penerbit Pastel Books, pada tahun 2005. Novel setebal 330 ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film dengan judul Dilan 1990. Novel ini menceritakan tentang Milea, seorang siswa pindahan dari Jakarta yang bertemu dengan Dilan di SMA […]

The post Kritik Sastra Novel Dilan 1990 appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Novel Dilan 1990 merupakan salah satu karya dari novelis Pidi Baiq yang diterbitkan oleh salah satu penerbit Mizan Group, yakni penerbit Pastel Books, pada tahun 2005. Novel setebal 330 ini kemudian diadaptasi menjadi sebuah film dengan judul Dilan 1990.

Novel ini menceritakan tentang Milea, seorang siswa pindahan dari Jakarta yang bertemu dengan Dilan di SMA barunya di Kota Bandung. Milea digambarkan sebagai sosok gadis seperti kebanyakan. Ia merupakan tipe remaja yang mengikuti arus dan taat aturan. Sementara Dilan adalah sosok pemuda nyeleneh, jahil, semaunya sendiri, serta suka melanggar aturan. Namun dibalik semua itu, Dilan yang  juga seorang ketua geng motor ini juga seorang yang cerdas, romantis, rendah hati, dan sangat loyal.

Keunikan karakter Dilan itulah yang bisa memberikan warna pada novel ini. Paduan karakter nyeleneh dan romantis kenyataannya telah berhasil membuat baper pembaca, bakan karakter Dilan menjadi role model  baru bagi anak muda dalam upaya menggaet pujaan hatinya.

Cerita dalam novel ini diawali dengan perkenalan dari Milea yang kini telah menikah dan tinggal di Jakarta. Suatu malam, Milea bernostalgia dengan menceritakan kisah berkesannya bersama sosok Dilan yang dikenalnya sewaktu sekolah. Kisah kasih Milea dan Dilan berjalan dengan sangat manis meski tentu saja bukan berarti tanpa halang rintangan.  Semua konflik-konflik yang terjadi dalam hubungan antara Milea dan Dilan dibawa oleh penulis sebagai sesuatu yang berperan dalam perkembangan karakter pelaku utama dalam novel ini.

Unsur Intrinsik Novel

  1. Tema
    Novel Dilan 1990 ini memiliki tema utama tentang percintaan dan persahabatan anak muda.
  2. Latar/Setting
    Ada banyak latar yang digunakan penulis untuk menggambarkan cerita dalam novel ini. Beberapa latar tempat yang digambarkan dalam novel ini antara lain sekolah, jalan Buah Batu, rumah bunda, Kota Bandung, Kota Jakarta, dan selainnya.
    Adapun latar waktu yang digunakan meliputi segala waktu mulai dari pagi, siang, sore, hingga malam. Sementara itu, cerita dalam novel ini dibangun dengan suasanya yang kompleks, mulai dari suasasna bahagia, humoris, sedih, hingga tegang.
  3. Tokoh
    Selain tokoh utamanya, yaitu Milea dan Dilan, ada juga beberapa tokoh pembantu yang berperan dalam terjalinnya cerita dalam novel. Berikut adalah daftar tokoh lengkap dengan wataknya:
    Milea : pintar, baik hati, sopan, dan penyayang
    Dilan : humoris, setia kawan, baik hati, dan perhatian
    Beni : perhatian, over protective, manja, dan pemarah
    Lusy : perhatian dan baik hati
    Bahar : setia kawan, baik hati, pemarah
    Bunda : humoris, baik hati, penyayang
    Bi Eem : baik hati dan ramah
    Ibu : baik hati dan penyayang
  4. Alur
    Cerita dalam novel Dilan 1990 ini dibangun dengan alur mundur yang diawali dengan tokoh Milea yang memperkenalkan dirinya, keluarga, dan kisah cintanya. Milea di masa kini itu kemudian menceritakan tentang kisah cintanya dengan sosok pemuda bernama Dilan pada tahun 1990 silam.
  5. Gaya Bahasa
    Novel Dilan 1990 ditulis oleh Pidi Baiq dengan menggunakan bahasa baku yang mudah dimengerti. Beberapa kali Pidi juga menggunakan bahasa Sunda untuk memperkuat suasana daerah Bandung, namun untungnya penggunaan bahasa Sunda ini juga sudah dilengkapi dengan translate untuk memudahkan pembaca yang tidak mengerti bahasa Sunda.
  6. Sudut Pandang
    Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang orang pertama serba tahu.

Kelebihan Novel

Kelebihan novel Dilan 1990 ini diantaranya adalah:

  • Percakapan dalam novel dirangkai dengan ringan dan mudah dicerna oleh pembaca sehingga membaca novel ini tidak akan terasa lama dan membosankan
  • Kisah percintaan remaja tahun 90an yang digambarkan dengan suasana romantis dan menyenangkan mampu menghanyutkan perasaan pembacanya. Selain itu juga dibumbui dengan humor dan kelucuan yang membuat cerita tidak monoton.
  • Pada beberapa bagian novel dilengkapi juga dengan gambar ilustrasi yang menarik untuk menvisualkan agedan dalam cerita.
  • Percakapan dengan kalimat langsung membuat suasana menjadi lebih hidup.
  • Bagi sebagian orang, novel Dilan 1990 ini juga akan membawa memori dan kerinduan kepada masa-masa SMA yang penuh keseruan. Cerita dalam novel akan menghadirkan ingatan tentang sekolah dan segala kejadian yang ada di dalamnya.

Kekurangan Novel

Adapun kekurangan dari novel ini diantaranya adalah:

  • Kisah cinta remaja 90an dengan percakapan dan gurauan yang khas dengan masa-masa tersebut mungkin saja tak bisa dimengerti sepenuhnya oleh pembaca yang lahir di era setelahnya. Pengaruh latar waktu juga membuat ada beberapa kalimat aneh dan kurang pas.
  • Karakter Dilan yang terlalu menonjol di hampir keseluruhan cerita membuat seakan-akan peran tokoh utama lainnya, yaitu Milea, terabaikan.
  • Novel Dilan 1990 hanya cocok dibaca untuk kalangan usia tertentu saja.
  • Meski tampilan novel ini tampak mewah dengan jumlah halaman yang cukup tebal, namun sebenarnya isi tiap lembarannya tidak terlalu penuh.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya,membaca novel Dilan 1990 ini akan membuat pembaca bisa merasakan nostalgia terhadap masa-masa sekolah terutama masa di SMA. Dari sampulnya saja, kita sudah disuguhi penampilan pemuda dengan seragam SMA yang khas, abu putih. Ada juga beberapa scene seperti situasi jam istirahat di kantin, kebandelan saat upacara bendera, maupun tragedi dengan guru dan selainnya.

Selain itu, pembaca juga akan bernostalgia dengan romansa masa 90an saat dimana surat cinta menjadi andalan bagi sepasang kekasih untuk menyampaikan pesan kerinduan atau hanya mengandalan telepon rumah yang tentunya lebih terbatas dari ponsel dimasa kini. Pada akhirnya, cerita cinta jaman dahulu yang tak se instan masa kini memang memiliki pesona sendiri yang bisa meninggalkan kesan di hati pembacanya.

The post Kritik Sastra Novel Dilan 1990 appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kritik Sastra Novel Perahu Kertas https://haloedukasi.com/kritik-sastra-novel-perahu-kertas Sat, 11 Dec 2021 01:30:49 +0000 https://haloedukasi.com/?p=29320 Perahu Kertas merupakan novel karya Dewi Lestari yang  terbit pada tahun 2009. Novel bertema drama romantis ini merupakan novel ke-6 dari Dewi Lestari atau yang tenar dengan nama Dee.  Novel Perahu Kertas menceritakan mengenai seorang remaja yang bernama Keenan. Keenan  yang baru lulus SMA di Amsterdam terpaksa pulang ke Indonesia dan melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi, Bandung, […]

The post Kritik Sastra Novel Perahu Kertas appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Perahu Kertas merupakan novel karya Dewi Lestari yang  terbit pada tahun 2009. Novel bertema drama romantis ini merupakan novel ke-6 dari Dewi Lestari atau yang tenar dengan nama Dee. 

Novel Perahu Kertas menceritakan mengenai seorang remaja yang bernama Keenan. Keenan  yang baru lulus SMA di Amsterdam terpaksa pulang ke Indonesia dan melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi, Bandung, karena keinginan ayahnya agar ia menjadi seorang pebisnis meski sebenarnya Keenan ingin menjadiseorang pelukis. Bakat  melukis Keenan didapatkannya dari sang ibu.  Di sisi lain, ada seorang perempuan bernama Kugy yang memiliki cita-cita menjadi juru dongeng meski dia tetap melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra.

Keduanya, Keenan dan Kugy, dipertemukan oleh Eko dan Noni . Eko adalah sahabat Keenan sementara Noni merupakan sahabat Kugy. Selepas perkenalan itu, Kugy dan Keenan akhirnya bersahabat. Seiring waktu, tanpa disadari kedekatan mereka menumbuhkan rasa saling suka, namun keduanya tidak pernah ada yang mau mengungkapkan perasaan mereka.

Persahabatan antara Keenan dan Kugy mulai merenggang saat Noni berniat untuk mendekatkan Keenan dengan sepupunya yang bernama Wanda. Mengetahui hal itu, Kugy hanya bisa  memendam rasa cemburu. Kugy kemudian mencoba untuk menyibukkan diri dengan menjadi guru relawan di Sakola Alit yang merupakan sebuah sekolah darurat. Hal itu membuat Kugy dan Keenan menjadi jarang bertemu lagi.

Keenan sendiri masih melanjutkan hobi melukisnya, bahkan dia juga mampu menjual beberapa lukisannya. Namun, ketika Keenan mengetahui bahwa ternyata yang selama ini membeli lukisannya adalah Wanda, hubungannya dengan Wanda hancur begitu saja.

Keenan kemudian pergi meninggalkan Jakarta menuju Bali, tepatnya di Ubud. Disana dia tinggal di tempat Pak Wayan yang merupakan mantan pacar ibunya. Keenan kemudian bertemu dengan seorang gadis yang anggun dan lembut bernama Luhde Laksmi yang adalah keponakan Pak Wayan. Keenan yang masih merasa terpuruk selalu mendapatkan semangat untuk melanjutkan mimpinya dari Luh.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun,  Kugy mulai merasa kesepian tanpa sahabat-sahabatnya. Dia pun mencoba  melamar kerja di kantor milik Remigius Aditya yang merupakan sahabat dari kakaknya sendiri. Hanya dalam beberapa bulan, keberadaan dan kontribusi Kugy di kantor tersebut ternyata bisa meningkatkan performa kantor. Remigius pun menaruh hati kepada Kugy dan  Kugy menerima cintanya.

Suatu ketika, kondisi ayah Keenan memburuk sehingga Keenan harus kembali ke Jakarta untuk melanjutkan perusahaan ayahnya. Di Jakarta kembali bertemu dengan Kugy dan juga sahabat mereka lainnya, yaitu Noni dan Eko. Persahabatan lama mereka pun terjalin kembali. Hingga kemudian,  Keenan mengetahui bahwa ternyata Kugy telah memendam rasa pada dirinya sejak lama, sama seperti apa yang dia rasakan. Pada akhirnya, persahabatan antara Kugydan Keenan berujung pada pernikahan.

Unsur Intrinsik Novel

Sebuah karya sastra, termasuk novel, dibangun dengan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur  yang membangun sebuah cerita dari dalam cerita itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra meliputi tema cerita, alur, setting, tokoh dan penokohan, sudut pandang cerita, serta amanat atau pesan dalam cerita tersebut. Berikut adalah unsur intrinsik dari novel Perahu Kertas

  1. Tema 
    Novel  Perahu Kertas mengusung tema tentang cinta dan persahabatan antara sosok utama dalam cerita, yaki Kugy dan Keenan.
  2. Setting
    Beberapa latar tempat yang dihadirkan penulis dalam cerita ini adalah :
    a. Stasiun Senen, Jakarta, yakni ketika Kugy, Noni, dan Eko menjemput Keenan.
    b. Ubud, Bali, yakni sewaktu Keenan meninggalkan Jakarta dan menetap di rumah Pak Wayan di Ubud.
    c. Salah satu kantor di Jakarta sebagai tempat kerja Kugy.
    d. Pantai Ancol, ketika Kugy putus dengan pacarnya Remigius.

    Latar waktu dari cerita sangat beragam, meliputi watu pagi, siang, dan juga malam. Adapun latar suasanya yang dibangun oleh penulis dalam cerita ini, diantaranya:
    a.  Menyakitkan, diantaranya ketika Kugy mengetahui bahwa Keenan akan didekatkan dengan Wanda yang merupakan sepupu Noni.
    b. Menegangkan, diantaranya ketika Luh De dan Remigius mengetahui bahwa kekasih mereka ternyata mencintai orang lain. 
    c. Menyenangkan, diantaranya ketika Kugy mengajar muridnya di Sakola Alit.
    d. Mengharukan, diantaranya saat Kugy dan Keenan pada akhirnya dapat bersatu dalam pernikahan.
  3. Alur
    Novel Perahu Kertas ditulis dengan menggunakan alur campuran, yakni alur maju dan ada beberapa adegan flashback yang artinya juga menggunakan alur mundur.
  4. Gaya Bahasa
    Bahasa yang digunakan Dee dalam novel ini adalah bahasa Indonesia yang tidak formal atau bahasa sehari-hari. Di beberapa bagian juga ditemukan penggunaan majas, seperti misalnya majas personifikasi dalam kalimat “Perahu itu bagaikan bertanya-tanya padaku”.
  5. Amanat
    Amanat atau pesan novel ini adalah mengenai keyakinan tentang jodoh, bahwa jodoh sejauh apapun akan bertemu. Selain itu, sikap sabar dan tabah serta tidak mudah berputus asa atas apapun permasalahan hidup yang menimpa.

Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik karya sastra adalah unsur-unsur yang membangun karya dari luar karya tersebut. Dalam novel Perahu Kertas ini ada beberapa unsur ekstrinsik yang menonjol, diantaranya adalah kenyataan yang sering terjadi dalam dunia riil, seperti konflik orang tua dan anak ataupun budaya ngekos remaja yang menempuh bangku kuliah.

Kelebihan Novel

Kelebihan novel Perahu Kertas adalah pada temanya yang sangat dekat dengan realitas banyak orang, terutama anak muda. Maka tak heran jika kemudian cerita dalam novel ini mampu menghanyutkan para pembacanya.

Gaya bahasa dan penceritaan yang ringan dan lugas serta sesuai dengan kondisi masyarakat membuat cerita dan pesan dalam novel ini mudah dipahami dan dinikmati oleh pembacanya dari berbagai kalangan usia.

Selain itu, penggambaran karakter  bahkan nama tokoh yang unik, penyajian latar yang mendetail tetapi tidak berlebihan, serta alur yang kreatif  membuat pembaca bisa menghadirkan imajinasinya selama membaca novel ini.

Kelebihan lainnya adalah nilai-nilai positif yang termuat dalam novel Perahu Kertas ini, yang tidak hanya menceritakan kisah percintaan remaja semata, namun di dalamnya juga termuat dinamika hidup tokoh-tokoh di dalam cerita yang mengajarkan tentang banyak hal seperti persahabatan, hubungan keluarga terutama dengan orang tua, tanggung jawab, serta sikap tidak mudah putus asa dalam mengejar mimpi.

Kekurangan Novel

Novel Perahu Kertas menggunakan banyak setting yang bukannya tidak mungkin akan menyebabkan kebingungan pembaca. Oleh karena itu, dalam menikmati cerpen ini diperlukan fokus dan konsentrasi yang cukup. Selain itu, ada beberapa bagian novel yang terkesan agak monoton yang bisa menimbulkan kebosanan bagi pembacanya.

The post Kritik Sastra Novel Perahu Kertas appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kritik Sastra Cerpen Saksi Mata https://haloedukasi.com/kritik-sastra-cerpen-saksi-mata Tue, 30 Nov 2021 09:14:29 +0000 https://haloedukasi.com/?p=29253 Saksi Mata Oleh : Seno Gumira Ajidarma Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba  udara. Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu. […]

The post Kritik Sastra Cerpen Saksi Mata appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Saksi Mata

Oleh : Seno Gumira Ajidarma

Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba  udara. Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.

Darah membasahi pipinya membasahi bajunya membasahi celananya, membasahi sepatunya dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dengan karbol yang baunya bahkan masih tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu dari segala sudut sampai menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkeredap membuat suasana makin panas.            

“Terlalu!”           

“Edan!”          

“Sadis!”           

Bapak Hakim Yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk-ngetukkan palunya. dengan sisa wibawa yang masih ada ia mencoba menenangkan keadaan.           

“Tenang saudara-saudara! Tenang! Siapa yang mengganggu jalannya pengadilan akan saya usir keluar ruangan!”           

Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka juga ingin segera tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi.            

“Saudara Saksi Mata.”           

“Saya Pak.”           

 “Di manakah mata saudara?”           

 “Diambil orang Pak.”           

“Diambil?”         

“Saya Pak.”           

“Maksudnya dioperasi?”           

“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”           

“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”           

“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.” (masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)           

“Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?”           

“Yang mengambil mata saya Pak.”           

“Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?”           

“Dia tidak bilang siapa namanya Pak.”           

“Saudara tidak tanya bego?”           

“Tidak Pak.”           

“Dengar baik-baik bego, maksud saya seperti apa rupa orang itu? Sebelum mata saudara diambil dengan sendok yang katanya untuk dibuat tengkleng atau campuran sop kambing barangkali, mata saudara masih ada di tempatnya kan?”           

“Saya Pak.”           

“Jadi saudara melihat   seperti apa orangnya kan?”           

“Saya Pak.”           

“Coba ceritakan apa yang dilihat mata saudara yang sekarang sudah dimakan para penggemar tengkleng itu.”           

Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung di ruang pengadilan menahan napas.            

“Ada beberapa orang Pak.”           

“Berapa?”           

“Lima Pak.”            

“Seperti apa mereka?”           

“Saya tidak sempat meneliti Pak, habis mata saya keburu diambil sih.”            

“Masih ingat pakaiannya barangkali?”           

“Yang jelas mereka berseragam Pak.”           

Ruang pengadilan jadi riuh kembali seperti dengungan seribu lebah.

***           

Hakim mengetuk-ngetukkan palunya. Suara lebah menghilang.             

“Seragam tentara maksudnya?”           

“Bukan Pak.”           

“Polisi?”           

“Bukan juga Pak.”           

“Hansip barangkali?”           

“Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.”           

“Mukanya ditutupi?”           

“Iya Pak, cuma kelihatan matanya.”           

“Aaaah, saya tahu! Ninja kan?”           

“Nah, itu ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!”           

Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi. Lagi-lagi Bapak Hakim Yang Mulia mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya orang banyak itu menjadi tenang.           

Darah masih menetes-netes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.           

Tapi orang-orang tidak melihatnya.           

“Saudara Saksi Mata.”            

“Saya Pak.”           

“Ngomong-ngomong, kenapa saudara diam saja ketika mata saudara diambil dengan sendok?”           

“Mereka berlima Pak.”           

“Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong saudara. Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengaran, tapi kenapa saudara diam saja?”           

“Habis terjadinya dalam mimpi sih Pak.”           

Orang-orang tertawa. Hakim mengetuk lagi dengan marah.           

“Coba tenang sedikit! Ini ruang pengadilan, bukan Srimulat!”

***           

Ruang pengadilan itu terasa sumpek. Orang-orang berkeringat, namun mereka tak mau beranjak. Darah di halaman mengalir sampai ke tempat parkir. Hakim meneruskan pertanyaannya.            

“Saudara Saksi Mata tadi mengatakan terjadi di dalam mimpi. Apakah maksud saudara kejadiannya begini cepat seperti dalam mimpi?”           

“Bukan Pak, bukan seperti mimpi, tapi memang terjadinya dalam mimpi, itu sebabnya saya diam saja ketika mereka mau menyendok mata saya.”           

“Saudara serius? Jangan main-main ya, nanti saudara harus mengucapkannya di bawah sumpah.”            

“Sungguh mati saya serius Pak, saya diam saja karena saya pikir toh terjadinya cuma dalam mimpi ini. Saya malah ketawa-ketawa waktu mereka bilang mau dibikin tengkleng.”           

“Jadi, menurut saudara Saksi Mata segenap pengambilan mata itu hanya terjadi dalam mimpi?”           

“Bukan hanya menurut saya Pak, memang terjadinya di dalam mimpi.”           

“Saudara kan bisa saja gila.”           

“Lho ini bisa dibuktikan Pak, banyak saksi mata yang tahu kalau sepanjang malam saya cuma tidur Pak, dan selama tidur tidak ada orang mengganggu saya Pak.”           

“Jadi terjadinya pasti di dalam mimpi ya?”           

“Saya Pak.”           

“Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?”           

“Betul Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu bangun kok ternyata betul-betul ya?”           

Hakim menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa mengerti.           

“Absurd,” gumamnya.           

Darah yang mengalir telah sampai ke jalan raya.

***           

Apakah Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi masih bisa bersaksi? Tentu masih bisa, pikir Bapak Hakim Yang Mulia, bukankah ingatannya tidak ikut terbawa oleh matanya?           

“Saudara Saksi Mata.”           

“Saya Pak.”           

 “Apakah saudara masih bisa bersaksi?”           

“Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.”           

 “Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah tidak bermata lagi?”           

“Saya Pak.”           

“Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?”           

“Saya Pak.”           

“Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?”           

“Saya Pak.”           

“Ingatlah semua itu baik-baik, karena meskipun banyak saksi mata, tidak ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali saudara.”           

“Saya Pak.”           

“Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?”           

“Saya Pak.”           

 “Kenapa?”          

“Demi keadilan dan kebenaran Pak.”           

Ruang pengadilan jadi gemuruh. Semua orang bertepuk tangan, termasuk Jaksa dan Pembela. Banyak yang bersorak-sorak. Beberapa orang mulai meneriakkan yel.            

Bapak Hakim Yang Mulia segera mengetukkan palu wasiatnya.           

 “Hussss! Jangan kampanye di sini!” Ia berkata dengan tegas.            

 “Sidang hari ini ditunda, dimulai lagi besok untuk mendengar kesaksian saudara Saksi mata yang sudah tidak punya mata lagi!”           

Dengan sisa semangat, sekali lagi ia ketukkan palu, namun palu itu patah. Orang-orang tertawa. Para wartawan, yang terpaksa menulis berita kecil karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-cepat memotretnya. Klik-klik-klik-klik-klik! Bapak Hakim Yang Mulia diabadikan sedang memegang palu yang patah.

***           

Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim Yang Mulia berkata pada sopirnya,“Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?”           

Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat, “Keadilan tidak buta.” * Namun Bapak Hakim Yang Mulia telah tertidur dalam kemacetan jalan yang menjengkelkan.           

Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus menerus sepanjang jalan raya samapi kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada seorang pun melihatnya. Ketika hari sudah menjadi malam, saksi mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.

            Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam Ninja mencabut lidahnya–kali ini menggunakan catut.

Jakarta, 4 Maret 1992

Sumber

Saksi Mata adalah salah satu cerpen dari beberapa cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen “Saksi Mata” karya Seno Gumira Ajidarma. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 1994. Cerpen Saksi Mata ditulis oleh Seno Gumira berdasarkan keterangan para korban dan saksi mata atas Insiden Dili, yang terjadi pada tanggal 12 November 1991 di Timor Timur.

Tema Cerita

Cerpen Saksi Mata merupakan sebuah cerpen yang mengangkat tema kriminalitas politik, yakni tentang insiden yang terjadi di Dili pada tahun 1991 silam. Cerpen yang merupakan bentuk “protes” atas ketidakadilan dan penindasan dari otoritas berkuasa kepada mereka yang tidak berdaya.

Alur

Kisah dalam cerpen Saksi Mata diceritakan dengan alur maju. Yaitu dimulai dari kehadiran tokoh saksi mata di persidangan dan diikuti dengan jalannya sidang yang berisi tanya jawab antara hakim dengan saksi mata.

Di tengah cerita digambarkan juga keadaan dimana darah dari mata tokoh saksi mata mengalir memenuhi lantai sidang, bahkan meluber hingga ke luar ruangan dan jalan raya, tetapi tak satupun yang melihat. Hal ini merupakan simbol bahwa banyak orang menutup mata atas insiden yang menumpahkan darah di Dili silam.

Latar

Sebagian besar isi cerpen saksi mata mengambil latar di ruang pengadilan dan sebagian kecil ada di rumah tokoh saksi mata. Adapun latar waktu persidangan tidak ditunjukkan dengan jelas, sementara mimpi yang dialami oleh saksi mata terjadi di malam hari.

Latar suasanya yang tercipta sebenarnya cukup mencekam, meski juga diselipi komedi hitam seperti mata yang dicongkel untuk dibuat tengkleng.

Penokohan

Kisah dalam cerpen Saksi Mata ini berpusat pada tokoh seseorang yang menjadi saksi mata akan suatu peristiwa pembataian. Nahas baginya, sebelum pengadilan dimulai ternyata sekelompok orang berseragam mencongkel kedua matanya untuk menghalangi kesaksiannya. Namun, tokoh saksi mata ini memiliki watak yang teguh dan pemberani sehingga ia tetap datang untuk memberikan kesaksiannya.

Dalam cerpen ini tergambar dengan jelas watak tokoh saksi mata yang berpendirian kuat dan mau berjuang untuk keadilan dan kebenaran meski kondisinya sedang dalam tekanan dan ancaman.

Sementara itu untuk membangun cerita, penulis menghadirkan tokoh hakim sebagai lawan bicara dari tokoh saksi mata. Dan beberapa tokoh pendukung seperti hadirin dalam sidang dan wartawan yang datang menyaksikan kesaksian tokoh utama dalam cerita.

Kelebihan

Kelebihan cerpen ini adalah keberaniannya dalam mengangkat tema yang sensitif menunjukkan cerpen ini memang tidak ditulis untuk main-main. Cerpen ini menyuarakan perlawanan akan penindasan manusia akan manusia lainnya dan juga menggambarkan arogansi dan dominasi penguasa untuk membungkam kebenaran.

Kelebihan lain dari cerpen Saksi Mata ini adalah gaya penulis yang  khas, cara berceritanya yang ringan meskipun memuat kritik sosial dan politik. Ini menunjukkan kelebihan penulis sebagai seorang pendongeng handal yang mahir dalam teknik.

Kekurangan

Kekurangan dari cerpen ini terletak pada adanya ketidaklogisan yang sebenarnya merupakan sebuah simbol pengandaian, namun juga cukup mengganggu. Misalnya saja tentang pencongkelan mata yang terjadi dalam mimpi namun ternyata efeknya menjadi nyata. Atau ketika darah mengalir dari mata tokoh saksi mata hingga membasahi lantai sidang dan mengalir ke jalan raya dan tempat parkir tapi tak ada satupun orang yang melihat.

Selain itu, cerpen ini mungkin tidak bisa dengan mudah dipahami oleh segala usia. Terlebih bagi anak-anak atau mereka yang masih dibawah umur, karena didalam cerpen ini termuat narasi kekerasan yang cukup gamblang dan bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi pembacanya.

Terlepas dari kekurangannya tersebut, cerpen Saksi Mata merupakan cerpen yang sangat baik dan khas. Hal ini dibuktikan dengan penghargaan yang diraih oleh penulisnya, Seno Gumira Ajidarma, dalam Penghargaan Penulisan Karya Sastra pada tahun 1995 oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Cerpen ini bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Eyewitness serta memenangkan Penghargaan Dinny O’Hearn untuk Terjemahan Sastra pada tahun 1997 dalam Premier’s Literary Award.

The post Kritik Sastra Cerpen Saksi Mata appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kritik Sastra Cerpen Robohnya Surau Kami https://haloedukasi.com/kritik-sastra-cerpen-robohnya-surau-kami Tue, 30 Nov 2021 06:13:13 +0000 https://haloedukasi.com/?p=29251 Robohnya Surau Kami Karya : A.A Navis KALAU beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti […]

The post Kritik Sastra Cerpen Robohnya Surau Kami appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Robohnya Surau Kami

Karya : A.A Navis

KALAU beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk

di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, “Pisau siapa, Kek?”

“Ajo Sidi.”

“Ajo Sidi?”

Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”

“Siapa?”

“Ajo Sidi.”

“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.

“Kenapa?”

“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.”

“Kakek marah?”

“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.”

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan Pengasih dan Penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu, Kek?”

“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang- orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.

‘Engkau?’

‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’

‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’

‘Ya, Tuhanku.’

‘Apa kerjamu di dunia?’

‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’

‘Lain?’

‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’

‘Lain?’

‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’

‘Lain?’

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.

‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, O, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’

O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’

‘Lain?’

‘Sudah kuceritakan semuanya, O, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’

‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’

‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’

‘Masuk kamu.’

Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.’

‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang di antaranya.

‘Ini sungguh tidak adil.’

‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.

‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’

‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’

‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.

‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.

‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.

‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’

‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,’ sebuah suara menyela.

‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.

Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’

Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.

‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’

‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’

‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’

‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?’

‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’

‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’

‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’

‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’

‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’

‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’

‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’

‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’

‘Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’

‘Sungguh pun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’

‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’

‘Ada, Tuhanku.’

‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!’

Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.

‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.

‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’

Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku kaget.

“Kakek.”

“Kakek?”

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”

“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.

“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”

“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”

“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”

“Kerja.”

“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.

“Ya, dia pergi kerja.”[]

[Dinukil dari AA Navis, Robohnya Surau Kami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), 2007, hlm. 1-14.]

Sumber : Disini

Robohnya Surau Kami merupakan sebuah cerpen karya A.A Navis yang terpillih sebagai salah satu cerpen terbaik majalah sastra pada tahun 1955. Cerpen yang memiliki kisah sederhana, unik, menarik, namun sangat kaya makna ini syarat akan kritik atas kehidupan zaman modern saat ini.

Cerpen Robohnya Surau Kami mengisahkan tentang seorang kakek penjaga surau yang ahli ibadah dan suka membantu orang lain. Suatu ketika, seorang pembual bernama Ajo Sidi menemui kakek tersebut untuk mengobrol dengannya. Singkat cerita, sang kakek ditemukan meninggal dunia karena bunuh diri dengan menggorok sendiri lehernya dengan pisau cukur. Ternyata tindakan kakek tersebut dipicu oleh cerita yang disampaikan oleh Ajo Sidi kepada kakek pada pertemuan mereka sebelumnya.

Tema

Cerpen Robohnya Surau Kami merupakan sebuah cerpen yang mengangkat tema tentang lalainya seseorang yang sejatinya merupakan kepala keluarga, dimana kelalaiannya itu pada akhirnya menjadi penyebab kematiannya sendiri.

Alur

Cerpen Robohnya Surau Kami dibangun dengan alur mundur. Cerita dalam cerpen ini mengisahkan tentang peristiwa yang telah terjadi, yakni penyebab meninggalnya tokoh kakek.

Latar/Setting

  1. Latar tempat : di kota, dekat pasar, surau, dan selainya
  2. Latar waktu: beberapa tahun lalu

Penokohan

Ada empat tokoh penting dalam cerpen ini, yakni tokoh Aku, Kakek, Haji Soleh, dan Ajo Sidi.

  1. Aku
    Tokoh Aku digambarkan sebagai seorang yang memiliki watak selalu ingin tau akan urusan orang lain. Tokoh yang memiliki peran penting dalam cerpen ini. Dari tokoh Aku inilah pembaca bisa mengetahui kisah Kakek yang mengakhiri hidupnya dengan menggorok lehernya sendiri dengan pisau.
  2. Ajo Sidi
    Tokoh Ajo Sidi merupakan orang yang memiliki watak suka membual. Penggambaran watak tokoh ini begitu jelas dalam cerpen, yakni melalui perkataan tokoh Aku dimana menurut tokoh Aku, Ajo Sidi adalah pembual yang hebat dan mampu memikat siapapu yang mendengarnya.
  3. Kakek
    Tokoh kakek merupakan tokoh sentral dalam cerpen. Kakek digambarkan sebagai sosok yang egois dan lalai, pendek akal pikirannya, serta mudah dipengaruhi orang lain.
  4. Haji Soleh
    Tokoh Haji Soleh sebenarnya merupakan tokoh rekaan yang diciptakan oleh Ajo Sidi tatkala bercerita. Haji Soleh digambarkan sebagai seorang ahli ibadah, namun egois . Ajo Sidi sengaja membuat tokoh Haji Soleh sebagai sindiran dan ejeken.

Sudut pandang

Sudut pandang cerpen ini adalah orang pertama sebagai pelaku utama. Dimana pengarang memposisikan dirinya sebagai tokoh Aku yang secara langsung terlibat dalam cerpen yang ditulisnya.

Selain itu pengarang juga berperan sebagai tokoh bawahan pada saat tokoh kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.

Gaya Bahasa

Diantara gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen ini adalah:

  1. Kosakata terkait keagamaan seperti Allah Subhanau Wataala, Masya Allah, Alhamdulillah, Astagfirullah, Akhirat, Tawakal, berdoa, dosa dan pahala, Surga, neraka, menginsyafkan umat-Mu, kitab-Mu, hamba-Mu, Malaikat, haji, Syekh, dan sebagainya
  2. Menggunakan majas, diantaranya majas alegori dan sinisme.
  3. Menggunakan simbol, yakni pada judul Robohnya Surau yang melambangkan runtuhnya idiologi beragama.

Amanat Cerpen

Setiap cerita yang dituangkan oleh seorang penulis, tentunya memiliki amanat yang hendak disampaikan baik secara eksplisit maupun secara implisit. Adapun cerpen Robohnya Surau Kami, ada beberapa amanat yang bisa didapat dari kisah dalam cerpen ini, yaitu:

  1.  Seseorang hendaknya lebih bersabar ketika menghadapu ejekan atau nasehat yang menyentil diri kita.
  2. Manusia tidak seharusnya berbangga diri akan ibadah atau perbuatan baiknya. Sebab bisa jadi, hal itu tidak ada artinya di mata Tuhan.
  3.  Jangan terpesona dengan gelar dan nama besar.
  4. Jangan menyia-nyiakan apa yang dimiliki
  5.  Jangan mementingkan diri sendiri dan melupakan kewajiban pada orang lain

Keunggulan Cerpen

Keunggulan cerpen ini terletak pada alurnya yang tak terduga (plot twist) di akhir kisah. Teknik penceritaan yang tidak biasa juga menjadikan cerpen ini menjadi lebih menarik, dimana A.A Navis mengisahkan kejadian di alam lain dan bahkan ada dialog imajiner tokoh cerita dengan Sang Pencipta.

Selain itu, penggambaran dari latar perkampungan dalam cerpen ini bisa dibilang sangat bagus sebab membuat pembaca seakan-akan bisa menelusuru latar perkampungan yang kental.

Dan yang paling utama tentu saja pesan atau amanat yang diusung cerpen ini mampu menjadi pengingat bagi pembacanya bahwa seorang manusia hidup tidak cukup hanya beribadah semata namun melupakan kewajibannya akan perkara duniawi.

Kekurangan Cerpen

Salah satu kekurangan dari cerpen ini terletak pada gaya bahasanya yang terlalu tinggi sehingga cukup sulit untuk dipahami. Ditemukan juga beberapa kalimat yang kurang efektif dalam hal pemilihan kata, sehingga bisa menimbulkan kesalahan pemahaman dari pembaca.

Selain itu, penggunaan alur mundur atau flash back dirasa justru mengurangi ketegangan pada cerita.

The post Kritik Sastra Cerpen Robohnya Surau Kami appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kritik Sastra: Pengertian – Jenis dan Contohnya https://haloedukasi.com/kritik-sastra Fri, 12 Mar 2021 08:05:39 +0000 https://haloedukasi.com/?p=22610 Kritik sastra adalah salah satu dari cabang ilmu sastra  yang berupa penilaian dan ulasan mengenai sebuah karya sastra. Krtitik sastra diberikan oleh seorang kritikus dengan mempertimbangkan berbagai unsur-unsur yang ada dalam sebuah karya sastra. Pengertian Kritik Sastra Istilah kritik sastra terdiri dari dua kata, yaitu kritik dan sastra. Kritik berasal dari bahasa Yunani “Krites” yang […]

The post Kritik Sastra: Pengertian – Jenis dan Contohnya appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kritik sastra adalah salah satu dari cabang ilmu sastra  yang berupa penilaian dan ulasan mengenai sebuah karya sastra. Krtitik sastra diberikan oleh seorang kritikus dengan mempertimbangkan berbagai unsur-unsur yang ada dalam sebuah karya sastra.

Pengertian Kritik Sastra

Istilah kritik sastra terdiri dari dua kata, yaitu kritik dan sastra. Kritik berasal dari bahasa Yunani “Krites” yang memiliki makna Hakim. Secara umum, kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang melakukan kajian, analisis, telaah, penilaian, dan juga pertimbangan mengenai kelebihan dan kekurangan dari sebuah karya sastra.

Berikut ini adalah beberapa pengertian kritik sastra yang diungkapkan oleh para ahli:

  • Pradotokusumo (2005) menyatakan kritik sastra merupakan salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.
  • Abrams dalam Pengkajian sastra (2005) mendeskripsikan kritik sastra sebagai cabang ilmu yang berkaitan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
  • Menurut H.B. Yasin, kata kritik dalam kritik sastra bermakna pertimbangan baik buruknya suatu karya sastra, pertimbangan kelemahan dan keunggulan karya sastra. Melalui kritik sastra, penulis akan mengembangkan dirinya menjadi penulis yang menyadari kelemahan dan sekaligus keunggulan dirinya dalam menghasilkan karya sastra
  • Andre Hardjana (1981) mendefinisikan kritik sastra sebagai hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran secara sistemik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.
  • Menurut Graham Hough, kritik sastra itu bukan hanya terbatas pada penyuntingan dan penetapan teks, interpretasi , dan pertimbangan nilai, melainkan kritik sastra meliputi masalah yang lebih luas tentang apakah kesusastraan itu, untuk apa, dan bagaimana hubungannya dengan masalah-masalah kemanusiaan yang lain.
  • Rene Wellek dan Austin Warren menyatakan kritik sastra sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra.

Ciri-ciri Kritik Sastra

Beberapa ciri dari kritik sastra adalah sebagai berikut:

  • Berupa tanggapan atau ulasan terhadap sebuah karya sastra
  • Berisi pertimbangan baik dan buruk atau kelebihan dan kekurangan dari sebuah karya sastra
  • Meskipun berupa penilaian pribadi, akan tetap kritik sastra haruslah bersifat objektif
  • Kritik yang diberikan bersifat konstruktif atau kritik membangun
  • Kritik didasarkan pada teori-teori ilmiah, bukan hasil menduga-duga.

Fungsi Kritik Sastra

Kritik sastra memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:

  • Kritik sastra yang diberikan seorang kritikus bisa membantu perkembangan ilmu sastra itu sendiri.
  • Sebagai pedoman atau penjelas bagi penikmat karya sastra untuk mengetahui nilai dari sebuah karya sastra, berupa  keunggulan dan juga kelemahan dari sebuah karya yang akan dinikmatinya.

Manfaat Kritik Sastra

Adapun manfaat dari kritik sastra adalah:

Bagi Penulis

  • Sebagai masukan untuk bisa menghasilkan karya yang lebih berkualitas kedepannya.
  • Memperkaya dan memperluas wawasan penulis mengenai karya sastra.
  • Memberikan motivasi untuk menulis.

Bagi Pembaca

  • Memberi informasi mengenai kelebihan dan kekurangan dari sebuah karya sastra
  • Membantu pembaca dalam meningkatkan kemampuannya untuk mengapresiasi sebuah karya sastra
  • Memberikan wawasan mengenai nilai-nilai dalam karya sastra.

Bagi Penerbit

  • Sebagai media promosi karya sastra yang diterbitkannya.

Bagi Perkembangan Sastra

  • Membantu peningkatan kualitas kesusastraan
  •  Memperluas cakrawala pengetahuan di bidang sastra.

Jenis Kritik Sastra

Berikut adalah beberapa jenis kritik sastra:

1. Kritik Mimetik

Kritik mimetik memandang sebuah karya sastra sebagai tiruan dari alam, yakni bahwasanya sastra merupakan penggambaran dari kehidupan. Dalam kritik mimetik, untuk menilai sebuah karta sastra kritikus menggunakan kriteria sejauh mana sebuah karya mampu menggambarkan keadaan atau objek yang sebenarnya.

2. Kritik Pragmatik

Kritik pragmatik menganggap karya sastra sebagai alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, sehingga kritik jenis ini akan menilai karya sastra berdasarkan keberhasilannya dalam mencapai tujuan pembuatannya.

3. Kritik Ekspresif

Kritik ekspresif lebih menfokuskan kritiknya kepada para pengarang atau sastrawan yang merupakan unsur pokok bagi lahirnya sebuah karya sastra melalui pemikiran-pemikiran, persepsi-persepsi, dan juga perasaan mereka.

4. Kritik Objektif

Kritik objektif lahir dengan pandangan bahwa sebuah karya sastra merupakan suatu hal yang mandiri dan berdiri sendiri serta terbebas dari pengaruh penyair, pembaca, maupun segala hal yang ada di sekitarnya. Sehingga kritikus akan menilai sebuah karya sastra dengan berdasarkan pada karya itu sendiri, baik dalam hal unsur-unsur intrinsik yang memabngunnya maupun hal yang menghubungkan bagian-bagian dalam karya seperti kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dan sebagainya.

Contoh Kritik Sastra

Kebangkitan Tradisi Sastra Kaum Bersarung 

Penulis: Purwana Adi Saputra 

Selama ini, entah karena dinafikan atau justru karena menafikan fungsinya sendiri, kaum pesantren seolah tersisih dari pergulatan sastra yang penuh gerak, dinamika, juga anomali. Bahkan, di tengah-tengah gelanggang sastra lahir mereka yang menganggap bahwa kaum santrilah yang mematikan sastra dari budaya bangsa. Di setiap pesantren, kedangkalan pandangan membuat mereka menarik kesimpulan picik bahwa santri itu hanya percaya pada dogma dan jumud. Mereka melihat tradisi hafalan yang sebenarnyalah merupakan tradisi Arab yang disinkretisasikan sebagai bagian dari budaya belajarnya, telah membuat kaum bersarung ini kehilangan daya khayal dari dalam dirinya. Dengan kapasitasnya sebagai sosok yang paling berpengaruh bagi transfusi budaya bangsa ini, dengan seenaknya ditarik hipotesis bahwa pesantrenlah musuh pembudayaan sastra yang sebenarnya. Kaum bersarung adalah kaum intelektualis yang memarjinalkan sisi imaji dari alam pikirnya sendiri. Pesantren adalah tempat yang pas buat mematikan khayal. Pesantren adalah institut tempat para kiai dengan dibantu para ustadnya menempa kepala para santri dengan palu godam paksa. (Dikutip seperlunya dari Solopos, 5 Desember 2007)

The post Kritik Sastra: Pengertian – Jenis dan Contohnya appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>