penerapan difusi inovasi - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/penerapan-difusi-inovasi Sat, 01 Apr 2023 17:36:47 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 https://haloedukasi.com/wp-content/uploads/2019/11/halo-edukasi.ico penerapan difusi inovasi - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/penerapan-difusi-inovasi 32 32 6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi https://haloedukasi.com/contoh-penerapan-teori-difusi-inovasi Sat, 01 Apr 2023 17:36:36 +0000 https://haloedukasi.com/?p=42105 Sesuai karakteristiknya, teori Difusi Inovasi yakni mampu mempersuasi atau memengaruhi individu hingga kelompok sosial tertentu. Difusi inovasi secara umum menjelaskan bagaimana sebuah inovasi disebarluaskan melalui berbagai media massa dalam kurun waktu tertentu kepada suatu masyarakat. Ide-ide baru yang awalnya dipandang secara subjektif, melalui sebuah konstruksi sosial, kemudian akan dipandang secara objektif. Inovasi-inovasi tersebut seiring perkembangan […]

The post 6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Sesuai karakteristiknya, teori Difusi Inovasi yakni mampu mempersuasi atau memengaruhi individu hingga kelompok sosial tertentu. Difusi inovasi secara umum menjelaskan bagaimana sebuah inovasi disebarluaskan melalui berbagai media massa dalam kurun waktu tertentu kepada suatu masyarakat.

Ide-ide baru yang awalnya dipandang secara subjektif, melalui sebuah konstruksi sosial, kemudian akan dipandang secara objektif. Inovasi-inovasi tersebut seiring perkembangan zaman akan mempermudah manusia dalam menjalankan aktivitasnya.

Namun demikian, segala inovasi tersebut selain dapat diterima, terkadang akan menemui sebuah penolakan dari kelompok sosial tertentu. Berikut ini telah dipaparkan enam contoh penerapan teori Difusi Inovasi yang berdampak dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

1. Bidang Antropologi

Selama lebih dari lima belas tahun, Antropolog Steave Lanching telah mengamati budaya Bali yang mengantarkannya pada pemahaman dimensi sistem pengetahuan yang memengaruhi inovasi teknologi masyarakat Bali, Indonesia.

Sawah yang selama berabad-abad telah menjadi sentra kehidupan dan mampu menghidupi lebih dari 2 juta masyarakat Bali, tidak lepas dari sistem pengelolaan yang mereka terapkan selama ini. Dimulai dari sistem irigasi “Jero Gede”, di bawahnya terdapat sejumlah bendungan yang masing-masing diatur oleh pendeta Hindu dari Pura .

Tingkat lebih rendah dari “Jero Gede” terdiri dari bendungan kecil yaitu 1.300 subak yang masing-masing diatur oleh seorang pendeta (pedanda). Secara hierarki, elaborasi ini membentuk organisasi sosial yang berguna bagi kepentingan sistem irigasi sawah di bali.

Koordinasi lain masyarakat Bali juga dilakukan dalam upaya mengontrol hama di sawah. Karena mudahnya berbagai hama berpindah dari satu sawah ke sawah lain, petani di Bali bekerja sama dengan petani lain guna membasmi hama, seperti tikus, belalang dan hama lainnya.

Pemecahan masalah ini dilakukan dengan menanam, mengairi, memanen secara serentak lalu meninggalkan atau membiarkan sawah mereka selama beberapa minggu dalam keadaan kosong.

Hama akan berkurang jika penanaman dilakukan secara serentak. Namun demikian, tidak tercukupinya persediaan air pada puncak kebutuhan akan terjadi jika tidak dibagi secara efisien.

Dalam keadaan seperti ini, pedanda tinggi memiliki pengaruh kuat. Ia akan mengirim perintah ke seluruh anggota Subak untuk membangun bendungan di setiap pematang dan berdoa melakukan persembahan setiap 3 hari selama 15 hari kedepan. (Lanching, 1987)

Pada 1970, pemerintah Indonesia memperkenalkan varietas beras revolusi hijau di Bali dengan harapan mampu meningkatkan produksi pangan nasional.

Petani baru juga disarankan menanam tiga kali per tahun, dan menggunakan pupuk kimia serta pestisida. Namun, sistem ini memunculkan jenis hama baru dan membunuh spesies hewan lain.

Para petani Bali dengan segera kembali ke sistem Pura air namun tetap melanjutan penanaman “varietas padi ajaib” dari pemerintah.

Secara keseluruhan, Antropolog Steave Lanching menyimpulkan bahwa kebudayaan Bali dan agama Hindhu telah benar-benar memberikan pengaruh terhadap setiap aspek kehidupan masyarakatnya.

2. Bidang Sosiologi Pedesaan

Selama periode tahun 1970-an, beberapa sosiolog pedesaan Amerika skeptis apakah melakukan riset terhadap difusi dan inovasi pertanian akan benar-benar berguna bagi kelangsungan hidup masyarakat di pedesaan.

Sikap kritis ini didorong oleh buku milik James Hightower, (1972): Hard Tomatoes, Hard time: he Failure of America’s Land Grant Complex.

Dalam buku ini, pemanen tomat dengan mesin mengharuskan petani menanam varietas tomat yang bertekstur keras. Keduanya, mesin pemanen dan varietas tomat keras, dikembangkan dengan tujuan agar menguntungkan konsumen karena harga tomat lebih murah. Namun, pada kenyataannya lebih banyak konsumen lebih menyukai tomak matang yang lunak.

Selain kurangnya jumlah gizi yang terkandung dalam tomat keras, mesin pemanen tomat juga menyebabkan para pemanen tomat kehilangan pekerjaan. Hingga menyebabkan ribuan petani kecil yang tidak mampu membeli mesin pemanen, karena harganya yang mahal, mengalami penurunan produksi.

Revolusi pertanian di AS ini menurut James Hightower merupakan tanggung jawab para sarjana di universitas pertanian milik negara melalui pengembangan dan difusi inovasi pertanian mereka lainnya.

Hightower juga berpendapat bahwa pengabaian terhadap dampak inovasi teknologi tersebut merupakan bentuk kegagalan dari sebagian universitas pertanian AS.

Hampir dari semua narasumber profesional yang mempublikasikan penelitian ini melakukan pengembangan terhadap penciptaan dan penyerapan teknologi produksi pertanian. Namun dari kesemuanya tidak menyertakan akibat dari inovasi ini.

Kritik keras Higtower kini beralih ke sosiolog pedesaan yang selama dua puluh tahun terakhir meneliti difusi dalam rangka mempercepat penyebaran dan penyerapan inovasi, bukannya mempelajari akibat yang ditimbulkan oleh teknologi, seperti hal apa yang dapat dilakukan dengan pencarian akar masalah sosial dari revolusi pertanian di AS.

3. Bidang Sosiologi Kesehatan

Pada 1964, Freedman melakukan sebuah riset bertajuk “Studi Taichung” di Thailand. Studi Taichung merupakan salah satu studi paling awal dari studi tentang KAP (knowledge, attitude, dan practice), yakni eksperimen dilakukan di luar laboratorium atau di lapangan.

Selama penelitian, Freedman menerapkan empat intervensi komunikasi berbeda pada sekitar 2.400 lingkungan di Thailand, yang masing-masing terdiri dari 20 hingga 30 keluarga. Berikut ini merupakan empat bentuk intervensi komunikasi yang diterapkan, antara lain:

  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan tentang program KB
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan dan memberikan informasi yang disampaikan melalui pos ke adopter lokal
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan serta melakukan kunjungan personal ke setiap rumah adopter bersama agen berbeda guna membujuk para wanita untuk mengadopsi program KB
  • Melakukan pertemuan dengan lingkungan serta melakukan kunjungan personal bersama agen berbeda ketika bertemu suami dan istri dalam keluarga yang diduga sebagai tambahan seluruh lingkungan di Taichung dengan alasan program KB

Setelah beberapa bulan melakukan eksperimen diskusi, didapatkan hasil bahwa sebanyak 40% atau 10.000 wanita di Taichung diketahui telah mengadopsi informasi tentang program KB. Tingkat kehamilan juga ikut menurun hingga 20%, dengan penggunaan alat kontrasepsi IUD sebanyak 78%.

Dalam eksperimen Taichung menunjukkan bahwa terapi komunikasi interpersonal, seperti pertemuan kelompok dan kunjungan menjadi metode paling signifikan dalam suksesnya program KB.

Poster sebagai salah satu metode komunikasi media massa juga berperan dalam menciptakan knowledge awareness tentang metode KB.

Freedman dan Barelson menyimpulkan bahwa hal terpenting yang harus dikembangkan pada masa kritis adalah membentuk motivasi personal dan dukungan sosial untuk terus melanjutkan program meski tanpa adanya kunjungan ke rumah.

Dengan demikian, pengaruh kecil dari rancangan eksperimen disebabkan oleh keuntungan yang cukup dalam menginformasikan tentang pentingnya komunikasi interpersonal. Hasil yang didapat nantinya adalah rasa optimisme para petugas pengembang program KB Nasional di negara-negara yang sedang berkembang lainnya.

4. Bidang Pendidikan

Sepeninggal Paul Mort (1959), para pengajar Columbia University banyak kehilangan kekuasaan dan memonopoli atas difusi dalam bidang pendidikan. Sehingga berbagai kajian baru lebih berfokus guru, difusi internal sekolah dan antarsekolah, dan difusi pendidikan di negara-negara ketiga.

Pada tahun 1960-an, Richard G. Carlson telah melakukan penelitian difusi pendidikan tentang sebaran matematika modern di kota Pittsburgh, khususnya antara guru-guru sekolah di Pennsylvania dan Virginia Barat. Ia mempelajari bagaimana pemimpin opini berperan dalam difusi matematika modern.

Selain itu, Carlson juga menyertakan berbagai variabel yang berkaitan dengan inovasi, karakter yang diterima dari inovasi dan tingkat serapan mereka, beserta akibat dari suatu inovasi pendidikan dan pengajaran terprogram.

Selama penelitian, Carlson telah melakukan interview dengan 38 pemilik sekolah menanyakan sejak kapan sekolah mereka mengadopsi dan dengan sekolah mana mereka bekerja sama menerapkan sistem matematika modern ini.

Dari berbagai interview tersebut, diketahui bahwa matematika modern mulai masuk ke pendidikan daerah sejak tahun 1958. Inovator mereka menyebar ke luar kota Pittsburgh.

Namun, 1 dari 38 sekolah tadi secara sosiometrik terpisah di jaringan lokal dan tidak berhubungan dengan yang lainnya.

Antara tahun 1959 hingga 1960, diketahui terdapat 6 kelompok pemilik sekolah telah mengadopsi sistem matematika modern. Tiga kelompok diantaranya merupakan pemimpin opini dari sekolah-sekolah di kota Pittsburgh.

Tingkat penyerapan setiap tahunnya kemudian mengalami peningkatan. Pada 1958 ada 1 adopter, pada akhir 1959 terdapat 5 adopter, 15 adopter pada 1960, 27 adopter pada 1961, 35 adopter pada 1962, dan pada akhir 1963 terdapat 38 adopter.

Dalam jangka 5 tahun, sistem matematika modern berhasil berkembang dan teradopsi secara penuh atau 100%.

5. Bidang Kesehatan

Pada 1954, departemen peneliti pasar dari suatu firma farmasi besar, Pfizer, menyediakan dana US$40.000 kepada tiga sosiolog Columbia University untuk proyek riset difusi obat.

Tujuan utama riset ini adalah Pfizer ingin mengetahui apakah iklan dalam jurnal media berperan dalam penyebaran produk barunya.

Studi difusi inovasi ini diterapkan pada 33 dokter di beberapa kota di kawasan regional New England, AS. Kajian pertama dilakukan pada 1953 dengan menganalisis difusi dari jenis antibiotik baru tetracyclin. Inovasi ini kemudian dirujuk oleh peneliti dari Columbia University dengan nama “Gamany”.

Sebanyak 87% dokter di kota Illinois telah melakukan uji coba obat tersebut setidaknya sekali dan membandingkannya dengan dua jenis antibiotik sejenis. Sebanyak 85% dari 125 dokter Illinois yang di-interview mengatakan bahwa “Gamany” bekerja secara signifikan.

Beberapa bulan kemudian, banyak dokter dilaporkan mengadopsi “Gamany” lebih awal dari rekaman resep yang dicatat. Meski hal ini kemungkinan disebabkan 10% sampel rekaman resep telah dikonsultasikan oleh para ahli difusi inovasi.

6. Bidang Komunikasi

Pada 1960, Paul J Deutschman dan Wayne Danielson memulai pola bagi peneliti difusi berita yang kemudian diikuti pada beberapa dekade berikutnya.

Keduanya melihat difusi berita sebagai proses komunikasi yang mengarahkan mereka pada penjajakan penyebaran beberapa peristiwa spektakuler dunia, seperti Pembunuhan Presiden AS, Paus atau Perdana Menteri, atau hancurnya pesawat.

Pada saat demikian, setiap media massa secara virtual akan membentuk audiens individu saling mendekati satu sama lain bahkan orang asing di sebuah ruang, mereka kemudian akan melengkapi berita sesuai kadar informasi yang mereka terima dan miliki.

Dalam hitungan menit, reporter akan memperoleh berbagai fakta penting dan menyebarkannya ke media massa. Sifat dari radio dan televisi akan membagi program mereka menjadi buletin broadcast/siaran berita. Sementara koran akan dibanjiri oleh banyaknya tulisan dan kata-kata.

Bagaimana suatu berita dalam berbagai media massa tadi menyebar dari satu individu ke individu lainnya merupakan perhatian pertama dari pakar difusi berita.

Mereka ingin tahu hubungan penting dari radio, televisi, koran, dan channel interpersonal dalam mengidentifikasi berita dan seberapa cepat difusi berita yang terjadi.

Dalam penelitiannya, Deutshman menemukan bahwa dalam 30 jam pertama, sekitar 75 hingga 95% publik telah mengetahui tentang berita yang tersebar melalui media massa. Karena prosesnya yang cepat, terkadang proses dari difusi berita sulit untuk dipelajari dengan metode biasa dari riset komunikasi.

Deutshman dan Danielson kemudian membuat sebuah kuisioner dan melakukan intervew telepon dalam 24 jam kejadian berita. Keduanya menemukan bahwa TV, radio, dan koran disetir oleh beberapa responden karena menjadi sumber pertama berita dari sebuah berita dibanding channel interpersonal.

The post 6 Contoh Penerapan Teori Difusi Inovasi appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>