teori konflik - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/teori-konflik Tue, 02 Jan 2024 09:48:59 +0000 id-ID hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 https://haloedukasi.com/wp-content/uploads/2019/11/halo-edukasi.ico teori konflik - HaloEdukasi.com https://haloedukasi.com/sub/teori-konflik 32 32 6 Teori Konflik dalam Sosiologi Keluarga https://haloedukasi.com/teori-konflik-dalam-sosiologi-keluarga Tue, 02 Jan 2024 09:48:55 +0000 https://haloedukasi.com/?p=47321 Ilmu sosiologi tidak hanya mengkaji tentang perilaku dan interaksi manusia dalam masyarakat, tapi juga sisi konflik yang ada di dalamnya. Kehidupan sosial tidak akan pernah dapat lepas dari adanya konflik sosial, yakni berupa perbedaan pendapat, pertentangan, perselisihan, permusuhan, atau percekcokan. Konflik tidak hanya terjadi antara teman sekolah, rekan kerja, anggota organisasi, maupun sepasang kekasih. Konflik […]

The post 6 Teori Konflik dalam Sosiologi Keluarga appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Ilmu sosiologi tidak hanya mengkaji tentang perilaku dan interaksi manusia dalam masyarakat, tapi juga sisi konflik yang ada di dalamnya. Kehidupan sosial tidak akan pernah dapat lepas dari adanya konflik sosial, yakni berupa perbedaan pendapat, pertentangan, perselisihan, permusuhan, atau percekcokan.

Konflik tidak hanya terjadi antara teman sekolah, rekan kerja, anggota organisasi, maupun sepasang kekasih. Konflik justru rentan terjadi di dalam keluarga, entah antara pasangan suami dan istri, anak dan orang tua, menantu dan mertua, hingga sesama saudara kandung, saudara sepupu, maupun saudara jauh sekalipun.

Konflik akan tetap ada selama manusia hidup dan bersosialisasi karena ini merupakan bentuk masalah sosial yang perlu diatasi, tak terkecuali dalam keluarga. Ilmu sosiologi pun nyatanya memelajari hal ini dan teori konflik sosial sendiri telah ada dari abad ke-18 dan 19 pada waktu munculnya industrialisasi dan demokratisasi.

Teori konflik sosial yang berkembang dan meraih popularitas pada tahun 1960-an ini pun juga mencakup keluarga. Berikut ini merupakan sejumlah teori konflik dalam sosiologi keluarga yang dapat disimak.

1. Blood dan Wolfe

Teori konflik dalam sosiologi keluarga yang teramati adalah bagaimana keluarga seringkali bukan dianggap sebagai tempat paling aman dan tempat untuk berlindung yang nyaman. Ada peran kekuasaan di dalam keluarga sehingga tak jarang di dalamnya terjadi perebutan kekuasaan.

Konflik dalam sebuah keluarga yang para ahli teori konflik pelajari kemungkinan mencakup penegakan kedisiplinan oleh orang tua kepada anak-anak. Adanya aturan di rumah maupun di luar rumah agar anak bisa bersikap dengan baik sebagaimana mestinya kerap kali memicu konflik.

Isu lebih serius pun ikut diamati dan dikaji, seperti halnya pemerkosaan dalam pernikahan, kekerasan dalam rumah tangga (pasangan dan anak sebagai korban), inses, hingga penyerangan seksual. Teori konflik yang Blood dan Wolfe (1960) angkat adalah kekuasaan paling besar di dalam keluarga dipegang oleh laki-laki daripada perempuan.

Kekuasaan terbesar kerap kali dikaitkan dengan akses terhadap sumber daya nilai yang paling mudah; dalam hal ini adalah uang sebab mayoritas laki-laki bekerja dan berperan sebagai kepala keluarga yang menafkahi.

2. Coltrane

Coltrane (2000) berfokus pada pembagian tugas dalam pekerjaan rumah tangga. Percekcokan antara suami dan istri adalah hal yang umum terjadi, khususnya dalam hal pembagian kerja rumah tangga.

Dalam sebuah pernikahan atau kehidupan rumah tangga, tidak ada upah untuk pelaksanaan pekerjaan rumah, seperti halnya mencuci pakaian, menyapu, mengepel, menyetrika, mencuci piring, dan kegiatan lainnya.

Oleh karena ketiadaan upah atau gaji dalam hal tersebut, tidak ada yang lebih berkuasa daripada yang lain. Namun ketika salah satu tidak dapat diajak bekerja sama, seperti menolak untuk pembagian tugas pekerjaan rumah, konflik akan kemudian berpotensi muncul.

Sementara itu, bila laki-laki turut melakukan pekerjaan rumah, atau bahkan melakukan lebih banyak daripada yang biasanya dilakukan, perempuan akan merasa lebih puas dan bahagia dalam pernikahan. Pembagian tugas rumah tangga yang adil dengan penerimaan dari kedua belah pihak juga mengurangi adanya risiko konflik keluarga/rumah tangga.

3. Amalia

Menurut Amalia (2018) suatu konflik yang dapat terjadi di dalam keluarga karena ketidakseimbangan yang terjadi antara ketahanan keluarga itu sendiri dean faktor ancaman dari luar.

Pasangan suami istri ketika sudah memiliki anak peran mereka akan semakin bertambah, yakni sebagai penjaga ketahanan keluarga dan melindungi keluarga dari ancaman luar. Ketahanan keluarga yang dimaksud tidak sekadar ketahanan sosial, tapi juga ketahanan fisik serta ketahanan psikologis.

Seorang perempuan setelah menikah memiliki berbagai peran di dalam keluarga, salah satunya mengelola rumah tangga, sementara laki-laki sebagai seorang suami harus menjadi pencari nafkah agar keperluan pokok keluarga terpenuhi secara maksimal.

Ketahanan fisik adalah tentang bagaimana kebutuhan dasar keluarga terpenuhi seluruhnya, baik itu soal tempat tinggal, pakaian, makanan dan minuman, hingga pendidikan anak serta kesehatan keluarga. Salah satu pihak saja tidak berperan dengan baik, maka konflik lebih mudah timbul.

Ketahanan psikologis merujuk pada memiliki temperamen rendah, tidak mudah marah, dan selalu memiliki konsep diri yang positif sehingga tidak terjadi kekerasan dalam rumah tangga (baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal).

Ketahanan psikologis adalah tentang bagaimana orang tua memiliki pengendalian diri dan emosi yang baik untuk menjadi teladan bagi anak-anaknya supaya memiliki kemampuan pengelolaan emosi yang sama baik.

Sementara itu, ketahanan sosial mengarah pada penerapan komunikasi dan interaksi antara suami dan istri dan antara orang tua dengan anak. Keluarga dengan hubungan yang sehat dan harmonis biasanya memiliki komunikasi yang baik.

Hal tersebut bukan berarti anak-anak bisa berlaku sesuka hati, sebab orang tua tetap berperan menentukan aturan serta norma di dalam rumah maupun di luar rumah. Ketahanan sosial juga merupakan sebuah fungsi yang perlu dijaga untuk sebuah keluarga bisa menghadapi berbagai masalah yang terjadi.

4. Amran Hassan dan Fatimah Yusooff

Menurut Amran Hassan dan Fatimah Yusooff (2014) konflik yang mudah terjadi ketika terdapat ketidakstabilan dalam lingkungan keluarga. Ketidakstabilan ini berkaitan dengan peran suami maupun istri sebagai orang tua yang baik namun kurang terlibat.

Amran Hassan dan Fatimah Yusooff meyakini bahwa baik ayah maupun ibu keduanya bertanggung jawan atas pembentukan diri mereka sendiri yang akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Anak-anak tumbuh kembang dengan sebagian besar waktunya di lingkungan rumah bersama dengan keluarga.

Oleh karena itu, pembentukan karakter, perilaku, hingga kondisi psikologis anak sadar atau tidak sadar akan banyak dipengaruhi oleh orang tua dan lingkungan keluarga. Seorang suami memiliki tugas untuk menafkahi keluarga, namun sebagai sosok ayah, tugas utama tidak hanya sekadar pencari materi.

Sosok ayah diperlukan dalam sebuah keluarga untuk memberikan kasih sayang secara optimal bagi anak-anaknya. Pemberian waktu dan perhatian yang cukup akan sangat berarti untuk anak-anak, terutama bermanfaat bagi perkembangan psikologis serta kehidupan sosial mereka.

Seorang istri sekaligus sebagai sosok ibu memang umumnya bertugas mengelola rumah tangga dan mengurus kebutuhan dasar anak-anak, sekalipun sang istri adalah wanita karir. Namun baik sang ibu merupakan ibu rumah tangga saja ataupun ibu yang bekerja, perannya di rumah dengan menghabiskan waktu bersama anak-anak secara cukup dapat berpengaruh baik bagi perkembangan anak.

Tak dapat dipungkiri, kedua belah pihak (ayah dan ibu) turut andil yang besar dalam menciptakan keluarga yang stabil dari berbagai sisi dan aspek. Ketidakstabilan di beberapa sisi saja bisa cukup mudah untuk memunculkan konflik rumah tangga yang berdampak ke seluruh anggota keluarga.

5. Gloria Mariska

Menurut Gloria Mariska (2014) adanya komunikasi yang berat sebelah. Salah satu kasus yang diangkat sebagai contoh adalah pertukaran peran dalam keluarga, yakni ibu bekerja dan ayah di rumah mengelola rumah tangga.

Sekalipun pada zaman sekarang sudah sangat wajar, pada dasarnya tetap sosok suami dan ayah yang seharusnya mencari nafkah. Ketika sang ibu bekerja, sang ayah mengurus rumah tangga (termasuk merawat anak-anak dan menemani mereka belajar) tanpa meninggalkan peran pentingnya sebagai pengambil keputusan dalam keluarga.

Dari pihak ibu yang bekerja, biasanya setelah pulang pun akan tetap mengurus rumah tangga. Sekalipun sibuk bekerja, sang ibu biasanya tidak lupa untuk memasak dan tetap paling banyak berkomunikasi dengan anak-anaknya karena memberikan waktu untuk kedekatan jasmani maupun rohani.

Ayah maupun ibu sama-sama memberikan waktunnya bagi anak-anak mereka, namun dari segi kedalaman dan intensitas komunikasi, ibu tetap dapat memiliki hubungan lebih erat dengan anak daripada ayah. Mengedepankan koneksi secara  fisik maupun emosional sangat baik bagi perkembangan anak.

6. Agiani, Nursetiawati, dan Muhariyati

Menurut Agiani, Nursetiawati, dan Muhariyati (2015) peran seseorang dalam keluarga yang berat sebelah atau terjadinya ketidakseimbangan peran. Terutama ketika seorang perempuan memiliki dua peran sekaligus, yakni pencari nafkah utama dan ibu rumah tangga sekalipun suami masih ada, hal ini dapat menimbulkan konflik.

Ibu yang telah bekerja penuh di luar dan di rumah seringkali tidak memperoleh penghargaan sama sekali. Sekalipun telah menunjukkan betapa kuatnya seorang perempuan yang menjadi ibu bekerja sekaligus ibu rumah tangga, perempuan tetap dianggap lemah sehingga cenderung tidak dihargai.

Bahkan ketika seorang perempuan memberikan yang terbaik untuk pemenuhan kebutuhan keluarga secara material sekaligus masih menjalankan perannya dalam pengelolaan rumah tangga, banyak orang (termasuk keluarga sendiri) berpikiran dan berkomentar bahwa seorang ibu tidak seharusnya bekerja karena tanggung jawabnya adalah mengurus rumah.

Konflik mudah terjadi dari hal-hal tersebut, terutama bila sang suami memiliki gengsi yang besar sehingga kemudian merasa rendah diri. Perpisahan dalam bentuk perceraian kerap menjadi solusi dari konflik dengan peran salah satu pasangan yang berat sebelah seperti ini.

The post 6 Teori Konflik dalam Sosiologi Keluarga appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
4 Teori Konflik dalam Sosiologi Pendidikan https://haloedukasi.com/teori-konflik-dalam-sosiologi-pendidikan Tue, 02 Jan 2024 09:44:27 +0000 https://haloedukasi.com/?p=47326 Kehidupan sosial tidak pernah bisa lepas dari adanya konflik, dan konflik pun merupakan suatu faktor yang mengarahkan sebuah situasi dan kondisi kepada perubahan. Masyarakat tentunya menginginkan keteraturan dalam hidupnya, namun selama hidup dengan manusia lain sebagai makhluk sosial tentu konflik tidak akan dapat dihindari. Dalam berbagai aspek kehidupan, eksistensi konflik sulit untuk sama sekali dicegah, […]

The post 4 Teori Konflik dalam Sosiologi Pendidikan appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Kehidupan sosial tidak pernah bisa lepas dari adanya konflik, dan konflik pun merupakan suatu faktor yang mengarahkan sebuah situasi dan kondisi kepada perubahan. Masyarakat tentunya menginginkan keteraturan dalam hidupnya, namun selama hidup dengan manusia lain sebagai makhluk sosial tentu konflik tidak akan dapat dihindari.

Dalam berbagai aspek kehidupan, eksistensi konflik sulit untuk sama sekali dicegah, dihindari maupun dihilangkan, termasuk dalam pendidikan. Pendidikan bertujuan utama meningkatkan derajat kemanusiaan manusia, namun karena adanya keterlibatan banyak orang di dalamnya, konflik mau tidak mau harus tetap dihadapi.

Dalam ilmu sosiologi yang memelajari teori konflik, berikut ini adalah teori konflik dalam sosiologi pendidikan yang dapat diperhatikan.

1. Nasrullah Nazsir

Teori konflik sosial diangkat oleh Karl Marx dan Max Weber melalui gagasan mereka bahwa konflik adalah bagian dari sistem sosial. Tidak hanya dalam sosiologi keluarga dan hukum, tapi teori konflik juga berlaku pada sosiologi pendidikan.

Dan menurut Nasrullah Nazsir (2009), teori konflik pada dasarnya mengamati bahwa konflik selalu ada dalam kehidupan manusia. Sekalipun masyarakat menginginkan kerukunan, kedamaian, ketertiban, dan keteraturan, konflik tidak dapat dicegah bagaimanapun caranya.

Teori konflik dalam sosiologi pendidikan melihat dari tatanan struktur organisasi seperti sekolah. Sekolah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan yang melibatkan banyak kepala dengan karakter dan cara pandang berbeda-beda.

Dua orang manusia saja bisa memiliki pendapat serta tujuan yang berbeda, terlebih sekolah yang di dalamnya memiliki banyak individu yang berperan, mulai dari kepala sekolah hingga bendahara dan bagian lain-lainnya. Ketika dalam satu organisasi yang masing-masing individunya memiliki pemikiran, karakter, sikap, kehendak dan karakter berbeda, konflik pasti terjadi.

Meski konflik tidak dapat dihindari, dampaknya tidak selalu mengarah pada hal-hal atau hasil yang negatif. Keberadaan konflik justru seringkali dapat juga menyebabkan perubahan yang positif, tak terkecuali dalam bidang pendidikan.

2. Elly M. Setiadi

Teori konflik dalam sosiologi yang berkaitan dengan pendidikan menurut Elly M. Setiadi (2011) juga melihat bahwa ada potensi untuk antara dua orang atau lebih mengalami benturan dalam hal pendapat, keinginan, maupun kepentingan.

Lembaga pendidikan tidak hanya dikelola oleh satu orang, sebab ada banyak individu yang membuat lembaga tersebut berjalan. Perbedaan pendapat disertai argumentasi juga merupakan bentuk konflik yang selalu ada di dalam organisasi manapun dan perselisihan seperti ini dianggap wajar.

Namun tidak selalu seringan itu, sebab konflik juga dapat menyebabkan dua pihak atau lebih terutama yang memiliki kekuatan dan kuasa untuk saling menyingkirkan dan menjatuhkan ketika terjadi ketidaksepemikiran dan ketidaksehatian.

3. Damsar

Teori konflik sosial menurut Damsar (2011) dalam kaitannya dengan pendidikan melihat sisi keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat terdiri dari banyak individu dan kelompok di mana masing-masing memiliki komponen dan kepentingannya sendiri-sendiri yang dapat berbeda satu dengan lainnya.

Masyarakat dalam kehidupan sosial bersifat dinamis karena selalu berubah-ubah dan perubahan tersebut dikarenakan adanya konflik. Ada ketegangan dalam masyarakat apabila diamati dengan cermat yang kemudian menjadi faktor peningkat risiko terjadinya konflik.

Dunia pendidikan penuh dengan banyak kepala dengan berbagai gagasan dan kepentingannya masing-masing. Antara satu dengan yang lainnya pasti ada dan bahkan mungkin kerap dijumpai yang sangat berupaya untuk menaklukkan kepentingan orang lain demi mencapai tujuannya sendiri.

4. Nasution

Teori konflik dalam sosiologi pendidikan menurut Nasution (2004) adalah melihat pendidikan sebagai pembawa perubahan untuk memahami dan mengalami arti pembebasan dari dan perlawanan terhadap kaum borjuis. Pendidikan memberi arahan dan kesadaran terhadap tidak hanya sekadar kepentingan akademis tapi juga perkembangan hubungan sosial di kalangan para siswa.

Pendidikan akademis sendiri berfokus pada disiplin ilmu pengetahuan (sosial dan sains), teknologi, serta seni. Tujuan pembelajaran tersebut adalah untuk membawa seseorang kepada posisi dan status lebih tinggi yang membedakan mereka nantinya dari kaum buruh.

Namun ketika berada di sekolah, para murid tidak hanya belajar bidang akademis saja, tapi juga mengalami pemupukan hubungan sosial (memiliki teman dan mengalami konflik). Dalam sebuah program pendidikan pun tidak jauh-jauh dari adanya golongan mayoritas dan minoritas di mana hal ini dapat menjadi faktor yang memengaruhi hubungan antara kedua golongan.

The post 4 Teori Konflik dalam Sosiologi Pendidikan appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
3 Teori Konflik dalam Sosiologi Hukum https://haloedukasi.com/teori-konflik-dalam-sosiologi-hukum Tue, 02 Jan 2024 09:39:56 +0000 https://haloedukasi.com/?p=47325 Perubahan sosial merupakan salah satu bagian kajian ilmu sosiologi di mana hal ini terkait dengan teori konflik. Teori konflik yang kemunculannya adalah pada sekitar abad ke-18 dan 19 dan mulai dikenal luas tahun 1950-1960an ini merupakan teori yang menganggap adanya serangkaian kompromi untuk mengembalikan atau memperbaiki kondisi awal dikarenakan konflik. Satu hal yang akan tetap […]

The post 3 Teori Konflik dalam Sosiologi Hukum appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Perubahan sosial merupakan salah satu bagian kajian ilmu sosiologi di mana hal ini terkait dengan teori konflik. Teori konflik yang kemunculannya adalah pada sekitar abad ke-18 dan 19 dan mulai dikenal luas tahun 1950-1960an ini merupakan teori yang menganggap adanya serangkaian kompromi untuk mengembalikan atau memperbaiki kondisi awal dikarenakan konflik.

Satu hal yang akan tetap terjadi bagaimanapun juga berbagai pihak ingin mencegahnya adalah konflik. Kehidupan sosial atau bermasyarakat rentan terhadap konflik karena masyarakat terdiri dari berbagai macam individu dengan karakter, pikiran, opini, kehendak, sikap, tindakan, dan perilaku yang berbeda-beda.

Teori konflik dalam sosiologi menunjukkan bahwa satu-satunya yang bersifat konstan adalam kehidupan masyarakat adalah konflik sosial. Sementara itu, perubahan sosial dianggap sebagai dampak atau akibat dari timbulnya konflik tersebut karena berbagai pihak mengalami pembentukan karena konflik.

Teori konflik mencakup banyak hal di dalam ilmu sosiologi, dapat berkaitan dengan keluarga, pendidikan, maupun hukum. Berikut ini adalah sederet teori konflik dalam sosiologi hukum yang dapat diketahui.

1. Karl Marx

Teori konflik dalam sosiologi hukum menurut Karl Marx adalah sistem hukum terbentuk sebagai pelindung bagi kaum elit. Konflik sosial umumnya terjadi antara orang-orang dari kaum yang berkuasa dengan orang-orang yang berasal dari kaum tertindas atau setidaknya orang-orang yang tidak memiliki kuasa.

Menurut Karl Marx, terjadi pembentukan struktur masyarakat, tradisi, hingga sistem hukum yang biasanya tidak menguntungkan secara adil bagi kedua pihak (pihak penguasa dan pihak tertindas). Alih-alih penyamarataan hak dan kesetaraan, ketiganya adalah faktor yang mendukung kaum penguasa atau kaum elit untuk lebih berkuasa dan mendominasi.

Pihak tertindas umumnya berasal dari kaum buruh atau pekerja dan cenderung merupakan kaum miskin. Ketika yang kaya dan berkuasa semakin tinggi, terutama dibalik perlindungan hukum, kesenjangan sosial semakin melebar dan konflik berupa pemberontakan berisiko terjadi.

Pemberontakan maupun bentuk lain dari konflik yang terjadi tidak akan begitu mengusik keberadaan kaum elit. Ketika sistem hukum berpihak kepada pihak yang berkuasa, maka kaum mereka akan semakin mendominasi.

2. Ralp Dahrendorf

Teori konflik dalam sosiologi hukum menurut Dahrendorf merujuk pada kelompok kepentingan menjadi fokus dan sumber dari keberadaan konflik sosial. Ketidakmerataan distribusi kekuasaan dan wewenang yang menunjukkan adanya perbedaan posisi dan wewenang antar individu di dalam masyarakat adalah utamanya.

Individu maupun kelompok yang berada di posisi bawah dan tidak tunduk terhadap aturan yang berlaku akan memperoleh sanksi. Demikian bagaimana sistem hukum bekerja, dan pihak yang berwenang atau berada di posisi atas memiliki kuasa untuk menentukan sanksi tersebut.

Menurut Dahrendorf, konflik secara hukum melibatkan dua tipe kelompok yang ia bagi menjadi dua, yakni kelompok kepentingan (Interest Group) dan kelompok semu (Quasi Group). Kelompok kepentingan merupakan kelompok dengan kekuatan karena memiliki berbagai aspek dalam pembentukannya.

Yang dimaksud dengan berbagai aspek dalam sebuah kelompok kepentingan adalah adanya organisasi dengan anggota serta struktur yang jelas. Mereka pun biasanya memiliki program serta tujuan sehingga cenderung menjadi sumber kemunculan konflik sosial.

Sementara itu, kelompok semu adalah kelompok yang terbentuk dari gabungan antar penguasa dan pejabat yang disebabkan oleh eksistensi kelompok kepentingan. Namun, bukan tidak mungkin kelompok semu kemudian terbentuk menjadi kelompok kepentingan, terutama bila penentuan pembentukan kelompok semu adalah secara struktural.

3. Jean Bodin

Teori konflik dalam sosiologi hukum menurut Jean Bodin adalah bahwa hukum dianggap sebagai bentuk kekuasaan paling tinggi. Titah kedaulatan adalah istilah yang digunakan Jean Bodin untuk menggambarkan sistem hukum.

Kedaulatan sendiri merupakan kekuasaan tertinggi dan karena alasan tersebut ada wewenang yang bersifat tidak terbatas pada kedaulatan. Kedaulatan yang juga ada dibalik hukum adat akan membuatnya mudah dianggap sah sehingga dengan kewenangan tak terbatas bisa membentuk hukum.

The post 3 Teori Konflik dalam Sosiologi Hukum appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
4 Faktor Pembeda Teori Konflik dan Teori Fungsionalisme Struktural https://haloedukasi.com/faktor-pembeda-teori-konflik-dan-teori-fungsionalisme-struktural Sat, 30 Dec 2023 06:01:22 +0000 https://haloedukasi.com/?p=47300 Sosiologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari kehidupan. Di dalam sosiologi terdapat banyak teori yang menjelaskan tentang kehidupan masyarakat. Di mana di antara teori sosiologi tersebut adalah teori konflik dan teori fungsionalisme struktural. Kedua teori kerap dianggap sama, padahal memiliki sejumlah perbedaan. Teori konflik merupakan salah satu teori sosiologi yang menilai bahwa masyarakat […]

The post 4 Faktor Pembeda Teori Konflik dan Teori Fungsionalisme Struktural appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Sosiologi merupakan salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari kehidupan. Di dalam sosiologi terdapat banyak teori yang menjelaskan tentang kehidupan masyarakat. Di mana di antara teori sosiologi tersebut adalah teori konflik dan teori fungsionalisme struktural. Kedua teori kerap dianggap sama, padahal memiliki sejumlah perbedaan.

Teori konflik merupakan salah satu teori sosiologi yang menilai bahwa masyarakat merupakan area yang dapat terjadi konflik atau pertentangan di antara kelompok sosial yang berbeda. Biasanya pertentangan ini terjadi dalam hal kekuasaan, penyebaran sumber daya serta status sosial.

Sementara itu, teori fungsionalisme struktural merupakan teori sosiologi yang memahami bagaimana sistem sosial di masyarakat saling melakukan interaksi sehingga tercapai kestabilan. Teori ini menekankan pada peranan fungsi sosial dalam menjaga ketertiban dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Keberadaan teori konflik dan fungsionalisme struktural memiliki sejumlah perbedaan yang mendasar.

Berikut ini faktor pembeda antara teori konflik dan teori fungsionalisme struktural.

1. Fokus Analisis

Pada teori konflik, memiliki fokus analisis terhadap pertentangan serta konflik yang terjadi di antara kelompok-kelompok sosial. Adanya kepentingan yang berbeda membuat munculnya konflik di antara kelompok sosial.

Selain itu, teori konflik juga menilai bagaimana peran konflik dapat membentuk struktur sosial dan perubahan di masyarakat. Keberadaan konflik di masyarakat tentunya akan mengakibatkan adanya perubahan. Misalnya seperti hubungan antar kelompok akan merenggang.

Biasanya, setelah adanya konflik, hubungan atau interaksi kelompok yang terlibat konflik akan merenggang. Hubungan yang merenggang inilah yang akan membawa perubahan pada interaksi di masyarakat.

Namun, di beberapa kasus, keberadaan konflik justru membuat hubungan semakin terjalin. Hal ini dapat terjadi jika kedua pihak yang terlibat konflik sama-sama menyadari dan sadar akan permasalahan yang terjadi. Mereka akan belajar dari kesalahan sehingga membuat hubungan keduanya menjadi lebih baik.

Berbeda dengan fokus analisis pada teori fungsionalisme struktural. Di mana teori berfokus pada upaya menjaga keseimbangan sosial serta hubungan di antara lembaga-lembaga sosial. Pada teori konflik, akan mengakibatkan adanya ketegangan.

Berbeda dengan teori fungsionalisme struktural yang berupaya untuk menjaga hubungan di tengah-tengah masyarakat. Teori fungsionalisme struktural berfokus pada pentingnya peran lembaga sosial dalam memenuhi kebutuhan serta menjaga kestabilan sosial.

Di dalam masyarakat terdapat lembaga-lembaga sosial yang memiliki peranan masing-masing. Jika peranan lembaga sosial ini berjalan dengan baik maka akan tercipta keseimbangan sosial. Keberadaan teori fungsionalisme struktural adalah untuk melihat hal tersebut.

Bagaimana lembaga sosial menjalankan perannya sehingga kebutuhan masyarakat terpenuhi dan tercipta keseimbangan. Teori fungsionalisme struktural menilai masyarakat sebagai suatu bagian yang saling terikat di mana terdapat lembaga sosial, norma dan nilai sosial.

Contoh dari keberadaan teori fungsionalisme sosial adalah lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan sebuah lembaga yang berperan untuk membagikan ilmu pengetahuan serta keterampilan.

Keberadaan lembaga pendidikan tidak hanya sebatas itu melainkan juga membantu memelihara nilai dan norma masyarakat. Hal ini dikarenakan di dalam lembaga pendidikan diajarkan untuk mengenal nilai dan norma sosial yang pada akhirnya dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Keberadaan lembaga sosial telah membantu menyiapkan individu yang baik sehingga dapat tercapai keseimbangan sosial. Meskipun begitu, kedua teori ini menganggap penting adanya struktur sosial yang membentuk masyarakat.

Kedua teori ini beranggapan bahwa setiap masyarakat memiliki struktur sosial. Di mana di dalam struktur sosial ini terdiri atas lembaga-lembaga yang saling berkaitan. Lembaga-lembaga inilah yang akan mengatur jalannya kehidupan bermasyarakat.

2. Pandangan Terhadap Ketidaksetaraan

Baik teori konflik maupun teori fungsionalisme struktural memiliki anggapan bahwa ketidaksetaraan itu ada di dalam masyarakat. Keduanya beranggapan bahwa ketidaksetaraan ini akan mengakibatkan adanya perubahan sosial serta gangguan sosial di masyarakat.

Namun, pada teori konflik beranggapan bahwa perubahan sosial ini disebabkan oleh adanya konflik antar kelompok di masyarakat. Pada teori konflik, menganggap bahwa ketidaksetaraan sosial merupakan buah dari adanya konflik kepentingan serta penyebaran yang tidak merata atas sumber daya dan kekuasaan.

Menurut teori ini keberadaan ketidaksetaraan ini dapat mengakibatkan adanya konflik di tengah-tengah. Ketidaksetaraan membuat masyarakat memberontak sehingga terjadilah konflik. Biasanya ketidaksetaraan ini berkaitan dengan status sosial.

Status sosial di masyarakat timbul karena adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya. Perbedaan inilah yang mengakibatkan adanya konflik. Misalnya konflik yang biasa terjadi di antara para pekerja dengan pemilik modal.

Para pekerja berusaha untuk mendapatkan hak-hak yang lebih baik dan memenuhi kebutuhan. Sementara itu, para pemilik modal berusaha untuk tetap mempertahankan keuntungan yang didapatkan dari kegiatan ekonomi.

Kedua kelas sosial ini memiliki kepentingan yang berbeda. Di mana di satu sisi para pekerja ingin mendapatkan hak yang sesuai, namun para pemilik modal hanya berfokus pada keuntungan. Para pemilik modal tidak memperhatikan hak-hak para pekerja sehingga para pekerja memberontak dan terjadilah konflik.

Lain halnya dengan teori fungsionalisme struktural yang menganggap bahwa ketidaksetaraan justru dibutuhkan di masyarakat. Ketidaksetaraan dianggap sebagai hal yang wajar.

Hal ini dikarenakan mereka menganggap bahwa setiap elemen yang ada di masyarakat sama-sama memiliki peranan yang penting dalam menjaga kestabilan sosial. Selain itu, teori ini juga cenderung tidak memperhatikan adanya konflik yang terjadi masyarakat sehingga beranggapan ketidaksetaraan adalah hal yang wajar.

Teori ini beranggapan bahwa elemen-elemen sosial mampu membendung semua hal-hal negatif di masyarakat. Termasuk salah satunya adalah konflik.

3. Perubahan Sosial

Pada teori konflik menganggap bahwa perubahan sosial merupakan buah dari adanya konflik dan ketegangan yang terjadi di masyarakat karena adanya perbedaan kepentingan kelompok.

Perubahan sosial ini dianggap merupakan usaha kelompok yang tidak memiliki peranan penuh untuk dapat mengubah kedudukan sosial yang telah ada. Misalnya ketika adanya konflik atau demo yang dilakukan oleh buruh, mereka menginginkan adanya perubahan.

Mereka menuntut atas kenaikan upah serta pemenuhan hak-hak para pekerja. Dengan adanya demo, mereka berharap agar keadaan yang selama ini terjadi mengalami perubahan.

Seperti adanya perubahan pada upah yang diberikan. Demo ini dilakukan sebagai upaya para buruh untuk mengubah keadaan yang tidak diharapkan. Hasilnya ketika harapan tersebut dipenuhi oleh para pemilik modal maka akan terjadi perubahan sosial.

Upah yang biasanya di bawah UMR, karena adanya demo kini menjadi setara dengan UMR. Namun, sayangnya tidak semua konflik ini mengakibatkan perubahan sosial ke arah positif. Ada pula perubahan yang mengarah ke hal-hal negatif.

Berbeda dengan teori fungsionalisme struktural yang beranggapan bahwa perubahan sosial merupakan sesuatu yang memiliki tujuan untuk menjaga keseimbangan sosial. Perubahan sosial dianggap sebagai hal yang bersifat evolusioner.

Di mana perubahan ini akan membawa pada dampak yang baik. Perubahan sosial dianggap sebagai reaksi dari adanya gangguan pada sistem sosial. Ketika sistem sosial mengalami gangguan, maka membutuhkan solusi agar sistem ini dapat bekerja seperti semula.

Terkadang untuk bisa berjalan seperti semula, dibutuhkan perubahan. Perubahan akan membuat sistem sosial berjalan seperti sebelumnya atau justru menjadi lebih baik. Misalnya pada elemen pendidikan ketika adanya covid 19 mengakibatkan kelumpuhan. Elemen pendidikan tidak bisa menjalankan tugas seperti biasanya.

Pembelajaran jarak jauh kemudian hadir menjadi solusi dari adanya gangguan. Adanya pembelajaran jarak jauh mengakibatkan adanya perubahan pada sistem belajar. Semula belajar di sekolah, namun karena covid 19 menjadi belajar di rumah. Padahal sebelumnya hal ini belum pernah terjadi.

4. Sikap terhadap Stabilitas

Teori konfik menganggap bahwa konflik merupakan suatu hal yang tidak bisa di hindari dalam kehidupan bermasyarakat. Teori ini menilai stabilitas sosial sebagai buah dari adanya kekuasaan pada kelompok yang berkuasa.

Maka dari itu, teori konflik beranggapan stabilitas sosial bisa saja bukan harapan yang diinginkan oleh banyak orang. Stabilitas sosial dianggap sebagai penenang keadaan dan untuk menghindari adanya konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, pihak yang berkuasa berusaha untuk menciptakan stabilitas sosial.

Berbeda dengan teori fungsionalisme struktural yang menganggap penting adanya stabilitas sosial. Mereka juga menilai bahwa masyarakat itu mampu menciptakan adanya keseimbangan sosial.

Elemen-elemen masyarakat terus berupaya untuk menuju pada keseimbangan. Mereka menjalankan perannya dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan tersebut. Para penganut teori ini menganggap bahwa kestabilan merupakan suatu hal penting dan harus dijaga.

Pada teori fungsionalisme struktural keberadaan stabilitas selalu dianggap sesuatu yang harus dicapai. Hal ini dikarenakan stabilitas merupakan tujuan dari teori ini. Teori fungsionalisme struktural selalu berusaha untuk menjaga kestabilan di masyarakat.

Mereka mengabaikan fakta bahwa konflik bisa saja terjadi di masyarakat. Padahal konflik merupakan hal yang wajar dan dapat terjadi di masyarakat. Kapan saja konflik bisa terjadi karena masyarakat terdiri dari individu yang komplek dan memiliki banyak perbedaan.

Hal ini berbeda dengan teori konflik yang tidak menganggap bahwa stabilitas merupakan sesuatu yang harus. Sebab, mereka berpatokan pada konflik akan selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Keberadaan konflik tidak bisa dipisahkan dari masyarakat.

Sebab, konflik berangkat dari perbedaan kepentingan antar kelompok. Oleh karena itu, stabilitas sosial bukan merupakan tujuan yang harus dicapai. Teori konflik memiliki peranan untuk membentuk tatanan sosial serta perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.

Berdasarkan teori konflik, masyarakat dianggap sebagai sekumpulan orang yang memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda. Perbedaan kepentingan inilah yang kemudian dapat memunculkan konflik.

The post 4 Faktor Pembeda Teori Konflik dan Teori Fungsionalisme Struktural appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Macam Teori Konflik Menurut Ahli dan Contohnya https://haloedukasi.com/macam-teori-konflik-menurut-ahli Sat, 16 Dec 2023 03:09:38 +0000 https://haloedukasi.com/?p=47082 Di dalam suatu masyarakat, agar hidup dapat tetap harmonis antara satu dengan lainnya baik antar individu maupun kelompok perlu adanya toleransi. Terdapat banyak kepala dengan isi pikiran, tujuan, impian, pendapat, maupun karakter yang berbeda-beda dalam masyarakat. Untuk menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera, menjaga hubungan sosial melalui adanya keteraturan sosial sangat penting adanya. Meski demikian, […]

The post Macam Teori Konflik Menurut Ahli dan Contohnya appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>
Di dalam suatu masyarakat, agar hidup dapat tetap harmonis antara satu dengan lainnya baik antar individu maupun kelompok perlu adanya toleransi. Terdapat banyak kepala dengan isi pikiran, tujuan, impian, pendapat, maupun karakter yang berbeda-beda dalam masyarakat.

Untuk menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera, menjaga hubungan sosial melalui adanya keteraturan sosial sangat penting adanya. Meski demikian, bukan berarti masyarakat dapat menghindari konflik sama sekali karena konflik pun masih termasuk di dalam ilmu sosiologi.

Wajar jika setiap manusia maupun kelompok dalam sebuah masyarakat memiliki perspektif tentang suatu hal yang berbeda-beda. Namun ketika konflik terjadi, hal ini bisa memengaruhi hubungan sosial ke arah yang positif atau justru berakibat pada hal-hal negatif.

Ilmu sosiologi memelajari teori konflik (conflict theory), yakni sebuah kajian yang berawal dari adanya pertentangan antara individu atau kelompok masyarakat. Teori konflik juga adalah sebuah ungkapan pendapat bahwa penyesuaian individu atau kelompok terhadap nilai sosial maupun budaya.

Bukan penyebab atau alasan timbulnya perubahan lingkungan sosial menurut penelitian Tualeka berjudul “Teori Konflik Sosiologi Klasik dan Modern”. Konflik dapat terjadi pada bentuk kelas sosial manapun, hanya saja umumnya berkaitan dengan kelompok penguasa dan kelompok tertindas.

Teori konflik sendiri terdiri dari beberapa macam menurut ahlinya dan berikut ini adalah penjelasan teori tersebut beserta contoh-contohnya.

1. Karl Marx

Karl Heinrich Marx atau dikenal dengan Karl Marx tidak hanya merupakan seorang sosiolog, tapi juga jurnalis, filsuf, ekonom, sosialis revolusioner, dan sejarawan yang berasal dari Jerman. Dan teori konflik menurut dirinya adalah sebuah bentuk pertentangan atau pertikaran yang timbul antar kelas sosial di tengah masyarakat.

Teori konflik pertama kali tercetus oleh sosok Karl Marx dalam ilmu sosiologi dan menurutnya, konflik terpicu oleh tujuan dari individu atau kelompok masyarakat yang ingin menghilangkan kelas-kelas sosial. Seperti halnya kita hidup bersosial, kelas sosial akan selalu ada, menunjukkan siapa kaya dan berkuasa dan siapa yang berada di bawahnya untuk didominasi karena lemah dan miskin.

Terdapat kelas atas, kelas menengah, hingga kelas bahwa di dalam hidup bermasyarakat yang tidak akan selalu bisa terhindarkan dari berbagai macam konflik. Konflik yang terjadi pun memengaruhi perubahan sosial yang biasanya dipicu oleh ketimpangan atau kesenjangan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, contoh teori konflik Karl Marx dapat dijumpai pada kehidupan rumah tangga orang kaya yang memiliki ART (asisten rumah tangga) atau buruh dan majikannya. ART dan buruh adalah posisi kelas bawah yang akan selalu harus mematuhi perintah majikan-majikannya.

Walau tampak seimbang dan memiliki hubungan yang baik-baik saja selama para majikan memperlakukan bawahannya dengan baik, konflik tentu tidak dapat terhindarkan. Entah itu karena tekanan pekerjaan hingga gaji yang terlalu kecil akan selalu bisa menjadi alasan timbulnya konflik.

Dan walaupun para bawahan mematuhi perintah sang majikan, keharmonisan belum tentu tercipta. Ini karena setiap bawahan (baik ART maupun buruh) dapat memiliki keinginan untuk berada di posisi sang majikan dan keinginan untuk menjadi kelas atas dalam kehidupan sosial.

2. Max Weber

Maximilian Karl Emil Weber atau lebih dikenal dengan Max Weber merupakan sosok sosiolog yang juga berprofesi sebagai seorang geografer, ahli politik dan ekonom dari Jerman. Pada teori konflik Max Weber, masyarakat yang bergerak secara dinamis otomatis akan selalu timbul konflik di dalamnya.

Sosok penemu atau pendiri awal Ilmu Sosiologi dan Administrasi negara modern ini juga berteori bahwa konflik dapat mengarahkan masyarakat kepada suatu hasil yang positif alih-alih negatif. Menurut Max Weber, konflik ada untuk menjadi pemupuk persatuan pada masyarakat sehingga terjadi perubahan sosial yang lebih baik.

Karena meyakini bahwa konflik membawa hal positif dan bahkan persatuan bagi masyarakat, contoh teori konflik Max Weber di sekitar kita adalah antara adanya pengangguran dan lapangan kerja. Masyarakat kita terbagi menjadi kelas sosial atas dan kelas sosial bawah dan para pengangguran dapat berada di kelas sosial bawah.

Ketika dalam suatu negara atau wilayah angka penganggurannya tinggi, maka biasanya angka kriminalitas pun ikut meningkat. Sebagai solusi untu mengarah pada perubahan sosial yang baik, para kelas sosial atas membuka lapangan pekerjaan bagi para pengangguran.

Adanya lapangan pekerjaan yang cukup dapat mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Ketika jumlah pengangguran berkurang, hal ini berdampak positif bagi masyarakat karena angka kriminalitas juga ikut menurun.

3. Lewis A. Coser

Lewis Alfred Coser merupakan seorang sosiolog yang berasal dari Jerman kelahiran 27 November 1913. Teori konflik menurutnya juga dianggap sebagai hal positif, hanya jika segala konflik dalam masyarakat ini berhasil dikelola dengan baik.

Menurut Coser, pada individu atau kelompok tertentu akan mencoba memperkuat posisinya masing-masing ketika konflik timbul dalam sebuah kelompok. Dari adanya reaksi dalam hubungan sosial ini, konflik tidak selalu mengarah pada akibat penuh risiko dan hal negatif.

Teori konflik Lewis A. Coser menunjukkan bahwa konflik memiliki fungsi atau manfaat positif yang akan menimbulkan persatuan dan pertahanan sistem sosial. Namun, masyarakat harus tahu bagaimana mengelola konflik dan berbagai proses komprominya dengan benar demi perubahan yang baik.

Contoh teori konflik Lewis A. Coser dapat merujuk pada konflik yang terjadi pada bidang politik. Ketika terjadi konflik dalam kelompok, maka kemudian sebagai reaksi umum masing-masing pihak berkonflik akan memperkuat posisi kekuasaannya.

Dalam proses mempertahankan sistem sosial dan persatuan masyarakat, perebutan kekuasaan pada kehidupan politik selalu terjadi. Dan masalahnya, politik dalam pemerintahan tak jarang mengalami konflik yang pada akhirnya melebar sampai ke berbagai aspek kehidupan lain.

4. Ralf Dahrendorf

Ralf Dahrendorf tidak hanya dikenal sebagai seorang sosiolog, tapi juga sosok politikus liberal, filsuf, serta ilmuwan politik Jerman-Britania. Teori konflik menurutnya adalah pertentangan yang terjadi karena relasi sosial dalam suatu lingkungan masyarakat.

Konflik juga terjadi tak jauh-jauh dari permasalahan antar kelas di tengah masyarakat yang kemudian menghasilkan perubahan sosial entah positif ataupun negatif. Konflik juga adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup masyarakat karena sebagaimanapun ingin mencegah, konflik tetap bisa timbul sewaktu-waktu.

Contoh nyata teori konflik Ralf Dahrendorf adalah kesenjangan sosial yang terjadi antara si kaya dan si miskin. Seberapapun upaya orang miskin untuk menjadi kaya, termasuk dengan menjadi kriminal, orang-orang yang sudah kaya pun terus mempertahankan dan sebisa mungkin meningkatkan kekayaan dan kekuasaannya.

Konflik karena faktor ekonomi seperti ini tidak akan pernah selesai karena di belahan bumi mana saja pasti tetap ada kelas bawah dan kelas atas. Meski demikian, tidak semua orang miskin akan tetap gagal menjadi kaya dan tidak semua orang kaya tetap bisa berhasil mempertahankan kekayaannya.

5. Bernard Raho

Bernardus Raho atau Bernard Raho adalah sosok sosiolog asal Indonesia yang juga memiliki teori konfliknya sendiri. Menurutnya, konflik terjadi dalam kehidupan sosial karena kegagalan antar individu atau kelompok untuk berkompromi satu sama lain.

Kegagalan dalam berkompromi ini kemudian menyebabkan terjadinya perubahan sosial, baik dalam bentuk positif atau negatif. Jadi kesimpulannya, konflik yang ada menjadi penyebab perubahan sosial dan bukan karena ketidakmampuan manusia dalam beradaptasi di sebuah lingkungan masyarakat.

Contoh yang bisa diambil dari teori konflik Bernard Raho adalah konflik antara atasan dan bawahan dalam sebuah perusahaan. Pekerjaan yang semakin menumpuk dan seorang karyawan yang harus bekerja merangkap ini dan itu ditambah dengan adanya waktu lembur tanpa kenaikan gaji adalah suatu permisalan nyata.

Seorang karyawan bukan tidak mampu beradaptasi di lingkungan pekerjaannya dan terhadap tugas-tugas yang harus diselesaikan, namun konflik terjadi lebih kepada karena penghargaan yang tidak sesuai dengan kerja kerasnya. Walau rata-rata akan mengundurkan diri, kompromi bisa dilakukan antara karyawan dan atasannya.

Tak sedikit atasan yang melalui kompromi lalu memperbaiki sistem kerja, mencari solusi untuk durasi kerja, atau memutuskan menaikkan gaji bawahannya demi memperoleh hasil terbaik bagi kedua belah pihak.

6. Georg Simmel

Georg Simmel adalah seorang filsuf dan sosiolog asal Jerman dan juga sosok pionir yang membuat sosiologi menjadi cabang ilmu sendiri seperti sekarang. Sosiologi menurutnya adalah ilmu kemasyarakatan yang abstrak dan konflik menurutnya adalah unsur paling penting dalam kehidupan sosial.

Konflik menurut Georg Simmel adalah salah satu dampak dari interaksi sosial ketika disintegrasi sosial terjadi dan adanya kompromi atau musyawarah tidak menghasilkan mufakat. Namun, konflik juga dapat menjadi dampak dari interaksi sosial melalui adanya kompromi ketika terjadi integrasi sosial jika kompromi berhasil maka hal ini menyebabkan perubahan sosial positif.

Contoh teori konflik menurut Georg Simmel yang bisa dijumpai di kehidupan kita adalah kesediaan dan keengganan menerima budaya berbeda atau budaya baru. Baik budaya lokal maupun luar akan selalu ada yang berbeda, terutama hidup sebagai warga negara Indonesia dengan keragaman budayanya.

Namun, tidak semua individu atau kelompok mampu bersikap dan berpikiran terbuka pada suatu hal yang dianggap berbeda, asing, atau baru. Penerimaan maupun ketidakterimaan adalah bentuk kompromi yang menyebabkan perubahan sosial entah itu positif atau negatif ke depannya.

The post Macam Teori Konflik Menurut Ahli dan Contohnya appeared first on HaloEdukasi.com.

]]>