Kalimat asosiasi merupakan kalimat menggunakan ungkapan untuk menunjukan atau membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda namun sengaja dianggap sama. Kalimat asosiasi juga disebut sebagai kalimat perumpamaan.
Ciri-ciri kalimat asosiasi:
Contoh kalimat asosiasi dalam cerpen yaitu:
Tukang Pijit Keliling
Karya Sulung Pamanggih
Sebenarnya tidak ada keistimewaan khusus mengenai keahlian Darko dalam memijat. Standar tukang pijat pada layaknya. Namun, keramahannya yang mengalir menambah daya pikat tersendiri.
Entah darimana asalnya, tiada seorang warga pun yang tahu. Tiba-tiba saja datang ke kampung kami dengan pakaian tampak lusuh. Dia menawarkan pijatan dari rumah ke rumah. Kami melihat mata yang bagai selalu ingin memejam, hanya selapis putih yang terlihat.
Kami pun penasaran ingin merasakan pijatannya. Maklum, tak ada tukang pijat di kampung kami, apalagi yang keliling. Kami harus menuju ke dukun pijat di kampung sebelah bila ingin merasakan pijatan yang sungguh-sungguh atau mengurut tangan kaki kami yang terkilir.
Hampir kebanyakan warga di kampung kami ini adalah buruh tani. Hanya beberapa orang yang memiliki sawah, dapat dihitung dengan ingatan. Setiap hari kami harus menumpahkan tenaga di ladang. Dapat dibayangkan keletihan kami bila malam menjelang. Tentulah kehadiran Darko membuat kampung kami lebih menggeliat, makin bergairah.
Setiap malam, dengan membawa minyak urut, dia menyusur dari gang ke gang kampung guna menjemput pelanggan. Kakinya bagai digerakkan tanah, dia begitu saja melangkah tanpa bantuan tongkat. Tidak pernah menabrak pohon atau jatuh ke sungai. Memang, tangannya kerap meraba-raba udara ketika melangkah, seperti sedang menatap keadaan. Barangkali penglihatan Darko terletak di telapak tangannya.
Dia akan berhenti ketika seseorang memanggilnya. Melayani pelanggannya dengan tulus dan sama rata, tanpa pernah memandang suatu apa pun. Kami menikmati bagaimana tangannya menekan lembut tiap jengkal tubuh kami. Kami merasakan urat syaraf kami yang perlahan melepaskan kepenatan bagai menemukan kesegaran baru setelah seharian ditimpa kelelahan. Pantaslah bila terkadang ada pelanggan yang tertidur saat sedang dipijat.
***
Pak Lurah akan mengorbankan tanah masjid dan sekitarnya ini kepada orang kota untuk sebuah proyek pasar masuk kampung. Tentu saja merupakan tempat yang strategis daripada di pelosok permukiman, harus melewati gang yang meliuk- liuk dan becek seperti garis nasib kami.
Di saat seperti itu kami justru teringat Darko. Ucapannya terngiang kembali, mengendap ke telinga kami bagai datang dari keterasingan yang kelam. Kami mulai bertanya-tanya. Adakah Darko memang sudah mengetahui segala yang akan terjadi?
***
Siang hari. Darko selalu duduk berlama-lama di celah gundukan-gundukan tanah yang berjajar. Seperti sedang merasakan udara yang semilir di bawah pohon-pohon tua. Menangkap suara burung-burung yang melengking di kejauhan. Menikmati aroma semak-semak. Mulutnya bergerak, seperti sedang merapalkan doa. Mungkin dia mendoakan mereka yang di alam kubur sana.
***
Kini hampir setiap malam selalu saja ada yang membutuhkan jasanya. Para perempuan, yang biasanya lebih menyukai pijatan suami, mulai menunggu giliran. Entah karena memang butuh mengendorkan otot yang tegang atau sekadar ingin mengetahui ramalannya. Mungkin dua-duanya. Begitulah, dengan sangat berkobar-kobar kami menceritakan ramalan masing-masing. Setiap lamunan kami habiskan untuk berharap. Menunggu dengan keyakinan mengucur seperti curah keringat kami yang terus menetes sepanjang hari.
Kejelian Darko dalam meramal semakin diyakini orang- orang kampung. Ketepatannya membaca nasib seperti seorang petani memahami gerak musim-musim. Pak Lurah pun merasa terusik mendengar kabar yang dari hari ke hari semakin meluap itu.
Malam itu diam-diam Pak Lurah memanggil Darko ke rumahnya. Seusai dipijat, dengan suara penuh wibawa ia meminta diramalkannya nomer togel yang akan keluar besok malam. Seperti biasa, Darko hanya menggeleng sambil tersenyum. Namun Pak Lurah terus mendesak, bahkan sedikit memohon.
***
Orang-orang kampung kini mulai gelisah. Sudah dua malam kami tidak menjumpai Darko keliling kampung. Kami hanya bisa menduga dengan kemungkinan-kemungkinan. Pak Lurah mengumpulkan beberapa warga terutama yang lelaki guna memindahkan perlengkapan penguburan ke tengah permukiman. Sesampainya di sana, kami tetap tidak menjumpai Darko. Di gubuk itu, kami tidak juga menemukan jejak peninggalannya.
Cerpen “Love In Apple”
Karya Nurillaiyah
Dua buah apel yang ada di atas meja baru saja terbang ke dalam tas sekolahku. Lima buku yang tersampul rapi dan beberapa peralatan sekolah menjadi penghuni tas yang masih berlabel itu. Semua sudah siap. Sekolah baru saja memasuki musim tahun ajaran baru. Dan sekarang aku baru saja resmi menjadi salah satu murid SMA.
Aku menatap sepatu yang sedang ku pakai. Sekarang terlihat jelas jika sepatu kananku ganjil. Benar juga apa yang dikatakan kakakku. Aku salah pakai sepatu. Dan sekarang tatapan sinis tertangkap kedua mataku. Menyebarkan rasa ngeri di udara. Aku melepaskan sepatunya. Tiba-tiba cowok jangkung itu berdiri di depanku. Sekarang aku bagaikan seekor semut yang tertelan oleh tingginya pohon.
—
Sepasang kaki ini melangkah menuju perpustakaan. Arah yang paling sepi saat jam istirahat. Semua perhatian dan kerumunan pastinya berpusat ke arah kantin besar yang ada di bagian selatan. Earphone yang menghiasi telingaku mendengungkan lagu-lagu yang ku suka. Dan aku sangat menikmatinya.
Langkah kelimaku sesosok tubuh menghalangi jalanku. Aku pun membuka mataku. Dua mata cokelat menatapku tajam. Mengisyaratkan tatapan tidak suka. Suasana membeku sejenak. Aku tidak mampu bergeming dari tempatku semula.
“Maaf Kak,” kataku berusaha berlalu. Bukannya meninggalkan aku yang mematung. Kakak kelas dua itu hanya diam tanpa kata. Cowok itu hanya tetap menatapku aneh. Rasanya seperti ada ribuan tusukan jarum yang menyerangku langsung mengarah ke mataku. Ku ambil inisiatif langkah pertama menghindarinya. Namun bukannya berlalu dia justru menghadangku.
Aku mundur satu langkah. Cowok itu tiba-tiba maju satu langkah tepat di depanku. Tangannya terangkat tepat di samping tubuhnya. Lalu dengan tiba-tiba melepas earphone di telingaku dengan sedikit paksaan.
—
Apel bertengger manis di atas meja. Apel merah buah kesukaanku. Entah siapa yang meletakkannya. Di bawahnya ada sebuah note kecil. Tulisan rapi yang merangkai beberapa kata-kata manis. Ya begitulah kelihatannya. Tertulis dengan manis. “Cie.. dari siapa Li?” tanya Riza padaku.
—
MOS hari pertama sudah berakhir. Kiriman-kiriman apel datang setiap pagi. Di jam yang sama dan selalu tepat waktu. Tapi sayangnya aku nggak pernah tahu siapa pengirimnya. Apel yang rasanya asem-asem manis itu seperti buah racun. Meracuniku untuk bertanya. Siapa sih yang ngirim? Handphone-ku bergetar dengan hebatnya. Satu SMS kosong diterima. SMS dengan nomor asing tak bernama yang menyambangi kotak masuk. Bukan hanya satu. Tapi di susul SMS dari nomor yang sama tanpa tulisan yang berarti. Lebih dari dua puluh. Rasa jengkel menyambangiku. Siapa sih yang iseng ini! Akhirnya ku tekan call untuk nomor itu. Aku sangat penasaran siapa pelaku di balik semua hal ini.
—
Hari terakhir penutupan MOS. Akhirnya hari ini selesai juga. Rasanya sebentar lagi upik abu ini akan bebas. Duh.. senangnya. Akhirnya akan jadi siswa yang beneran.
Cerpen “Rain”
Karya Nurillaiyah
“Jika dia tidak datang ke dalam hidupku, mungkin hidupku akan gersang seperti ladang tandus musim panas. Bercelah dengan luka-luka yang menganga”
Aku mengenalnya selama beberapa lama sebelum akhirnya keluargaku pindah dari Vancouver. Selama beberapa lama aku kehilangan kontak dengannya. Hingga akhirnya aku kembali bertemu dengannya setelah lebih dari sepuluh tahun kami terpisah.
Dulu, Ane kecil adalah orang yang ceria dengan tawa renyahnya yang tak kalah cantik dengan Agustin. Dua gadis kembar itu merupakan teman yang sangat baik. Untukku, mereka adalah tipe sahabat yang tak bisa diam dan selalu punya hal menarik.
Tapi setelah bertemu Ane dewasa aku sama sekali tak bisa mengenalinya. Dia menjadi sosok yang tertutup. Menjadi perempuan pendiam yang punya begitu banyak rahasia yang tak bisa aku tebak. Begitu rapat menyembunyikan keadaan dan perasaanya yang sebenarnya.
Aku duduk di bawah pohon yang mulai merangas bersama Ane. Wajah perempuan itu membulat, tubuhnya lebih baik setelah beberapa lama. Sekarang dia terlihat seperti perempuan normal yang sedang mengandung.
Ane menggenggam tanganku. Tangan mungilnya begitu dingin di musim yang hangat ini. Dingin seperti salju musim dingin meskipun kami sedang berada di pertengahan musim kering yang sangat panas. Cuaca tidak merubah dia.
—
Musim panas itu sudah berlalu, musim panas keduaku yang menjadi kenangan buruk untukku. Setelah pindah. Bukan kenangan baik yang bisa aku simpan. Satu hal yang selalu membuatku terluka terjadi saat itu. Hal yang tak pernah terlintas di kepalaku dan membuatku terguncang hebat. Memisahkan jiwaku.
“Dan.. kami akan berpisah. Siapa yang akan kau ikuti?” tanya ibuku.
Pernyataan itu seperti petir siang bolong yang menyambarku keras. Aku tidak pernah menyangka hal ini akan terjadi padaku. Selama ini yang aku tau, semuanya berjalan dengan baik-baik saja. mereka hidup dengan nyaman dan bahagia. Kami masih tertawa bersama dan bergurau bersama seperti biasa.
Dua orang di hadapanku saling menatap. Aku sungguh ingin mereka tetap bersama, bersama dengangku hingga aku dewasa bersama-sama. Tapi ekpresi mereka sama sekali tak sependapat.
Ibuku menghela napasnya. “Maafkan kami, Dan. Kami tidak bisa bersama lagi.”
Tepat hari itu, rasanya memang berat. Hari itu.. sebagian jiwaku retak seperti lahan persawahan. Sebagian jiwaku terpisah. Ibuku pergi dengan pilihannya, ayahku pergi dengan kehendaknya. Mereka meninggalkanku sendirian, mereka meninggalkanku yang memilih tidak memilih diantara mereka.
—
Di ujung musim kemarau, aku kehilangan dia. Dia meninggalkanku, meninggalkan Rain. Dia meninggalkan kami dan tidur dengan damai. Ini semua masih seperti mimpi buruk di siang menyengat yang tidak bisa dipercaya. Meski sebulan berlalu. Dia meninggalkan kenangan yang masih bisa terasa, meskipun ritik hujan sudah mulai menyapa. Kenangan bersamanya masih ada.
“Rain.. Terima kasih sudah hadir di dalam hidupku. Dan menjadi hujanku.