Pada pembahasan kali ini kita akan membahas mengenai hak guna usaha, berikut pembahasannya.
Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, hak guna usaha adalah:
Sesuai dengan penjelasan di atas dan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996, maka hak guna usaha dibatasi hanya untuk tanah yang bukan miliknya sendiri untuk usaha pertanian, perikanan dan peternakan.
Adapun alas hak dari hak guna usaha itu adalah merupakan surat keputusan pemberian Hak Guna Usaha oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Berdasarkan kesesuaian Pasal 28 ayat 3 yang mengatur tentang peralihan hak guna usaha, maka peralihannya dapat terjadi dengan cara:
Peralihan hak guna usaha ini harus didaftarkan di Kantor Pertanahan dengan suatu akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan ketentuan apabila ia merupakan lelang maka harus menyertakan suatu berita acara lelang begitupun dengan pewarisan yang harus disertakan dengan surat keterangan waris.
Untuk waktu atau periode dari HGU itu adalah paling lama 25 tahun. Jika perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama maka dapat diberikan waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat 1, 2, 3).
Sementara untuk pemegang hak atau yang dapat diberikan HGU tetap menggunakan prinsip nasionalitas, yaitu warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum di Indonesia.
Hapusnya suatu HGU dapat terjadi, karena:
PT. Angin Ribut merupakan perusahaan bidang perkebunan sawit yang berada di daerah Sidorejo yang telah berdiri dan memiliki ijin Hak Guna Usaha sejak tahun 1995.
Dikarenakan perusahaan ini menelantarkan tanah tersebut selama beberapa tahun, maka para warga sekitar Sidorejo memanfaatkan lahan tersebut untuk beternak.
Pada tahun 2014, pihak perusahaan tersebut mengklaim bahwa tanah tersebut merupakan HGU dari PT. Angin Ribut dan segera melakukan penggusuran terhadap warga sekitar.
Karena adanya penggusuran tersebut, masyarakat melakukan aksi demonstrasi dengan harapan pemerintah daerah dapat memberikan jalan keluarnya. Masyarakat juga mendesak pemerintah untuk segera mencabut ijin HGU atas perusahaan tersebut dengan alasan penelantaran tanah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa yang merujuk pada cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau non litigasi yang dapat digunakan dalam sengketa agraria juga. Adapun cara yang dapat digunakan adalah dengan cara konsultasi, konsiliasi, mediasi, negosiasi dan penilaian ahli.
Adapun langkah penyelesaian sengketa yang diambil oleh pemerintah daerah setempat adalah mengajak/melakukan negosiasi dengan para warga maupun dengan pihak perusahaan terkait untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki peran sebagai pihak penengah dalam mengatasi bidang agraria yang menghasilkan win-win solutions.