Saksi Mata
Oleh : Seno Gumira Ajidarma
Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba udara. Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus menerus dari lobang mata itu.
Darah membasahi pipinya membasahi bajunya membasahi celananya, membasahi sepatunya dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dengan karbol yang baunya bahkan masih tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan penuh gairah segera memotret Saksi Mata itu dari segala sudut sampai menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkeredap membuat suasana makin panas.
“Terlalu!”
“Edan!”
“Sadis!”
Bapak Hakim Yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk-ngetukkan palunya. dengan sisa wibawa yang masih ada ia mencoba menenangkan keadaan.
“Tenang saudara-saudara! Tenang! Siapa yang mengganggu jalannya pengadilan akan saya usir keluar ruangan!”
Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka juga ingin segera tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi.
“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Di manakah mata saudara?”
“Diambil orang Pak.”
“Diambil?”
“Saya Pak.”
“Maksudnya dioperasi?”
“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”
“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”
“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.” (masakan khas Surakarta sop tulang belulang kambing-red)
“Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?”
“Yang mengambil mata saya Pak.”
“Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?”
“Dia tidak bilang siapa namanya Pak.”
“Saudara tidak tanya bego?”
“Tidak Pak.”
“Dengar baik-baik bego, maksud saya seperti apa rupa orang itu? Sebelum mata saudara diambil dengan sendok yang katanya untuk dibuat tengkleng atau campuran sop kambing barangkali, mata saudara masih ada di tempatnya kan?”
“Saya Pak.”
“Jadi saudara melihat seperti apa orangnya kan?”
“Saya Pak.”
“Coba ceritakan apa yang dilihat mata saudara yang sekarang sudah dimakan para penggemar tengkleng itu.”
Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung di ruang pengadilan menahan napas.
“Ada beberapa orang Pak.”
“Berapa?”
“Lima Pak.”
“Seperti apa mereka?”
“Saya tidak sempat meneliti Pak, habis mata saya keburu diambil sih.”
“Masih ingat pakaiannya barangkali?”
“Yang jelas mereka berseragam Pak.”
Ruang pengadilan jadi riuh kembali seperti dengungan seribu lebah.
***
Hakim mengetuk-ngetukkan palunya. Suara lebah menghilang.
“Seragam tentara maksudnya?”
“Bukan Pak.”
“Polisi?”
“Bukan juga Pak.”
“Hansip barangkali?”
“Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.”
“Mukanya ditutupi?”
“Iya Pak, cuma kelihatan matanya.”
“Aaaah, saya tahu! Ninja kan?”
“Nah, itu ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!”
Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi. Lagi-lagi Bapak Hakim Yang Mulia mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya orang banyak itu menjadi tenang.
Darah masih menetes-netes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.
Tapi orang-orang tidak melihatnya.
“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Ngomong-ngomong, kenapa saudara diam saja ketika mata saudara diambil dengan sendok?”
“Mereka berlima Pak.”
“Saudara kan bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja di dekat saudara atau ngapain kek supaya tetangga mendengar dan menolong saudara. Rumah saudara kan di gang kumuh, orang berbisik di sebelah rumah saja kedengaran, tapi kenapa saudara diam saja?”
“Habis terjadinya dalam mimpi sih Pak.”
Orang-orang tertawa. Hakim mengetuk lagi dengan marah.
“Coba tenang sedikit! Ini ruang pengadilan, bukan Srimulat!”
***
Ruang pengadilan itu terasa sumpek. Orang-orang berkeringat, namun mereka tak mau beranjak. Darah di halaman mengalir sampai ke tempat parkir. Hakim meneruskan pertanyaannya.
“Saudara Saksi Mata tadi mengatakan terjadi di dalam mimpi. Apakah maksud saudara kejadiannya begini cepat seperti dalam mimpi?”
“Bukan Pak, bukan seperti mimpi, tapi memang terjadinya dalam mimpi, itu sebabnya saya diam saja ketika mereka mau menyendok mata saya.”
“Saudara serius? Jangan main-main ya, nanti saudara harus mengucapkannya di bawah sumpah.”
“Sungguh mati saya serius Pak, saya diam saja karena saya pikir toh terjadinya cuma dalam mimpi ini. Saya malah ketawa-ketawa waktu mereka bilang mau dibikin tengkleng.”
“Jadi, menurut saudara Saksi Mata segenap pengambilan mata itu hanya terjadi dalam mimpi?”
“Bukan hanya menurut saya Pak, memang terjadinya di dalam mimpi.”
“Saudara kan bisa saja gila.”
“Lho ini bisa dibuktikan Pak, banyak saksi mata yang tahu kalau sepanjang malam saya cuma tidur Pak, dan selama tidur tidak ada orang mengganggu saya Pak.”
“Jadi terjadinya pasti di dalam mimpi ya?”
“Saya Pak.”
“Tapi waktu terbangun mata saudara sudah tidak ada?”
“Betul Pak. Itu yang saya bingung. Kejadiannya di dalam mimpi tapi waktu bangun kok ternyata betul-betul ya?”
Hakim menggeleng-gelengkan kepala tidak bisa mengerti.
“Absurd,” gumamnya.
Darah yang mengalir telah sampai ke jalan raya.
***
Apakah Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi masih bisa bersaksi? Tentu masih bisa, pikir Bapak Hakim Yang Mulia, bukankah ingatannya tidak ikut terbawa oleh matanya?
“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Apakah saudara masih bisa bersaksi?”
“Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.”
“Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah tidak bermata lagi?”
“Saya Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana pembantaian itu terjadi?”
“Saya Pak.”
“Saudara masih ingat bagaimana darah mengalir, orang mengerang dan mereka yang masih setengah mati ditusuk dengan pisau sampai mati?”
“Saya Pak.”
“Ingatlah semua itu baik-baik, karena meskipun banyak saksi mata, tidak ada satupun yang bersedia menjadi saksi di pengadilan kecuali saudara.”
“Saya Pak.”
“Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?”
“Saya Pak.”
“Kenapa?”
“Demi keadilan dan kebenaran Pak.”
Ruang pengadilan jadi gemuruh. Semua orang bertepuk tangan, termasuk Jaksa dan Pembela. Banyak yang bersorak-sorak. Beberapa orang mulai meneriakkan yel.
Bapak Hakim Yang Mulia segera mengetukkan palu wasiatnya.
“Hussss! Jangan kampanye di sini!” Ia berkata dengan tegas.
“Sidang hari ini ditunda, dimulai lagi besok untuk mendengar kesaksian saudara Saksi mata yang sudah tidak punya mata lagi!”
Dengan sisa semangat, sekali lagi ia ketukkan palu, namun palu itu patah. Orang-orang tertawa. Para wartawan, yang terpaksa menulis berita kecil karena tidak kuasa menulis berita besar, cepat-cepat memotretnya. Klik-klik-klik-klik-klik! Bapak Hakim Yang Mulia diabadikan sedang memegang palu yang patah.
***
Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim Yang Mulia berkata pada sopirnya,“Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?”
Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat, “Keadilan tidak buta.” * Namun Bapak Hakim Yang Mulia telah tertidur dalam kemacetan jalan yang menjengkelkan.
Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus menerus sepanjang jalan raya samapi kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada seorang pun melihatnya. Ketika hari sudah menjadi malam, saksi mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.
Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam Ninja mencabut lidahnya–kali ini menggunakan catut.
Jakarta, 4 Maret 1992
Saksi Mata adalah salah satu cerpen dari beberapa cerpen yang ada dalam kumpulan cerpen “Saksi Mata” karya Seno Gumira Ajidarma. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada tahun 1994. Cerpen Saksi Mata ditulis oleh Seno Gumira berdasarkan keterangan para korban dan saksi mata atas Insiden Dili, yang terjadi pada tanggal 12 November 1991 di Timor Timur.
Cerpen Saksi Mata merupakan sebuah cerpen yang mengangkat tema kriminalitas politik, yakni tentang insiden yang terjadi di Dili pada tahun 1991 silam. Cerpen yang merupakan bentuk “protes” atas ketidakadilan dan penindasan dari otoritas berkuasa kepada mereka yang tidak berdaya.
Kisah dalam cerpen Saksi Mata diceritakan dengan alur maju. Yaitu dimulai dari kehadiran tokoh saksi mata di persidangan dan diikuti dengan jalannya sidang yang berisi tanya jawab antara hakim dengan saksi mata.
Di tengah cerita digambarkan juga keadaan dimana darah dari mata tokoh saksi mata mengalir memenuhi lantai sidang, bahkan meluber hingga ke luar ruangan dan jalan raya, tetapi tak satupun yang melihat. Hal ini merupakan simbol bahwa banyak orang menutup mata atas insiden yang menumpahkan darah di Dili silam.
Sebagian besar isi cerpen saksi mata mengambil latar di ruang pengadilan dan sebagian kecil ada di rumah tokoh saksi mata. Adapun latar waktu persidangan tidak ditunjukkan dengan jelas, sementara mimpi yang dialami oleh saksi mata terjadi di malam hari.
Latar suasanya yang tercipta sebenarnya cukup mencekam, meski juga diselipi komedi hitam seperti mata yang dicongkel untuk dibuat tengkleng.
Kisah dalam cerpen Saksi Mata ini berpusat pada tokoh seseorang yang menjadi saksi mata akan suatu peristiwa pembataian. Nahas baginya, sebelum pengadilan dimulai ternyata sekelompok orang berseragam mencongkel kedua matanya untuk menghalangi kesaksiannya. Namun, tokoh saksi mata ini memiliki watak yang teguh dan pemberani sehingga ia tetap datang untuk memberikan kesaksiannya.
Dalam cerpen ini tergambar dengan jelas watak tokoh saksi mata yang berpendirian kuat dan mau berjuang untuk keadilan dan kebenaran meski kondisinya sedang dalam tekanan dan ancaman.
Sementara itu untuk membangun cerita, penulis menghadirkan tokoh hakim sebagai lawan bicara dari tokoh saksi mata. Dan beberapa tokoh pendukung seperti hadirin dalam sidang dan wartawan yang datang menyaksikan kesaksian tokoh utama dalam cerita.
Kelebihan cerpen ini adalah keberaniannya dalam mengangkat tema yang sensitif menunjukkan cerpen ini memang tidak ditulis untuk main-main. Cerpen ini menyuarakan perlawanan akan penindasan manusia akan manusia lainnya dan juga menggambarkan arogansi dan dominasi penguasa untuk membungkam kebenaran.
Kelebihan lain dari cerpen Saksi Mata ini adalah gaya penulis yang khas, cara berceritanya yang ringan meskipun memuat kritik sosial dan politik. Ini menunjukkan kelebihan penulis sebagai seorang pendongeng handal yang mahir dalam teknik.
Kekurangan dari cerpen ini terletak pada adanya ketidaklogisan yang sebenarnya merupakan sebuah simbol pengandaian, namun juga cukup mengganggu. Misalnya saja tentang pencongkelan mata yang terjadi dalam mimpi namun ternyata efeknya menjadi nyata. Atau ketika darah mengalir dari mata tokoh saksi mata hingga membasahi lantai sidang dan mengalir ke jalan raya dan tempat parkir tapi tak ada satupun orang yang melihat.
Selain itu, cerpen ini mungkin tidak bisa dengan mudah dipahami oleh segala usia. Terlebih bagi anak-anak atau mereka yang masih dibawah umur, karena didalam cerpen ini termuat narasi kekerasan yang cukup gamblang dan bisa menimbulkan ketidaknyamanan bagi pembacanya.
Terlepas dari kekurangannya tersebut, cerpen Saksi Mata merupakan cerpen yang sangat baik dan khas. Hal ini dibuktikan dengan penghargaan yang diraih oleh penulisnya, Seno Gumira Ajidarma, dalam Penghargaan Penulisan Karya Sastra pada tahun 1995 oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Cerpen ini bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Eyewitness serta memenangkan Penghargaan Dinny O’Hearn untuk Terjemahan Sastra pada tahun 1997 dalam Premier’s Literary Award.