Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi atau tidak bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan. Kondisi penderita Skizofrenia biasanya ditandai dengan perilaku yang tidak wajar seperti halusinasi sehingga penderitanya kerap dikatakan gila.
Penderita Skizofrenia memerlukan perawatan yang berlanjut dan berjangka panjang agar bisa pulih. Pada tahun 2022, WHO sendiri mencatat setidaknya terdapat 20 juta orang di dunia yang mengalami penyakit Skizofrenia.
Gangguan mental ini dapat menyerang siapa saja baik itu laki-laki atau perempuan. Hanya saja, pada beberapa contoh khasus, laki-laki berpeluang lebih besar terkena skizofrenia. Salah satu penyebab munculnya Skizofrenia adalah dikarenakan oleh faktor genetik.
Jika salah satu anggota keluarga inti memiliki riwayat Skizofrenia maka anggota keluarga tersebut beresiko lebih tinggi terkena Skizofrenia dibandingkan yang lain. Namun, Skizofrenia juga bisa disebabkan karena adanya tekanan dari lingkungan sekitar sehingga membuat mentalnya terganggu.
Berdasarkan angka disability adjusted life years atau DALYs mencatat bahwa terdapat beberapa negara yang memiliki pengidap skizofrenia tertinggi. Berikut ini negara skizofrenia tertinggi.
Berdasarkan angka disability adjusted life years atau DALYs per 100.000 penduduk, Indonesia menempati urutan pertama jumlah skizofrenia tertinggi dengan angka DALYs sebanyak 321.870. Pada tahun 2018, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan bahwa kemungkinan skizofrenia di Indonesia adalah sebesar 6,7 untuk 1000 rumah tangga.
Hal ini menandakan bahwa dari 1000 rumah tangga di Indonesia, kemungkinan 6,7% merupakan anggota pengidap skizofrenia. Di mana tingkat prevalensi terbesar berada di provinsi Yogyakarta dan Bali dengan angka prevelensi sebesar 11,1% dan 10,4% untuk setiap 1000 rumah tangga.
Jika dibandingkan negara tetangga, tingkat DALYs Indonesia dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Australia. Sekitar 84,9 penderita skizofrenia yang berada di Indonesia telah mendapatkan perawatan medis.
Namun, sekitar 48,9% penderita skizofrenia tidak meminum obat secara teratur dan 51,1% lainnya meminum obat secara teratur. Dari angka ini menandakan bahwa kesadaran pengidap skizofrenia akan kepeduliannya terhadap diri sendiri masih tergolong rendah.
Belum lagi terdapat sekitar 33,7% penderita yang tidak rutin meminum obat yang dianjurkan dokter dan 23,6% lainnya tidak memiliki biaya untuk melakukan perawatan medis. Lebih parahnya sekitar 14% pengidap skizofrenia dipasung oleh keluarganya karena ketidakmampuan mendapatkan perawatan medis.
Dengan data tersebut, tidak heran jika angka skizofrenia di Indonesia tergolong tinggi karena masih minimnya pemahaman mengenai perawatan pada pengidap skizofrenia.
Filipina memiliki angka disability adjusted life years atau DALYs per 100.000 penduduk adalah 317.709. Dengan angka DALYs tersebut membuat Filipina menempati urutan kedua sebagai negara pengidap skizofrenia tertinggi.
Selain itu, sekitar 6 juta penduduk Filipina mengalami kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan stigma negatif penduduknya akan kesehatan mental yang dianggap sebagai penyakit memalukan. Selain itu, perhatian akan kesehatan mental di Filipina oleh pemerintah masih tergolong kurang.
Meskipun baru-baru ini telah mengeluarkan Undang-Undang mengenai kesehatan mental, ternyata hanya sekitar 5% anggaran yang ditujukan untuk fasilitas kesehatan mental. Sekitar 7,76 tempat tidur yang tersedia untuk penderita skizofrenia atau gangguan mental.
Di mana per 100.000 orang hanya 0,41 psikater yang tersedia untuk melayani penderita. Tidak hanya itu, pemerintah Filipina juga tidak memberikan bantuan secara materi kepada organisasi yang telah membantu merumuskan kebijakan Undang-Undang Kesehatan Mental.
Rendahnya perhatian akan kesehatan mental membuat kasus gangguan mental khususnya skizofrenia di Filipina meningkat. Filipina menempati urutan ketiga sebagai negara yang memiliki gangguan mental di Pasifik Barat. Bahkan penyakit mental di negara ini menjadi disabilitas ketiga yang paling terjadi.
Pada tahun 2020, berdasarkan data dari WHO menunjukkan bahwa sekitar 3,6 juta warga Filipina setidaknya mengidap satu gangguan mental. Di mana 154 juta orang terkena depresi, 1 juta orang mengalami skizofrenia dan 15,3 juta lainnya mengalami gangguan karena kecanduan narkoba.
Berdasarkan angka disability adjusted life years atau DALYs per 100.000 penduduk, Indonesia menempati urutan pertama jumlah skizofrenia tertinggi dengan angka DALYs sebanyak 315.533. Hasil prevelensi skizofrenia pada usia 15 hingga 59 tahun per 1000 penduduk didapatkan bahwa sekitar 8,8 penduduk mengidap skizofrenia. Dengan perbandingan laki-laki dan perempuan yakni 1,1:1.
Bobot GBD lebih tinggi dibandingkan dengan bobot disabilitas lokal Thailand. Layanan kesehatan mental di Thailand masih tergolong rendah. Terutama pada kekurangan tenaga medis untuk mengatasi penderita skizofrenia. Hal ini kemudian diperparah dengan pengetahuan yang minim dari pihak keluarga dan juga pasien penderita skizofrenia.
Setidaknya ada sekitar 400 psikiater yang sebagian besar adalah pegawai sektor publik dan memiliki praktik di luar jam kerja resmi. Thailand juga memiliki kekurangan tenaga medis pembantu khusus tenaga ahli okupasi.
Selain itu, terdapat ketidakmerataan tenaga medis yang sebagain besar berpusat di kota-kota besar Thailand seperti Bangkok. Di mana separuh dari jumlah tenaga medis kesehatan mental berfokus di Bangkok.
Untuk mengatasi penyakit skizofrenia terdapat tiga tingkat pelayanan kesehatan yakni primer, sekunder dan tersier. Pada layanan kesehatan primer berada di bawah kementrian kesehatan langsung kecuali di Bangkok.
Pelayanan kesehatan terdekat pada setiap masing-masing kecematan tersedia Puskesmas Kecamatan yang dikelola oleh 3 hingga 4 petugas. Setidaknya terdapat sekitar 8.800 puskesmas kecamatan di seluruh negeri.
Malaysia memiliki angka disability adjusted life years atau DALYs per 100.000 penduduk adalah 314.999. Dengan angka DALYs tersebut membuat Malaysia menempati urutan keempat sebagai negara pengidap skizofrenia tertinggi.
Stigma negatif mengenai pengidap skizofrenia di Malaysia masing kental. Hal inilah yang membuat penderita skizofrenia tidak mendapatkan perawatan medis yang optimal. Dengan adanya hal tersebut membuat keadaan penderita skizofrenia di Malaysia semakin parah. Untuk mengatasi masalah skizofrenia, pemerintah Malaysia memiliki satu orang psikiater untuk menangani 150 ribu orang penderita.
Pada tahun 2015, diperkirakan sekitar 15.104 pengidap skizofrenia dirawat di Malaysia. Di mana pasien tersebut memiliki total beban ekonomi yakni sekitar USD 100 juta (M) atau sama dengan 0,04% dari produk domestik bruto nasional.
Keberadaan skizofrenia berakibat pada menurunnya tingkat produktivitas sehingga menaikkan beban ekonomi. Beban ekonomi pada skizofrenia begitu besar dan sebagian besar disebabkan karena hilangnya atau turunnya produktivitas.
Pada satu pasien skizofrenia membutuhkan biaya rata-rata sekitar USD 6,594. Skizofrenia adalah penyakit yang melemahkan dan memiliki prevalensi yang cukup rendah yakni sekitar 3,3 dari 1.000 orang. Namun, penyakit skizofrenia merupakan penyakit yang menimbulkan kecacatan pada penderitanya.
Dari jumlah beban ekonomi, sebanyak 72% berasal dari biaya tidak langsung dan untuk biaya medis hanya sekitar 26% saja. Sisanya 2% merupakan biaya non medis secara tidak langsung atau sama dengan USD 1,7 juta.
Berdasarkan angka disability adjusted life years atau DALYs per 100.000 penduduk, Sri Lanka menempati urutan kelima jumlah skizofrenia tertinggi dengan angka DALYs sebanyak 312.278. Sekitar 40.333 pasien di rawat inap di rumah sakit Sri Lanka dikarenakan terkena gangguan mental.
Di mana 37% dari jumlah pasien merupakan pengidap gangguan mental skizofrenia dan 22% lainnya merupakan menderita gangguan mood. Di beberapa wilayah tertentu di Sri Lanka, para pengasuh masih memiliki kekurangan dalam hal literasi kesehatan mental.
Padahal literasi kesehatan mental akan membantu mengenalkan dan mengatasi gangguan mental sejak dini. Literasi akan kesehatan mental adalah kemampuan untuk memperoleh akses, memahami dan mendapatkan informasi untuk dapat meningkatkan kesehatan mental dengan baik.
Dengan memiliki literasi akan kesehatan mental, para pengasuh gangguan mental khususnya skizofrenia dapat memberikan penanganan yang tepat. Dengan begitu, masa penyembuhan penyakit ini akan jauh lebih cepat. Selain itu, literasi kesehatan mental juga menjadi pencegahan akan bertambahnya pengidap gangguan mental terutama skizofrenia.
Brunei Darussalam memiliki angka disability adjusted life years atau DALYs per 100.000 penduduk adalah 132.101. Angka ini menyebabkan Brunei Darussalam menempati ranking keenam sebagai negara dengan skizofrenia tertinggi.
Layanan kesehatan mental di negara ini telah mengalami perkembangan seperti penetapan undang-undang kesehatan mental. Hanya saja, stigma akan gangguan mental di negara ini masih berbau negatif. Bahkan diskusi mengenai kesehatan mental di Brunei Darussalam masih dianggap tabu.
Untuk menangani gangguan kesehatan mental, pemerintah Brunei Darussalam telah memberikan fasilitas kesehatan primer dan sekunder secara gratis bagi warganya. Fasilitas psikiatri tingkat utama berada di dekat pusat kota yang di mana menyediakan rawat inap, rawat jalan hingga rehabilitasi.
Per 100.000 penduduk disediakan sekitar 10 tempat tidur psikiatris. Selain itu, untuk waktu tunggu rutin berobat dengan psikiatri selama kurang dari 1 bulan lamanya. Sekitar 1,7 psikiater spesialis disediakan untuk 100.000 penduduk dan adanya program pelatihan setelah sarjana untuk meningkatkan jumlah psikiater di Brunei Darussalam.
Di sektor pemerintah, setidaknya ada sekitar 4,8 psikolog yang berkerja untuk 100.000 penduduk. Tidak hanya di sektor pemerintah saja, layanan kesehatan juga tersedia di sektor swasta. Bahkan beberapa obat antideprisan dan antipsikotik tersedia di apotik milik pemerintah.
Risiko bunuh diri terhadap pasien skizofrenia selalu ada. Hal inilah yang terjadi di Brunei Darussalam dengan tingkat bunuh diri yang mengalami peningkatan. Di negara ini bunuh diri dianggap sebagai salah satu tindak pidana dan perbuatan yang mengandung dosa. Pada tahun 2018, angka bunuh diri di Brunei Darussalam mengalami peningkatan menjadi 3,6 dari 100.000 penduduk.
Berdasarkan angka disability adjusted life years atau DALYs per 100.000 penduduk, Singapura menempati urutan ketujuh jumlah skizofrenia tertinggi dengan angka DALYs sebanyak 311.872. Layanan fasilitas kesehatan mental di Singapura tegolong cukup tinggi.
Di mana pelayanan utama dilakukan oleh dokter umum swasta sedangkan sektor publik memberikan fasilitas berupa layanan rumah sakit. Setidaknya sekitar 80% rumah sakit menawarkan layanan perawatan akut.
Baik rumah sakit negeri ataupun swasta di Singapura memberikan pelayanan rawat jalan maupun rawat inap. Masalah psikologis juga dapat ditangani oleh layanan kesehatan primer yakni oleh dokter perawatan keluarga maupun dokter umum.
Tidak hanya itu, organisasi ataupun komunitas sosial memberikan layanan konseling, rehabilitasi hingga perawatan jangka menengah dan panjang. Pemerintah Singapura juga telah menyediakan sekitar 2,6 psikiater untuk 100.000 penduduk Singapura.
Pada tahun 2020, berdasarkan data dari WHO, angka kematian yang disebabkan oleh skizofrenia di Sigapura adalah 0,00% dari jumlah kematian. Dengan angka ini membuat skizofrenia menduduki peringkat ke 183 sebagai penyebab kematian di Singapura.