Daftar isi
Tanah merupakan sesuatu yang sangat penting sehingga harus dapat dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin. Sengketa terkait kepemilikan tanah merupakan hal yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Bagaimana tidak, laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat tidak sebanding dengan lahan yang bersifat tetap.
Di satu sisi, lahan juga sebaiknya digunakan sesuai dengan peruntukannya. Oleh sebab itulah mengapa suatu aturan tentang penggunaan lahan agar menghindari penyalahgunaan suatu lahan.
Berdasarkan pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun Tahun 1960 disebutkan bahwa:
“Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.”
Pembatasan dari Hak Guna Bangunan ini adalah mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri.
Penjelasan pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun Tahun 1960 bahwa Hak Guna Bangunan diberikan dengan waktu 30 tahun dengan perpanjangan waktu 20 tahun.
Pada pasal 25 ayat 2 PP 40 disebutkan bahwa kepada pemegang Hak Guna Bangunan dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan setelah berakhir perpanjangan haknya dengan syarat ;
Sesuai dengan pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun Tahun 1960 diatur bahwa yang mempunyai Hak Guna Bangunan adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Adapun yang menjadi dasar hukum Hak Guna Bangunan adalah sebagai berikut:
Berikut ini adalah tahapan memperoleh Hak Guna Bangunan
Setelah tahap diatas selesai, maka dilanjutkan tahap berikut ini ;
Berdasarkan pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun Tahun 1960 disebutkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat hapus karena ;
PT. X merupakan perusahaan bidang property. Pada tahun 2000, perusahaan X membeli sebuah lahan di daerah Sumedang dengan sertifikat Hak Guna Bangunan.
Karena kurangnya modal untuk membangun perumahan serta untuk menghindari dianggap tanah tersebut diterlantarkan oleh pemerintah setempat maka perusahaan tersebut menyewakan lahan kosong tersebut kepada masyarakat setempat untuk dikerjakan menjadi lahan pertanian.
Hal ini tentu saja sangat menguntungkan kedua belah pihak. Perusahaan X dapat menambah modal untuk pengembangan perumahan sedangkan masyarakat dapat meningkatkan taraf perekonomian mereka.
Dari kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa hal diatas termasuk dalam penyalahgunaan hak guna bangunan yang harusnya untuk bangunan bukan untuk lahan pertanian (pasal 35 UUPA).
Hal ini bisa saja diakibatkan oleh kurangnya pengawasan dari pemerintah setempat.
Dengan terindifikasikannya lahan tersebut sebagai tanah terlantar, maka perusahaan tersebut dikenakan sanksi secara bertahap. Untuk tahap pertama, perusahaan akan diberikan peringatan tertulis.
Jika perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya maka akan diberikan surat peringatan pertama begitu seterusnya sampai peringatan terakhir jika perusahaan tetap tidak mengindahkan peringatan tersebut.
Namun, ketika peringatan masih saja diabaikan, maka pengembang tersebut akan dicabut hak atas tanahnya dan dikembalikan kepada Negara.