Pendidikan Agama

Kisah Kiai Ihsan Jampes yang Perlu diketahui

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Kiai Ihsan atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh Ihsan JampesĀ  Kediri merupakan salah seorang ulama terkenal di Indonesia. Syekh Ihsan mendapat julukan Al-Ghazali as-Shaghir (Ghazali Muda) dari ulama di Timur Tengah.

Julukan tersebut muncul karena salah satu karya yang melekat padanya yaitu Shirajuth Thalibin. Hingga kini karya tersebut masih aktif dikaji oleh ulama-ulama di Timur Tengah.

Kiai Ihsan Jampes lahir dari pasangan Kiai Muhammad Dahlan dan Nyai Artimah pada tahun 1901 Masehi. Apabila dilihat dari silsilah keturunan, Ibu dari Syekh Ihsan merupakan putri dari Kiai Ahmad Shaleh, Banjar Melati, Kediri.

Darah sang ibu masih memiliki hungunan dengan keturunan Sunan Ampel. Sang ayah memiliki garis keturunan yang apabila diruntut akan bertemu nasab dengan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).

Syekh Ihsan memiliki panggilan akrab Bakri pada waktu kecil. Ia dikenal sebagai anak yang nakal, namun memiliki kecerdasan yang melebihi teman-temannya. Ia mengawali pendidikan agama dari sang ayah untuk pertama kali.

Selanjutnya dibantu oleh neneknya yang membantu merawat selama enam tahun. Setelah kedua orang tuanya bercerai, Syekh Ihsan melanglang buanan untuk memperdalam ilmu agama di berbagai tempat.

Tercatat beberapa pesantren yang pernah disinggahi Syech Ihsan antara lain, Pesantren Bendo (Pare, Kediri) pada Kiai Khozin, Pesantren Jamsaren Solo, serta berguru pada Kiai Dahlan di Semarang.

Ia juga pernah mengaji pada di pesantren Mangkrang Semarang, Pesantren Punduh Magelang, Pesantren Gondanglegi Nganjuk, dan pernah berguru pada Syech Kholil Bangkalan yang merupakan guru para ulama di tanah Jawa.

Pada tahun 1926, Bakri muda pergi berhaji ke tanah suci. Setelah pulang haji inilah namanya berganti menjadi Ihsan. Dua tahun setelahnya sang ayah meninggal dunia. Pesantren yang didirikan kemudian beralih tanggung jawab pada sang paaman yaitu kiai Kholil.

Setelah empat tahun kepemimpinan berpindah pada Kiai Ihsan. Saat itulah perkembangan pesantren terasa pesat. Yang awalnya memiliki santrei sebanyak 150-an kini menjadi 1000 santri. Hal itu tentu berkat kerja keras dan keteguhan Kiai Ihsan dalam menjalankan amanah untuk mengasuh para santri.