Daftar isi
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur yang ada di dalam kebudayaan masyarakat yang dapat menimbulkan potensi bahaya bagi kehidupan sosial masyarakat. Dengan adanya masalah sosial maka pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi terhambat.
Masalah sosial umum dialami oleh sebuah negara. Bahkan negara maju sekalipun memiliki masalah sosial termasuk Jepang. Berikut ini adalah berbagai masalah sosial yang harus dihadapi oleh Jepang.
Salah satu masalah besar yang ada di Jepang adalah tingkat kelahiran yang rendah. Pada tahun 2021 berdasarkan laporan pemerintah Jepang tingkat kelahiran menurun sebanyak 2,8 persen dari tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan karena rata-rata penduduk Jepang enggan melakukan pernikahan. Sebagian penduduk lainnya menikah di usia yang sudah tua atau terlambat menikah. Jumlah pernikahan di Jepang pada tahun 2020 menurun sebanyak 12,3 persen dari tahun 2019.
Sebagaimana yang telah dibahas dalam poin sebelumnya, Jepang memiliki angka kelahiran yang rendah. Hal ini berakibat menimbulkan masalah lainnya yakni kekurangan tenaga kerja karena bayi yang dilahirkan sangat sedikit.
Jepang mengalami puncak populasi pada tahun 2008 yakni mencapai 128, 08 juta jiwa. Namun pada tahun-tahun berikut Jepang justru mengalami penurunan populasi hingga saat ini. Populasi penduduk Jepang menurun drastis dikarenakan angka kelahiran yang rendah namun angka kematian juga tinggi.
Jepang diprediksi akan terus mengalami penurunan populasi. Sebuah penelitian mengatakan Jepang hanya akan memiliki 100 juta pekerja terampil pada tahun 2053 mendatang.
Mendengar berita bunuh diri di Jepang mungkin sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini dikarenakan tingkat bunuh diri di negeri sakura sangat tinggi. Jepang bahkan masuk sebagai negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia.
Pada bulan Oktober 2020 jumlah korban bunuh diri di Jepang bahkan lebih tinggi dari korban pandemi Covid 19. WHO mencatat angka kematian Jepang mencapai 18 dari 100.000 penduduk atau setidaknya ada 76 orang mati bunuh diri setiap hari.
Rupanya bunuh diri sudah menjadi budaya para leluhur orang Jepang. Menurut kepercayaan mereka bunuh diri bukanlah hal dosa melainkan sebuah bentuk tanggung jawab. Pantang bagi mereka untuk mengeluh sehingga ketika terjadi masalah atau depresi mereka cenderung memilih bunuh diri.
Hal ini juga dilakukan untuk mengembalikan kehormatan keluarga contohnya para pejabat yang melakukan kesalahan akan mengakhiri hidupnya dengan cara harakiri.
Pemerintah Jepang bahkan menyediakan tempat khusus bagi orang-orang yang hendak mengakhiri hidupnya seperti di hutan Aokigahara.
Hidup di negara maju dengan teknologi yang canggih tidak lepas dari tindakan perundungan atau bullying. Justru dengan majunya teknologi tingkat cyber bullying di Jepang juga meningkat.
Tindakan bullying di sekolah Jepang bahkan meningkat 83 persen pada tahun 2020. Hal ini menjadi salah satu penyebab angka bunuh diri di Jepang sangat tinggi.
Akibat lainnya dari tindak perundungan ini ialah banyak remaja yang lebih memilih menarik diri dari lingkungan dan menjadi antisosial. Ini tentu saja akan menyebabkan masyarakat menjadi individualis.
Jepang adalah negara yang maju dan nampak tidak ada warga yang miskin di sana. Namun hal tersebut salah karena pada faktanya kemiskinan masih ditemukan di Jepang. Kemiskinan melanda penduduk Jepang kelas menengah dan usia produktif.
Meskipun Jepang telah berhasil keluar dari kemiskinan pasca Perang Dunia II namun survei mengatakan 80 persen penduduk tidak merasakan dampak tersebut. Sejak tahun 2010 jumlah penerima bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan terus meningkat hingga lebih dari 2 juta penduduk.
Tingkat kriminalitas di Jepang adalah salah satu yang paling rendah di dunia. Namun kasus pencurian menjadi masalah serius meskipun pencurian yang dilakukan adalah jenis pencurian kecil atau disebut juga dengan mengutil.
Jepang bahkan menjadi negara dengan jumlah pengutil terbanyak di dunia. Walaupun kecil namun jumlah kerugian akibat pencurian ini mencapai 350 juta USD dalam satu tahun.
Meskipun mendapat predikat negara maju dan modern namun pada faktanya terjadi ketimpangan sosial antara laki-laki dan perempuan. Wanita Jepang tidak mendapatkan hak yang sama terutama dalam kesempatan bekerja.
Sebagian besar perusahaan di Jepang tidak menyediakan posisi yang tinggi untuk para wanita. Selain itu gaji yang didapatkan antara wanita dan laki-laki pun tidak sebanding. Gaji rata-rata pria dalam satu tahun mencapai 335 ribut yen sedangkan wanita hanya 246 ribut yen.
Sebagian besar anak di Jepang tidak mau ngerawat orang tuanya terlebih ketika mereka sudah memasuki usia lanjut. Biasa-biasanya anak-anak akan sibuk dengan kehidupannya sendiri dan merasa tidak punya waktu untuk orang lain. Untuk mengatasi hal ini orang tua akan ditempatkan di sebuah home care khusus untuk lansia.
Namun saking banyaknya lansia yang tidak terawat jasa penitipan orang tua pun sampai kewalahan. Mereka harus menunggu antrian agar bisa menitipkan orang tuanya. Bahkan tak jarang juga orang tua ditinggalkan tanpa pengasuh hingga meningkatkan tingkat kecelakaan dan kebakaran.
Hikikomori adalah istilah yang digunakan untuk menyebut mereka yang memiliki gaya hidup menyendiri. Orang-orang Jepang disebut sebagai hikikomori apabila telah mengisolasi diri di dalam rumah selama 6 bulan berturut-turut tanpa melakukan aktivitas lainnya seperti bertemu orang lain, pergi ke sekolah maupun pergi bekerja. Angka hikikomori sangat tinggi di Jepang dengan rentang usia rata-rata 28–35 tahun.
Alasan mereka melakukan hikikomori adalah karena tingginya tekanan dari orang lain ataupun kehidupan yang terlalu dikekang. Ketika mereka merasa gagal memenuhi harapan orang tua maka akan cenderung melakukan hikikomori. Budaya malu juga turut menjadi faktor utama tingginya masalah ini.