Nama Nani Wartabone memang terdengar asing. Namun, beliau adalah salah satu tokoh pahlawan nasional dari Gorontalo. Banyak sudah perjuangan yang dilakukannya untuk mempertahankan Gorontalo. Ketahui selengkapnya, bagaimana sejarah dan perjuangan Nani Wartabone dalam mempertahankan Gorontalo.
Nani Wartabone merupakan sosok pahlawan nasional asal Gorontalo. Ia lahir pada tanggal 30 Januari 1907. Ayahnya bernama Zakaria Watabone yang merupakan seorang pegawai yang bekerja pada masa Hindia Belanda. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga terpandang di daerahnya.
Oleh sebab itu, Nani terlahir dari keluarga yang berada. Perjuangannya dimulai saat ia mendirikan dan menjadi sekretaris dari Jong Gorontalo pada tahun 1923. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi ketua Partai Nasional Indonesia atau PNI Cabang Gorontalo.
Setelah tentara Sekutu kalah pada Perang Asia-Pasifik, pada tanggal 28 Desember 1941 Belanda merencanakan untuk membumihanguskan Gorontalo. Belanda mulai melancarkan aksinya dengan membakar gudang-gudang kopra dan minyak di Pabean dan Talumolo.
Melihat kejadian itu, Nani Wartabone bersama rakyat Gorontalo mencoba untuk menghalanginya. Mereka melalukan penangkapan kepada para pejabat Belanda yang masih ada di Gorontalo. Pada 23 Januari, dimulai dari kampung-kampung di pinggiran kota Gorontalo seperti Suwawa, Kabila dan Tamalate, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo mulai mengepung kota.
Akhirnya, pada pukul lima subuh Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah. Selesai dilakukan penangkapan, Nani Wartabone melakukan upacara.
Dia yang bertugas langsung untuk memimpin upacara pengibaran bendera Merah Putih yang diiringi lagu “Indonesia Raya” di halaman Kantor Pos Gorontalo. Upacara tersebut dimulai pukul 10 pagi hari. Selain memimpin jalannya upacara, Nani Wartabone juga melakukan pidato.
Adapun pidato tersebut berisi mengenai kemerdekaan Indonesia dan selesainya masa penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Tidak hanya itu, ia juga menghimbau rakyat untuk tetap menjaga ketertiban dan keamanan.
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) yang di mana dirinya terpilih sebagai ketuanya.
Empat hari kemudian, ia lakukan mobilisasi rakyat pada rapat raksasa yang diadakan di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya rapat tersebut adalah intuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan hambatan apapun.
Tentara Jepang mendarat di Gorontalo, tepat satu bulan setelah proklamasi dilakukan. Kemudian, kapal perangJepang yang bertolak dari Manado, tiba di Gorontalo pada tanggal 26 Februari. Saat kedatangan tentara Jepang, Nani Wartabone menyambut baik kedatangannya. Ia menaruh harapan besar dengan kedatangan tentara Jepang, bisa membantu PPPG.
Sayangnya, kenyataan berkata sebaliknya. Kedatangan Jepang justru berkedok penjajahan. Jepang melarang bendera merah putih untuk dikibarkan. Bahkan, Jepang memerintah semua rakyat Gorontalo untuk tunduk kepadanya. Jelas saja, permintaan tersebut ditolak oleh Nani Wartabone.
Oleh karena Nani tak memiliki kekuatan untuk melawan Jepang, ia lebih memilih meninggalkan Gorontalo. Ia pulang ke kampungnya yakni Suwawa. Namun, meskipun Nani memilih meninggalkan Gorontalo, ia tak pernah menyerahkan Gorontalo kepada Jepang.
Nani menjadi seorang petani dan hidup sederhana di tanah kelahirannya. Lain halnya dengan masyarakat Gorontalo. Mereka melakukan mogok massal sehingga membuat Gorontalo seperti kota mati.
Tentunya, Jepang tidak akan tinggal diam saat melihat kondisi yang demikian. Mereka melakukan siasat dengan menyebarkan fitnah atas Nani. Jepang memfitnah Nani telah melakukan penghasutan kepada rakyat Gorontalo sehingga rakyat melakukan pemberontakan. Dengan dalih fitnah tersebut, pada tanggal 30 Desember 1943, Jepang berhasil menangkap Nani dan membawanya ke Manado.
Meskipun Jepang tidak menyukai Nani, mereka tetap menghormati Nani sebagai pemimpin dari rakyat Gorontalo. Hal ini terlihat saat Jepang menyerahkan Gorontalo ke tangan Nani Wartabone. Penyerahan tersebut dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1945.
Setelah penyerahan tersebut, tidak ada lagi pelarangan pengibaran bendera merah putih. Oleh karena itu, sang saka merah putih kembali berkibar di tanah Gorontalo. Lain halnya dengan keadaan pemerintah pusat yang ada di Jakarta.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pemerintah melakukan proklamasi kemerdekaan RI. Sayangnya, informasi ini tak diketahui oleh Nani serta rakyat Gorontalo. Mereka baru mengetahui kemerdekaan RI pada tanggal 28 Agustus 1945.
Setelah proklamasi, Nani kemudian membentuk pasukan keamanan dan ketahanan dengan merekrut sekitar 500 pemuda. Tidak hanya itu, pada tanggal 1 September 1945, Nani juga membentuk Dewan Nasional di Gorontalo.
Tujuan pembentukan ini adalah untuk memperkuat barisan pemerintahan Gorontalo seusai penyerahan yang dilakukan Jepang. Nantinya, Dewan Nasional akan membantu dan mendampingi kepala pemerintahan
Meskipun Jepang telah menyerahkan kemerdekaan, namun perjuangan di tanah air tidak berhenti sampai di situ. Suatu saat Belanda kembali datang dengan sekutu. Mereka melakukan tipu muslihat untuk menangkap Nani Wartabone.
Awalnya, mereka berpura-pura mengundang Nani Wartabone untuk berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Kemudian, Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado.
Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dikenakan hukuman penjara selama 15 tahun. Penjatuhan hukuman tersebut dikarenakan tuduhan makar yang dilayangkan kepadanya pada tanggal 23 Januari 1942.
Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946. Namun, ia hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai.
Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai ia menghirup udara bebas pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia. Tanggal 2 Februari 1950, Nani Wartabone kembali menginjakkan kakinya di Gorontalo.
Setelah bebas, Nani Wartabone kembali berjuang untuk tanah Gotontalo. Ia menentang bentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Gorontalo termasuk ke dalam Negara Indonesia Timur. Sehingga, saat pemerintah mengajukan RIS, Nani termasuk orang-orang yang menolak akan bentukan negara tersebut.
Menurutnya, hal tersebut tak sesuai dengan ideologi negara. Karir Nani Wartabone terus meningkat hingga ia dipercaya mengemban beberapa jabatan penting, seperti kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara.
Usai kemerdekaan, rupanya terjadi pemberontakan dari dalam negeri. Pada bulan Maret 1957, Letkol Ventje Sumual beserta kawan-kawannya mengumumkan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado. Saat melihat itu, tentunya Nani tak tinggal diam.
Nani Wartabone kembali memimpin massa untuk merebut kembali kekuasaan PRRI/PERMESTA di Gorontalo dan mengembalikan kekuasaan ke tangan pemerintahan pusat di Jakarta. Namun, pasukannya kalah senjata dibandingkan para pemberontak tersebut.
Pada tahun 1958, mereka mendapatkan bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa. Berkat bantuan kedua pasukan tersebut, Nani Wartabone berhasil merebut kembali pemerintahan di Gorontalo pada pertengahan Juni 1958.
Pada tanggal 3 Januari 1986, Nani Wartabone akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya bersamaan dengan berkumandangnya azan salat Jumat. Saat meninggal dunia, ia merupakan seorang petani di Suwawa, Gorontalo.
Untuk mengenang jasanya, Presiden Megawati Soekarnoputri menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone. Pemberian gelar tersebut diberikan melalui ahli warisnya yang merupakan anak dari Nani Wartabone yakni, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7 November 2003.
Nani Wartabone kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003. Tidak hanya itu, pemerintah Gorontalo juga membangun tugu bernama Nani Wartabone untuk mengenang jasa-jasanya memperjuangkan Gorontalo.