Kerajaan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam di Aceh. Kerajaan ini didirikan pada tahun 1267 M oleh Meurah Silu. Setelah memeluk Islam, Meurah Silu mengganti namanya menjadi Malik Al Saleh. Saat memerintah, Malik Al Saleh bergelar Sultan.
Kerajaan ini bertahan selama hampir 300 tahun. Selama waktu tersebut, tak hanya sultan yang memerintah Kerajaan Samudera Pasai namun juga ada sultanah (penguasa wanita) yakni Sultanah Nahrasiyah.
Kerajaan Samudera Pasai menggunakan mata uang yang terbuat dari emas dan disebut sebagai deureuham (dirham). Pada masa kejayaannya, Kerajaan Samudera Pasai menjadi pusat perdangan, perkembangan agama Islam dan berkembangnya karya sastra hikayat.
Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan yang besar. Wilayah kekuasaannya mecakup wilayah Aceh. Kerajaan ini meninggalkan beberapa bukti tentang eksistensinya seperti koin mata uang, karya satra, monumen, serta nisan dari beberapa penguasa.
Kerajaan Samudera Pasai mempunyai mata uangnya sendiri. Mata uang kerajaan ini disebut sebagai deureuham atau dirham. Mata uang ini terbuat dari 70% emas 18 karat. Dirham berbentuk koin lingkaran dengan diameter 10 mm. Dirham milik Kerajaan Samudera Pasai berbobot 0,6 gram setiap koinnya.
Pada saat itu, ada 2 jenis dirham yang dicetak yakni satu dirham dan setengah dirham. Mata uang dirham ini banyak digunakan sebagai alat transaksi terutama tanah. Dirham pada Kerajaan Samudera Pasai memiliki ciri di kedua sisinya dicetak tulisan yakni Muhammad Malik Al Zahir.
Sedangkan sisi satunya tertulis Al-Sultan Al-Adil. Tradisi mencetak mata uang emas dirham ini kemudian menyebar ke seluruh Sumatera. Bahkan sampai ke semenanjung Malaka sejak Aceh menaklukkan Pasai pada tahun 1524.
Cakra Donya merupakan hadiah dari kekaisaran China kepada Kerajaan Samudera Pasai. Hadiah ini berupa lonceng berbentuk stupa. Lonceng ini buatan China pada tahun 1409 M. Cakra Donya mempunyai tinggi 125 cm dan lebarnya 75 cm.
Cakra mempunyai arti poros kereta. Cakra adalah lambang Wishnu, matahari, atau cakrawala. Sedangkan Donya berarti dunia. Pada bagian luar Cakra Donya terdapat hiasan dan simbol. Hiasan dan simbol ini berbahasa Arab dan China.
Naskah surat ini adalah milik Sultan Zainal Abidin. Beliau menulis surat ini sebelum meninggal dan ditulis pada tahun 1518 M. Surat ini ditujukan kepada Kapitan Moran. Seorang kapitan yang bertindak sebagai wakil raja Portugis di India.
Surat ini ditulis dengan bahasa Arab. Adapun isinya adalah penjelasan tentang keadaan Kerajaan Samudera Pasai. Surat ini juga berisi gambaran terakhir keadaan yang dialami oleh Kerajaan Samudera Pasai setelah penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M.
Tak hanya ditemukan koin, Kerajaan Samudera Pasai juga meninggalkan stempel kerajaan. Stempel ini ditemukan di desa Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Stempel ini berukuran 2×1 cm dan diperkirakan dibuat dari bahan sejenis tanduk hewan.
Saat ditemukan, stempel Kerajaan Samudera Pasai telah patah bagian gagangnya. Ada pendapat yang mengungkapkan bahwa stempel ini sudah digunakan sampai masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin.
Pada makam Sultan Malik As-Shalih terdapat nisan yang menyatakan bahwa tersebut milik Sultan Malik As-Shalih. Nisan ini berbentuk segiempat pipih bersayap.
Pada bagian puncak nisan terdapat mahkota 2 tingkat. Nisan berisi keterangan pemilik makam dan waktu wafat serta terdapat syair yang kesemuanya berbahasa Arab.
Nisan Sultanah Nahrasiyah terbuat dari pualam. Pada nisan ini dimuat silsilah sultan Samudera Pasai. Makam Sultanah dihiasi dengan ayat Alquran yakni kaligrafi Surah Yasin, Ali Imran ayat 18-19, Al-Baqarah dan ayat Kursi.
Sultan Malik Al-Zahir adalah putra Sultan Malik As-Shalih. Sultan Malik Al-Zahir memerintah Kerajaan Samudera Pasai 1287-1326 M. Makam Sultan Muhammad Malik Al-Zahir berada berdampingan dengan makam sang ayah.
Tengku Sidi Abdullah Tajul Nillah merupakan cicit dari Khalifah Al-Muntasir dari Dinasti Abbasiyah. Tengku Sidi pernah memegang jabatan di Kerajaan Samudera Pasai yakni sebagai Menteri Keuangan.
Makam Tengku Sidi berada di Gampong Kuta Krueng. Batu nisan pada makamnya terbuat dari marmer dan dihiasi kaligrafi.
Makam Teungku Peut Ploh Peuet dikenal juga sebagai Makam Teungku 44. Hal ini karena makam ini terdiri dari 44 makam ulama dari Kerajaan Samudera Pasai yang dibunuh akibat menentang dan mengharamkan pernikahan raja dan putri kandungnya.
Makam Ratu Al-Aqla atau Nur Ilah merupakan makam dari putri Sultan Muhammad Malik Al-Zahir. Makam ini terletak di Gampong Meunje Tujoh Keca Matangkuli. Batu nisan pada makam ini berhiaskan kaligrafi berbahasa Arab dan Kawi.