Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia adalah peristiwa bersejarah yang melibatkan banyak tokoh penting. Bukan hanya Soekarno-Hatta, melainkan juga sejumlah golongan muda maupun golongan tua yang terlibat dalam persiapan hingga pelaksanaan pembacaan proklamasi.
Kemerdekaan RI tidak akan berjalan dengan lancar jika salah satu diantaranya tidak melakukan perannya dengan baik. Salah satu tokoh yang cukup dikenal dan dikenang hingga saat ini adalah Fatmawati.
Wanita kelahiran Bengkulu pada 5 Februari 1923 yang merupakan anak tunggal dari pasangan H. Hassan Din dan Siti Chadidjah ini mengenal Soekarno pertama kali di tahun 1938 saat presiden pertama RI kita diasingkan ke Bengkulu oleh Belanda.
Karena pemerintah Kolonial Belanda menganggap Soekarno berbahaya, maka beliau diasingkan ke Bengkulu pada Agustus 1938. Meski dalam status diasingkan, Soekarno tetap berkegiatan seperti biasa dan bertemu dengan banyak orang, khususnya masyarakat di Bengkulu sekaligus berkenalan dengan ayah Fatmawati.
Berkawan dengan ayah Fatmawati, Soekarno kemudian diminta menjadi guru dan mengajar di sana, yakni di sekolah Muhammadiyah. Fatmawati yang kala itu berusia 15 tahun pun menjadi salah satu murid di sekolah tersebut.
Perkenalan yang cukup lama antara Soekarno dan Fatmawati kemudian membawa mereka kepada ikatan pernikahan di tahun 1943 di Bengkulu setelah Soekarno dan Inggit Garnasih (istri pertama Soekarno) bercerai.
Sebagai istri Bung Karno, berikut ini adalah peran-peran Fatmawati dalam proklamasi kemerdekaan RI yang belum banyak diketahui.
Fatmawati memiliki peran penting di dalam perjuangan sang suami untuk kemerdekaan Indonesia. Bertemu dan menikah pada masa penjajahan Jepang, Fatmawati dikenal sebagai penjahit Bendera Pusaka Indonesia.
Tidak lama setelah keduanya menikah, kabar bahwa Jepang menyerah kepada Sekutu menyebar. Jepang juga menjanjikan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia sehingga hal ini kemudian disusul dengan penyusunan naskah teks proklamasi dan persiapan lain untuk upacara kemerdekaan.
Karena Jepang juga memberi izin untuk pengibaran bendera Indonesia, Fatmawati mencetuskan ide bendera merah putih sebagai bendera pusaka. Fatmawati sendiri pula yang kala itu berupaya untuk memperoleh kain berwarna merah dan putih.
Shimizu, yang dikenal sebagai ahli propaganda ditunjuk oleh pemerintah Jepang agar membantu mencarikan kain yang dibutuhkan untuk pengibaran bendera Indonesia. Kain merah dan putih berhasil diperoleh melalui seorang petinggi Jepang, lalu Shimizu pun menyerahkannya kepada Fatmawati.
Setelah menerima kain merah dan putih yang diantarkan langsung oleh Shimizu, Fatmawati segera menjahit kedua kain tersebut untuk menyatukannya. Proses menjahit bendera pusaka dilakukan oleh Fatmawati menggunakan tangan pada Oktober 1944.
Walau pada masa itu mesin jahit telah tersedia, dokter tidak mengizinkan Fatmawati menjahit menggunakan mesin karena tengah mengandung putra sulungnya dan Soekarno.
Hanya membutuhkan waktu dua hari saja untuk Fatmawati berhasil menyelesaikan jahitan bendera Merah Putih dan pengibaran pun dilakukan secara langsung di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (kini beralih menjadi Jalan Proklamasi).
Walau lebih dikenal sebagai penjahit bendera Indonesia, Fatmawati sebenarnya juga mengikuti dan bahkan terlibat dalam serangkaian peristiwa proklamasi. Peristiwa Rengasdengklok yang menjadi bagian dari masa sebelum proklamasi juga merupakan pengalaman Fatmawati.
Selain dari peristiwa Rengasdengklok, Fatmawati pun mengikuti proses perumusan naskah proklamasi sampai dengan pembacaannya pada 17 Agustus 1945. Pembacaan naskah teks proklamasi dilakukan pada saat berlangsungnya upacara kemerdekaan dan di waktu yang sama pengibaran bendera hasil jahitan Fatmawati dilakukan.
Sang Saka Merah Putih yang merupakan bendera asli jahitan Fatmawati sejak 1969 sudah tidak digunakan. Bendera tersebut kini berada di Istana Merdeka dalam kondisi tersimpan dengan baik karena keadaan yang telah rapuh.