Daftar isi
Kemerdekaan bukanlah sesuatu yang mudah didapatkan. Setelah melewati beragam siksaan dan kepedihan penjajahan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya dan lepas dari belenggu penjajahan.
Namun, di balik semua itu terdapat peristiwa yang membuat ketegangan antar dua golongan yakni golongan tua dan golongan muda. Di samping ketegangan itu, sejatinya kehadiran golongan muda tidak lepas dari bantuan golongan tua.
Mereka menggembleng para golongan muda di asrama menteng no 31. Merekalah yang mempersiapkan para pemuda yang berani berjuang dan mempunyai pikiran kritis. Oleh karena itu, keberadaan golongan tua bukan hanya sebagai pelengkap saja melainkan memiliki peranan penting bagi kemerdekaan Indonesia.
Lalu, apa peran golongan tua dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia?
Berita kekalahan Jepang terhadap sekutu sudah terdengar di telinga para pemuda. Semua bermula dari peristiwa penjatuhan bom pada kedua kota yang ada di Jepang yakni Hirosima dan Nagasaki pada tanggal 6 Agustus 1945.
Penjatuhan bom tersebut dilakukan selama rentang waktu 3 hari. Akibat dari peristiwa itu banyak korban dan kedua kota di Jepang tersebut luluh lantah. Kemudian, pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu.
Kabar ini tersiar di beberapa media tsrmasuk radio BBC milik Inggris. Mendengar kabar kekalahan Jepang membuat para pemuda berfikir akan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya hal inilah ada peluang untuk Indonesia bisa lepas dari cengkraman penjajah selama masa vacum of power.
Melihat peluang tersebut mereka mendesak kedua tokoh penting bangsa yakni Soekarno dan Hatta untuk segera mengadakan proklamasi. Sayangnya, usulan ini tidak disambut baik dan mendapatkan penolakan.
Soekarno teguh dengan pendiriannya yakni menunggu sampai tanggal 24 Agustus sebagaimana tanggal yang telah ditetapkan oleh Marsekal Terauchi saat kunjungan keduanya di Dalat. Berita mengenai kekalahan Jepang menurut Soekarno belum pasti.
Jika Indonesia memaksakan kehendak untuk melakukan proklamasi kemerdekaan dikhawatirkan akan terjadi pertumpahan darah. Soekarno tetap akan membicarakan mengenai kemerdekaan Indonesia dalam sidang PPKI. Namun, hal tersebut tidak disetujui oleh para pemuda.
Mereka menganggap bahwa PPKI merupakan bentukan Jepang dan tidak boleh disertakan dalam perumusan kemerdekaan. Sebab, kemerdekaan bangsa bukanlah hadiah dari Jepang melainkan hasil dari perjuangan.
Pada tanggal 15 Agustus para pemuda mengadakan rapat di Lembaga Bakteriologi yang ada di Pegangsaan Timur. Mereka sepakat bahwa kemerdekaan Indonesia harus bebas dari bayang-bayang Jepang termasuk PPKI.
Mereka juga tidak percaya akan janji kemerdekaan yang dijanjikan Jepang sebagaimana ucapan Soekarno. Bagi mereka, merdeka atau mati. Hasil dari rapat tersebut disampaikan kepada Soekarno oleh Wikana dan Darwis.
Mereka juga mengancam jika tudak diselenggarakan esok hari maka akan terjadi pertumpahan darah. Tentunya Soekarno marah saat mendengar ancaman tersebut. Sebab, tak kunjung mendapatkan hasil, para pemuda kembali mengadakan rapat di Asrama Cikini. Hasilnya mereka sepakat mengasingkan Soekarno dan Hatta agar terhindar dari pengaruh Jepang.
Kemudian terjadilah peristiwa Rengasdengklok dengan menculik Soekarno dan Hatta ke kantor Peta. Di sana, golongan muda dengan diwakili Sukarni terus mendesak Soekarno agar segera mengadakan proklamasi.
Namun, satu hari sudah Soekarno dan Hatta di sana, tak kunjung mendapatkan hasil yang golongan muda mau. Alhasil, Sukarni melaporkan hal itu melalui utusan yakni Jusuf Kunto kepada golongan muda yang ada di Jakarta.
Di Jakarta mereka mengadakan rapat mengenai bagaimana waktu proklamasi kemerdekaan. Turut hadir Achmad Soebarjo selaku golongan tua dalam perundingan tersebut. Ia kasihan dengan Soekarno dan Hatta karena sudah seharian berada di Rengasdengklok.
Terlebih saat itu, anak Soekarno yang masih bayi turut dibawa. Acmad Soebarjo berjanji akan menyelanggarakan proklamasi paling lambat pukul 12.00 tanggal 17 Agustus 1945. Ia rela menjadi jaminan jika kemerdekaan tak diselenggarakan pada tanggal 17 Agustus.
Acmad Soebardjo juga mengatakan bahwa untuk apa para pemimpin berada di sana, padahal bantak hal yang harus di bereskan di Jakarta. Mendengar hal itu, kemudian Achmad Soebarjo dan para golongan muda pergi ke Rengasdengklok untuk membebaskan Soekarno. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Soekarno pada singgih.
Soekarno berjanji akan mengadakan proklamasi begitu sampai di Jakarta. Laksamana Maeda juga mengatakan bahwa ia akan mengizinkan tempatnya untuk membuat naskah proklamasi jika Soekarno dan Hatta dibebaskan. Alhasil, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta dan peristiwa Rengasdengklok berakhir.
Setelah semua sepakat mengenai waktu proklamasi, malam itu juga mereka berangkat ke Jakarta. Di jakarta mereka langsung ke rumah Laksamana Maeda yang ada di Meiji Dori. Namun, setibanya di kediaman Laksamana Maeda, sang pemilik rumah menjelaskan masalah status Jepang dan kebenaran informasi terkait kekalahan Jepang.
Kemudian Laksamana Maeda meminta mereka untuk menemui Kepala Pemerintahan Militer Jepang yakni Jenderal Moichiro Yamamato. Mereka segera berangkat ke sana dan setibanya di sana mereka tak mendapatkan hasil yang memuaskan.
Jenderal Nishimura selaku perwakilan militer Jepang melarang segala bentuk perubahan situasi. Mereka harus menunggu kedatangan sekutu terlebih dahulu. Namun, mereka tak mendengarkan saran dari petinggi militer Jepang.
Mereka bersepakat bahwa Jepang tidak menepati janjinya mengenai hadiah kemerdekaan dan kemerdekaan harus tetap dilaksanakan dengan waktu yang secepatnya
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul tiga dini hari, mereka baik golongan tua maupun muda datang ke rumah Laksamana Maeda. Sebagaimana janjinya jika Soekarno Hatta dibebaskan maka rumahnya akan dijadikan tempat perumusan naskah proklamasi.
Rumah tersebut dinilai aman karena jabatan Laksamana Maeda sebagai penghubung angkatan darat dan angkatan laut. Setelah tiba di rumah Laksamana Maeda, Soekarno, Hatta, beserta Achmad Soebardjo, Sukarni dan Sayuti Melik pindah ke ruang tamu kecil. Sementara Laksamana Maeda pamit ke lantai dua rumahnya karena tidak ingin mengganggu.
Kemudian, Soekarno, Hatta dan Achmad Soebardjo berembuk terkait naskah proklamasi. Achmad Soebardjo menyampaikan gagasannya yang intinya untuk membuat naskah penting tidak perlu berkaca pada negara lain.
Sebab, apa yang baik untuk negara lain belum tentu baik juga bagi Indonesia. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan saat pembuatan naskah. Selama dua jam merumuskan hasilnya didapatkan sebuah naskah proklamasi yang ditulis langsung oleh Soekarno.
Kemudian mereka menemui para pemuda untuk membacakan naskah yang telah rampung. Terdapat beberapa revisi pada teks tersebut. Seperti penandatanganan naskah yang semula akan ditandatangan oleh semua yang hadir menjadi hanya ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta.
Nama keduanya menjadi perwakilan bangsa Indonesia pada naskah proklamasi. Setelah disepakati maka naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik.
Setelah teks proklamasi disepakati maka diputuskan bahwa esok hari akan dilaksanakan upacara kemerdekaan sekaligus pembacaan proklamasi di rumah Soekarno yakni di Jalan Pegangsaan Timur No 56. Saat ini rumah tersebut menjadi Gedung Perintis Kemerdekaan Jalan Proklamasi Nomor 1.
Sebelum pulang, Hatta menyampaikan pesan kepada BM Diah untuk menyebarluaskan teks proklamasi. Esok harinya dilakukan persiapan menjelang kemerdekaan. Soekarno dan Hatta didaulat untuk membacakan teks proklamasi.
Selain itu, Soekarno juga menyampaikan pidato kemerdekaan yang menyerukan untuk terus berjuang dari belenggu penjajahan. Hari itu, kemerdekaan disambut dengan penuh suka cita. Untuk mengabadikan peristiwa penting, ada perwakilan dari kantor berita Domei yang sudah menunggu sejak pagi.
Kantor berita Domei mengirimkan utusannya langsung bahkan tak tanggung-tanggung mereka menurunkan kepala fotografi yakni Alex Mandoer. Tak sendirian, Alex mengajak serta adiknya yakni Frans. Sayangnya, foto yang telah didapatkan susah payah, dirampas oleh Jepang. Untung saja, foto di kamera milik frans masih bisa diselamatkan dan menjadi arsip nasional.