Daftar isi
Permasalahan pemerintah Belanda terutama VOC dengan masyarakat Minahasa tidak berakhir begitu saja. Setelah upaya pendekatan yang dilakukan oleh masyarakat Minahasa kepada pihak VOC membuahkan hasil. VOC berpeluang besar untuk menguasai wilayah Tondano di Minahasa.
Setelah kejadian beberapa tahun lalu, perang Tondano kembali meletus. Yang mana Perang Tondano II ini terjadi pada pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels. Berikut pemaparan mengenai perang Tondano II.
Bertahun tahun setelah terselesaikannya perang Tondano I, meletuslah perang Tondano II. Yang mana saat terjadinya bertepatan dengan masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels.
Pada masa pemerintahannya, Gubernur Jenderal Daendels menetapkan sebuah kebijakan baru yang berkaitan dengan usaha untuk memperkuat sistem pertahanan.
Yang mana hal tersebut ditujukan untuk dapat menahan berbagai serangan yang berasal dari Inggris. Upaya yang dilakukan oleh Belanda dalam rangka melakukan perlawanan kepada Inggris adalah dengan merekrut beberapa pasukan. Pasukan pasukan tersebut pastilah berasal dari pribumi.
Yang dalam pemilihannya, Belanda lebih suka pribumi yang berasal dari suku Madura, Dayak, serta Minahasa. Rasa suka tersebut didasari atas jiwa keberanian tinggi yang dimiliki oleh ketiga suku itu.
Untuk dapat melancarkan segala upayanya, Pemerintah Belanda memberikan mandat kepada Kapten Hartingh selaku Residen Manado Prediger untuk mengumpulkan pada ukung walak atau pemimpin adat daerah.
Yang tingkatannya setingkat dengan distrik kecamatan. Pengumpulan para pemimpin adat itu bertujuan untuk memberitahukan kepada pemimpin adat supaya bersedia menyediakan pasukan perang. Yang mana dalam perkembangannya, pasukan perang itu akan dikirim ke Pulau Jawa.
Untuk wilayah Minahasa sendiri, pemerintah Belanda menargetkan adanya 2000 pemuda yang akan dikirim ke Jawa untuk menjadi calon pasukan Hindia – Belanda.
Lagi lagi sama dengan yang ada di Perang Tondano I, Masyarakat Minahasa memilih untuk menolak mentah mentah permintaan pemerintah belanda itu. Penolakan tersebut diiringi dengan adanya usaha perlawanan dari masyarakat Minahasa kepada Belanda.
Segala bentuk perlawanan masyarakat Minahasa kepada pemerintah Belanda dipusatkan di wilayah Tondano. Salah satu pemimpin yang mendorong perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Beliau beranggapan bahwa rakyat Minahasa harus melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda.
Yang mana perlawanan itu sebagai wujud penolakan terhadap kebijakan pengiriman 2000 pemuda Minahasa ke Jawa sebagai sebuah pasukan Belanda. Selain itu, perlawanan ini juga ditujukan untuk melakukan penolakan terhadap kebijakan Belanda yang meminta beras secara cuma Cuma kepada masyarakat Minahasa.
Dengan adanya perlawanan yang mulai dilancarkan oleh pihak Minahasa, Gubernur Prediger sebagai kaki tangan pemerintah Belanda saat itu tidak memiliki pilihan lain.
Mau tidak mau Gubernur Prediger harus mengirimkan pasukan untuk menyerang pertahanan pertahanan masyarakat Minahasa yang berada di wilayah Tondano. Dalam upaya perlawanan ini, Belanda kembali menerapkan strategi yang sama dengan perang Tondano I.
Yang mana Belanda mulai melakukan pembendungan kembali pada aliran sungai temberan. Selain itu,Gubernur Prediger juga tidak segan segan untuk membentuk 2 sekaligus pasukan perang.
Dalam pembentukannya Prediger mengusahakan untuk memilih pasukan yang tangguh nan berani.
Dalam penerapannya, pasukan satu yang telah disiapkan diperintahkan dari Danau Tondano. Sedangkan pasukan lainnya diperintahkan untuk melakukan penyerangan terhadap minawanua dari sisi darat. Pertempuran ini mulai mencapai puncaknya pada tanggal 23 Oktober 1808.
Pasukan tangguh Belanda yang disiapkan dari Danau Tondano berhasil melancarkan serangannya. Pasukan tersebut merusak semua pagar bambu berduri yang digunakan untuk membatasi danau dengan perkampungan minawanua.
Kerusakan tersebut menyebabkan pasukan belanda dengan mudah menerobos pertahanan dari masyarakat Minahasa di Minawanua.
Peperangan diantara pemerintah belanda dengan masyarakat Minahasa berlangsung hingga malam hari. Para pejuang Minahasa tetap semangat untuk melakukan berbagai perlawanan dari rumah ke rumah.
Hal itu menyebabkan pasukan Belanda menjadi kewalahan dalam mengimbangi berabagai serangan yang dilakukan oleh masyarakat Minahasa.
Sehingga pada 24 Oktober 1808, para pasukan belanda yang berada di darat berupaya untuk menyerang pertahanan dari kampung Minawanua.
Serangan secara membabi buta dilakukan oleh Belanda terhadap kampung tersebut. Lama kelamaaan, pasukan prediger mulai mengendorkan serangannya terhadap masayarakat.
Momentum tersebut tidak disia siakan begitu saja oleh masyarakat Minahasa, mereka muncul dan langsung melakukan penyerangan besar besaran terhadap pasukan Belanda. Atas serangan tersebut Belanda terpaksa harus menarik mundur seluruh pasukannya. Seiring dengan perlanwan antara kedua belah pihak, luapan air yang berasal dari sungai temberan mulai mempersulit ruang gerak dari pasukan Belanda.
Dari arah yang berlawanan, pasukan Belanda terus melakukan penyerangan dengan melemparkan meriam ke arah kampung minawanua. Namun, berbagai serangan itu tidak berjalan efektif. Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama. Dalam perkembangnnya, terdapat beberapa pejuang yang mulai tertekan sehingga berpihak pada pemerintah belanda.
Namun, disisi laim terdapat kelompok para pejuang yang masih berjuang mati matian untuk memberikan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Perang Tondano II menuju akhirnya tepat pada tanggal 5 Agustus 1809, yang mana kekalahan berada pada pihak pejuang Minahasa. Kekalahan tersebut dipicu hancurnya benteng pertahanan yang dimiliki oleh masyarakat Minahasa.
Perang Tondano II bertujuan untuk memenuhi kekurangan pasukan Hindia Belanda yang beraada di Pulau Jawa. Atas dasar itu, Gubernur Jenderal Daendels memutuskan untuk mengambil pasukan pasukan yang berasal drai pribumi, termasuk pemuda yang berasal dari Minahasa.
Namun, pemerintahan tersebut ditolak oleh para pemimpin dan masyarakat Minahasa.
Masyarakat Minahasa tidak sudi menyerahkan 2000 pemudanya untuk dijadikan sebagai pasukan perang Hindia Belanda. Sebagai wujud penolakan keras tersebut, masyarakat berinisiatif untuk melakukan perang terhadap Belanda.
Perang Tondano II dilipui oleh semangat pejuang yang tidak mengenal kata lelah dan menyerah. Mereka berjuang mati matian hingga titik darah penghabisan untuk mempertahankan martabat dan hak wilayahnya. Berikut merupakan tokoh perjuangan Perang Tondano II di Minahasa.
Tokoh perjuangan Minahasa yang mati matian melakukan perlawanan pada Belanda di balik benteng Moraya. Walupun harus diakhiri dengan kematiannya di tanah tercintanya.
Tokoh pejuang Minahasa yang melakukan pertahanan di balik benteng Moraya sampai dengan titik darah penghabisannya.
Tokoh perjuangan Minahasa yang mati matian melakukan perlawanan pada Belanda di balik benteng Moraya. Walupun harus berakhir dengan kematiannya ditangan pasukan Belanda.
Tokoh perjuangan Minahasa yang mati matian melakukan perlawanan pada Belanda di balik benteng Moraya.
Perang Tondano II berakhir pada awal abad XIX. Yang mana peperangan ini harus berakhir dengan kekalahan pada pihak masyarakat Minahasa. Dalam perang ini Belanda tidak tanggung tanggung dalam melancarkan serangan meriamnya.
Serangan tersebut yang membuat para rakyat Minahasa harus berjuang secara mati matian hingga titik darah penghabisan.
Para rakyat Minahasa yang dibawah pimpinan Lonto, tewu, Matulandi, Mamahit dan Korengkeng tak henti hentinya melakukan usaha pertahanan dan perlawanan di balkbenteng Moraya.
Benteng Moraya merupakan satu satunya benteng yang dapat dijadikan sebagai pertahanan dan perlindungan rakyat Minahasa. Tepat pada tanggal 5 Agustus, saat benteng Moraya berhasil diruntuhkan oleh pasukan Belanda, rakyat Minahasa susdah tidak dapat lagi melakukan perlawanan.
Waktu sang surya menampakkan cahayanya diufuk Timur, para pahlawan pejuang Minahasa sudah tak nampak lagi. Semua yang tersisa hanya puing puing dan runtuhan benteng disertai dengan mayat mayat para pejuang itu. Tidak ada lagi para pejuang yang mati matian mempertahankan wilayahnya di Minahasa. Semua telah musnah, yang tersisa hanya semangat perjaungan mereka di tanah Minahasa.
Perang Tondano II berdampak buruk bagi masyarakat Minahasa. Yang mana masyarakat Minahasa harus menelan kekalahan dua kali berturut turut dari pasukan Belanda.
Para masyarakat Minahasa pun harus rela kehilangan banyak pejuang nya dalam misi perlawanan tersebut. Dari segi material, masyarakat Minahasa kehilangan beberapa benteng pertahanannya.