Daftar isi
Pertempuran Ambon merupakan bagian dari serangan Jepang ke Koloni Belanda selama Perang Dunia II. Pertempuran ini berlangsung dari 30 Januari 1942 hingga 3 Februari 1942, merupakan upaya Jepang dalam menaklukkan Pulau Ambon di mana mereka harus menghadapi pertahanan gabungan pasukan Amerika Serikat, Belanda, dan Australia.
Selama pertempuran, banyak terjadi pembantaian secara besar-besaran terhadap ratusan tawanan perang dari pihak Belanda dan Australia. Jepang akhirnya memenangkan pertempuran yang menjadikan mereka penguasa baru di Pulau Ambon beserta lapangan udaranya.
Ambon, yang berada di Kepulauan Maluku dan sebelah selatan Pulau Seram, terdiri dari dua semenanjung yang dipisahkan oleh teluk sempit namun memanjang di kedua sisi, merupakan definisi tempat paling strategis untuk dijadikan pangkalan udara.
Terutama bandara utama di Laha, yang berlokasi di sebelah barat Semenanjung Hitu dan berhadapan langsung dengan Teluk Ambon
Meski berada di wilayah terluar Hindia Belanda, pemerintah Belanda tahu bahwa Ambon berpotensi sebagai lokasi strategis sebagai pangkalan udara yang mampu memperkuat pertahanan mereka sejak 1941. Ditambah dengan pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) tambahan dari Pulau Jawa.
Sementara Australia sejak awal tahun 1940-an, telah menyadari bahwa Pulau Ambon merupakan lokasi yang bisa dijadikan batu loncatan bagi tentara Jepang untuk menyerang Australia dari arah utara.
Berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Belanda, terutama pemerintah kota Canberra setuju untuk memperkuat pertahanan Belanda dengan mengirimkan pasukan Australia ke Pulau Ambon dan Timor Timur.
Namun demikian, Komandan Brigade ke-23 Australia Brigadir Edmund Lind menyatakan keberatannya terkait pengiriman pasukan ke Ambon, mengingat kurangnya jumlah persenjataan dan aset Angkatan Udara pasukan Australia. Ia juga menyebut bahwa unit penghubung antara militer Australia dan Belanda di Ambon tidak ada.
Pada 14 Desember 1941, terdapat sebuah konvoi yang terdiri dari pengawal HMAS Adelaide dan Ballarat yang menaiki kapal Valentijn dan Patras milik Belanda.
Dalam konvoi tersebut ada sekitar 1.090 pasukan “Gull Force” yang berangkat dari Darwin, Australia dan tiba di Ambon pada 17 Desember 1941. Kapal HMAS Swan yang membawa pasukan dari Banten tiba pada 12 Januari 1942.
Selama Perang Pasifik pada 8 Desember 1941, Belanda telah menempatkan 2,800 prajurit infanteri Molukken Brigade dari KNIL yang dipimpin oleh Overstee Joseph Kapitz.
Pada 17 Desember 1941, Angkatan Darat Australia kemudian mengirim 1.100 prajurit Gull Force (Pasukan Camar) dari Batalion 2/21 di bawah pimpinan Letkol Leonard Roach, guna memperkuat pertahanan KNIL di Ambon.
Pada 6 Januari 1942, banyak dari koloni Belanda dan Inggris di Asia yang dikuasai Jepang, dan Ambon menjadi tujuan selanjutnya. Upaya Leonard Roach dalam meminta bantuan kepada Sekutu, memicu kekesalan Jepang yang semakin gencar melakukan invasi, namun Sekutu melakukan sebaliknya.
Pada 14 Januari 1942, Sekutu yang berada dalam situasi semakin terimpit, justru mengganti Leonard Roach dengan Letkol Scott. Pangkalan Laut Halong menjadi markas utama pasukan Sekutu, dan dilengkapi dengan 1 detasemen anti senapan, 4 meriam anti pesawat, dan 4 unit mobil lapis baja.
Pasukan KNIL memusatkan konsentrasi pertahanan mereka di Passo, di bawah pimpinan Mayor H. L. Tieland. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi serangan dari teluk Baguala.
Selain itu, KNIL juga menempatkan pasukannya di beberapa wilayah yang tersebar di sebelah utara Pulau Ambon, guna mengantisipasi pendaratan Jepang di Hitu.
Di bawah kepemimpinan Mayor Mark Newburry, Sekutu menempatkan sekitar 300 prajurit KNIL di bandar udara Laha dan dua kompi pasukannya di Batalion 2/21.
Sementara Letkol Scott dan pasukan Gull Force menyebar di Gunung Nona, Eri, Latulahat, dan Amahusu. Guna mengantisipasi serangan dari Teluk Ambon.
Sebelumnya, kekaisaran Jepang telah membentuk Gugus Tugas Angkatan Laut yang bertugas melakukan invasi ke Ambon, di bawah pimpinan Laksamana Muda Ibo Takahash.
Gugus tugas ini dilengkapi dengan kapal induk Soryu dan Hiryu, kapal penjelajah ringan Jintsu, 15 kapal perusak, kapal penjelajah berat Haguro dan Nachi, 4 kapal penyapu ranjau, 4 kapal anti kapal selam, 2 kapal patroli, dan 2 seaplane tender.
Sebanyak 5.300 prajurit dari Detasemen Ito Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dikirim dalam invasi ini. Detasemen ini berada di bawah kepemimpinan Mayjen Takeo Ito, yang terdiri dari pasukan Resimen Infanteri 228, Mabes Divisi 38, dan pasukan khusus marinir Kure Landing Force 1. Serta dua peleton Sasebo SNLF yang dipimpin Laksamana Muda Koichiro Hatakeyama.
Sejak 6 Januari 1942, beberapa serangan telah dilakukan oleh pihak di Ambon Jepang melalui pesawat-pesawat tempur. Pesawat-pesawat tempur Sekutu kemudian melakukan perlawanan secara mendadak yang menandakan pertempuran telah dimulai.
Pada 13 Januari, dua pesawat tempur tipe Brewster Buffalo milik sekutu, yang dikemudikan oleh Letnan Broers dan Sersan Blans, menyerang pesawat tempur Jepang Mitsubishi A6M Zero.
Perlawanan demi perlawanan terus dilakukan, hingga pesawat yang dikemudikan Broers tertembak dan terbakar, namun ia tetap bertahan dan terus menyerang hingga pesawat tak terkendali.
Sadar jika ia kalah, Broers keluar dan terjun dari pesawat menggunakan parasut dan mendarat di laut. Kekalahan juga dialami Blans, yang memutuskan untuk terjun dari pesawat dan mendarat di antara pepohonan di Ambon. Keduanya berhasil dievakuasi.
Meski selamat dari pertempuran, Broers menderita luka bakar parah dan Blans mengalami 17 luka berbeda di sekujur tubuhnya.
Akibat dari pertempuran udara tersebut, pangkalan udara Angkatan Laut di Halong tidak bisa digunakan oleh Jepang untuk melakukan serangan udara balik. Pada pertengahan Januari, Angkatan Laut Belanda dan Amerika Serikat meninggalkan lokasi tersebut.
Sekitar 1.000 marinir Jepang dan Personel Imperial Japanese Army (IJA) mendarata di Hitu Lama, Pantai utara, pada 31 Januari 1942. Disusul oleh berbagai elemen lain dari resimen ke-288 mendarat di Semenanjung Laitimor.
Meski pasukan Angkatan Darat Jepang kalah secara jumlah dari pasukan Sekutu, Jepang jauh lebih unggul dalam dukungan udara, medan dan artileri laut, serta jumlah tank. Jepang akhirnya mampu memukul mundur pasukan sekutu, meninggalkan beberapa staf darat Royal Australian Air Force (RAAF).
Semua pesawat Sekutu yang tersisa ditarik pada hari itu juga dari Hitu. Selanjutnya, pasukan Jepang bergerak dari Hitu menuju kota lain. Selain itu, kemenangan pertama Jepang tidak lepas dari terputusnya saluran telepon milik KNIL .
Masih di hari yang sama, pendaratan kedua pasukan Jepang di Hutumuri dan di Batu Gong berjalan mulus. Satu peleton infanteri Australia dikerahkan untuk memperkuat pertahanan di Gunung Nona. Sementara satu peleton KNIL dikerahkan di Passo untuk menahan serangan Jepang di Batu Gong.
Pada 31 Januari 1942, sekitar dini hari, pasukan Jepang berhasil merebut Batu Gong. Serangan mereka kemudian diarahkan menuju pertahanan Sekutu yang berada di wilayah Passo.
Dalam keadaan terdesak, Kapitz memerintahkan Kompi KNIL Ambon di Eri berpindah menuju ke Kudamati, guna mengantisipasi serangan Jepang yang diperkirakan ditujukan ke sana.
Siang harinya, Kapitz memindahkan markas pertahanan Sekutu dari Halong ke Lateri. Hal ini dikarenakan Jepang telah melakukan sabotase terhadap telepon dan jaringan komunikasi Sekutu, terutama antara Kapitz dan bawahannya, maupun dengan Letkol Scott.
Pasukan Jepang yang mendarat di Hitu Lama lalu bergerak menuju Passo, di sana melancarkan serangan dari arah timur laut.
Sekutu yang saat itu dalam posisi terimpit dari dua arah, yakni dari arah Hitu Lama dan arah Batu Gong, merasa bingung sampai tidak diketahui siapa yang mengeluarkan perintah untuk menyerah.
Para sejarawan hanya mencatat pengakuan dari Kapitz terkait apa yang terjadi pada senja kala itu. Kurang lebih seperti yang ditulis oleh jurnalis Lionel Gage Wigmore, “Pada pukul 18.00 (waktu setempat), sebuah sepeda motor dengan sespan terlihat di sisi barat jalanan Passo mengibarkan bendera putih menuju ke arah pasukan Jepang. Berbagai tembakan dari batas pertahanan Passo berhenti atas perintah Komandan Kompi KNIL, dan para prajurit diizinkan untuk beristirahat dan makan”.
Meski tidak diketahui siapa yang mengeluarkan perintah tersebut, Kapitz sempat menunggu perkembangan guna melanjutkan pertempuran. Pihak Jepang sendiri juga lambat terkait insiden tersebut, sehingga Kapitz dan Tieland memerintahkan pasukan KNIL melanjutkan pertempuran.
Namun, ketika Kopitz dan Tieland kembali ke posisi semula, mereka mendapati pasukannya telah ditawan dan dipaksa menyerah oleh pihak Jepang efek pengibaran bendera putih tersebut.
Pada sore harinya, Jepang lantas melancarkan serangan darat ke wilayah Laha. Satu peleton pasukan Australia di timur laut lapangan terbang juga diserang oleh pasukan Jepang, namun dengan intensitas lebih kuat. Hal ini menyebabkan pasukan Australia mundur dan meninggalkan Laha.
Di saat yang bersamaan, pasukan Jepang telah dekat dengan pusat kota Ambon. Sekitar pukul 4 sore, pasukan Jepang berhasil merebut kota Ambon dari Sekutu dan menawan beberapa orang dari unit pertolongan medis Australia.
Pada Minggu, 1 Februari 1942, pasukan Jepang melancarkan serangan secara bersamaan di beberapa lokasi sekaligus. Dalam serangan tersebut, Jepang telah menangkap Kapitz dan beberapa staf markasnya pada dini hari.
Kapitz yang telah menjadi tawanan, menulis perintah yang ditujukan kepada Letkol Scott untuk menyerah, termasuk pasukannya yang bertahan di Passo.
Pada hari itu pula, pasukan Jepang menyerang satuan transportasi Australia dan pasukan KNIL yang bertahan di Kudamati. Serangan dilakukan hingga ke pantai Benteng, yang menyebabkan pasukan Sekutu di Kudamati semakin terdesak.
Pasukan infanteri Jepang juga melakukan serangan ke sisi timur, tepatnya di Amahusu di mana pasukan Australia bertahan.
Selain itu, pesawat tempur Jepang terus menembaki pasukan KNIL dan Australia yang ada di wilayah Gunung Nona dan Eri, hingga terjadi pertempuran sengit diantara kedua kubu.
Meski pasukan Australia menerima dukungan dari sejumlah besar personel KNIL yang telah mundur dari Passo, sekitar puku 22.30 waktu setempat, Scott memerintahkan penarikan pasukan Sekutu di Amahusu dan Barat daya menuju Eri. Posisi mereka di Kudamati secara otomatis dikepung oleh pasukan Jepang.
Pada 2 Februari, kapal penyapu ranjau tipe W-9 milik Jepang tenggelam akibat menabrak ranjau yang sengaja diletakkan oleh kapal penambang Belanda tipe HNLMS Gouden Leeuw di Teluk Ambon. Sementara dua kapal milik Jepang lainnya mengalami kerusakan akibat ranjau laut.
Setelah fajar masih di hari yang sama, pasukan utama Australia di Gunung Nona, yang dipimpin oleh Letnan Bill Jinkins, dikepung pasukan Jepang.
Ia memerintahkan pasukannya untuk mundur setelah mengetahui bahwa Belanda telah menyerah. Letkol Scott dan pasukannya juga tidak diketahui keberadaannya.
Jinkins kemudian memutuskan menemui perwira senior Jepang, di bawah gencatan senjata kota Ambon. Pihak Jepang mengizinkan Jinkins bertemu dan berbicara dengan Kapitz, yang kemudian menulis pesan berisi himbauan kepada pasukan Australia untuk menyerah. Jinkins melanjutkan pencariannya terhadap Letkol Scott.
Sementara itu, pasukan Jepang terus diperkuat dengan menyerang Laha. Konsentrasi serangan terhadap Sekutu pun dimulai, termasuk artileri Angkatan Laut, pesawat tempur, pembom tukik, dan serangan pengintai infanteri.
Malam harinya, Jepang melakukan serangan di dekat pantai namun mampu dipukul mundur oleh peleton Australia. Namun, serangan masif Jepang dimulai sejak fajar tanggal 2 Februari.
Pada pukul 10.00 waktu setempat, hanya 150 prajurit Australia dan beberapa personel KNIL yang masih dapat bertempur di Laha. Oleh Newbury kemudian diperintahkan untuk menyerah.
Pagi hari tanggal 3 Februari, pasukan Australia yang bertahan di Eri berjuang menahan gempuran udara dan laut dari pasukan Jepang yang meningkat dari hari-hari sebelumnya. Banyak prajurit Australia yang terluka, amunisi yang semakin menipis, dan kondisi fisik yang lelah membuat pasukan Australia melemah.
Pada saat itu pula, Jinkins berhasil bertemu dengan Scott. Scott memutuskan menemui perwira Jepang untuk menyatakan bahwa mereka menyerah.
Posisi pasukan Sekutu di Kudamati saat itu diserahkan secara terpisah dan di waktu siang hari. Sebuah bendera Jepang kemudian terlihat berkibar di sisi lain teluk, menandakan kemenangan Jepang terhadap Sekutu.
Selama pertempuran Ambon 1942, Sekutu mencatat bahwa korban jiwa yang diderita pasukannya relatif kecil.
Dua minggu setelah penyerahan, tentara Jepang secara acak memilih sebanyak 300 orang dari tawanan perang Belanda dan Australia untuk dilakukan eksekusi. Eksekusi dilakukan di dekat lapangan udara Laha.
Alasan dilakukannya eksekusi ini adalah sebagai aksi balas dendam atas tenggelamnya kapal penyapu ranjau Jepang. Beberapa awak kapal penyapu ranjau tersebut terlibat dalam eksekusi. Beberapa korban pembantaian Laha antara lain Wing Commander Scott dan Mayor Newbury.
Menurut Sejarawan Australian War Memorial, Dr Peter Stanley, kekejaman pembantaian Laha berada satu level di bawah pembantaian Sandakan. Selama tiga tahun berikutnya, para tawanan perang yang masih hidup banyak yang kemudian dikirim ke Pulau Hainan di akhir 1942.
Stanley melanjutkan bahwa sekitar tiga perempat prajurit Australia yang ditawan di Ambon tewas sebelum perang berakhir. Dari 582 yang ditawan hidup-hidup, 405 tewas.
Sebagian besar dari mereka tewas akibat dipaksa bekerja terlalu berlebihan, wabah penyakit, kurang gizi, dan penyiksaan secara terus menerus oleh tentara Jepang.
Pada 1946, Pertempuran Ambon 1942 menjadi salah satu subjek penting dari proses peradilan kejahatan perang terkejam sepanjang sejarah peradaban manusia.
Sebanyak 93 prajurit Jepang terbukti bersalah dan diadili oleh Pengadilan Militer Australia. Laksamana Hatakeyama diketahui sebagai orang yang memerintahkan pembantaian Laha, namun meninggal sebelum ia diadili.
Sementara Kunito Hatakeyama, yang memimpin langsung prosesi pembantaian Laha dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung. Letnan Kenichi Nakagawa dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
Sementara tiga perwira Jepang lainnya dieksekusi karena terbukti melakukan perbuatan tidak manusiawi kepada tawanan perang dan masyarakat sipil.
Pada tahun yang sama, Jenderal Ito dijatuhi hukuman mati atas dakwaan kejahatan perang di bagian Pasifik lain selama Perang Dunia II.
Pertempuran selama lima hari yang mencekam, serta diakhiri dengan peristiwa pembantaian yang brutal dan kejam. Sisa-sisa pasukan Gull Force, banyak yang sempat melarikan diri dibantu oleh penduduk lokal Ambon dari Pantai Leahari.
Setidaknya ada 30 prajurit Australia, termasuk Jinkins yang melarikan diri dari Ambon beberapa minggu setelah penyerahan diri. Pelarian mereka seringkali dilakukan dengan mendayung kano (perahu) menuju Pulau Seram.
Hasil lain dari jatuhnya Ambon ke tangan Jepang adalah realisasi ketakutan Australia terhadap serangan Jepang, ketika pesawat tempur Jepang yang berbasis di Ambon melakukan serangan udara secara besar-besaran ke Darwin, Australia pada 19 Februari 1942.