Sultan Abu Al-Fath Abdulfattah atau lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa, dimana merupakan Sultan Banten ke-6. Ia memegang tangkuh jabatan Kesultanan Banten pada usia 20 tahun. Meskipun usianya masih muda, namun pemikiran akan pemerintahan kesultanan Banten sangatlah matang dan bijak. Jadi, tidak heran kalau di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa inilah, Kesultanan Banten mengalami puncak kejayaan dan kemegahannya.
Dalam sistem pertanian, dibuat sistem irigasi yang baik sehingga hasil pertanian pun menjadi berkualitas. Tidak hanya itu, pada bidang perdagangan dan pelayaran pun, pemerintahan Banten membuka kesempatan bagi para pedagang luar seperti Persia, Arab, China, India, Melayu, dan Filipina, untuk masuk berdagang di wilayah Kesultanan Banten. Hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, juga dijalin dengan baik. Alhasil, Kesultanan Banten pun semakin kuat dan tangguh.
Keberhasilan Sultan Ageng Tirtayasa dalam memimpin Kesultanan Banten, ternyata membuat Belanda tidak senang. Hal ini dinilai Belanda, kebijakan-kebijakan Sultan Ageng Tirtayasa banyak yang merugikan negerinya. Terlebih, saat Sultan Ageng Tirtayasa menentang VOC (Vereenidge Oostindiche Compagnie) atau kongsi dagang Hindia Belanda yang menerapkan perdagangan dengan sistem monopoli.
Tentunya, hal ini pun memicu konflik besar antara pemerintah Belanda dan Kesultanan Banten. Namun, meruntuhkan Kesultanan Banten bukanlah hal yang mudah, hubungan diplomatik yang baik dengan kerajaan-kerajaan lain, membuat Kesultanan Banten mendapat banyak dukungan dan bantuan, baik berupa pasukan dan juga persenjataan.
Beberapa kali menerima kekalahan dari Kesultanan Banten, membuat Belanda mencari taktik lain untuk menghancurkan Kesultanan Banten. Politik devide et impera atau lebih dikenal sebagai politik adu domba, menjadi pilihan utama Belanda untuk menghancurkan Kesultanan Banten, yakni Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan memanfaatkan perselisihan diantara putra-putra Sultan Ageng Tirtayasa, Belanda pun perlahan mulai menjalankan politik adu domba.
Belanda mulai menghasut putra-putra Sultan Banten ke-6 itu, yakni Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal Sultan Haji dan adiknya Pangeran Purbaya. Sultan Haji pun termakan hasutan Belanda yang ingin meruntuhkan Kesultanan Banten. Ia berpikir bahwa sang ayah yakni Sultan Ageng Tirtayasa akan menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta yang akan diberikan kepada adiknya, yaitu Pangeran Purbaya.
Perang saudara pun tidak dapat dihindarkan. Sultan Haji memutuskan untuk bersekutu dengan Belanda dan secara terang-terangan menyatakan perang dengan ayah dan saudaranya sendiri. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa tidak tinggal diam. Ia pun bersama Pangeran Purbaya dan pengikut setianya, turut berperang menentang Sultan Haji dan Belanda.
Peperangan demi peperangan pun terjadi, hingga mengakibatkan Sang Sultan Banten ke-6 itu harus meninggalkan keratonnya di Sorosowan dan membuat keraton baru di Dusun Tirtayasa. Dari sinilah Sultan Banten ke-6 itu lebih dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun demikian, tidak menghentikan Belanda untuk menghancurkan Sultan Banten ke-6 itu. Belanda terus mencari keberadaan Sultan Ageng Tirtayasa dan juga menjalankan politik adu domba dengan terus menghasut Sultan Haji, hingga akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa pun tertangkap dan dimasukkan ke dalam masuk penjara.
Pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa pun menghembuskan nafas terakhir di dalam penjara. Tentunya, hal ini pun membuat kesedihan yang mendalam bagi para pengikut setia Sultan Ageng Tirtayasa dan juga Pangeran Purbaya. Sultan Ageng Tirtayasa pun dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Banten di sebelah utara Masjid Agung.
Inilah akhir masa kejayaan Kesultanan Banten yang hancur akibat politik adu domba (devide et impera), sehingga terjadilah perang antar keluarga sendiri yang berlarut-larut. Namun, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap Belanda, terutama menolak kebijakan monopoli perdagangan VOC yang merugikan rakyat dan juga Kesultanan Banten, serta perubahan-perubahan yang dilakukan Sang Sultan untuk memajukan Kesultanan Banten, tentu mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang amanah dengan visi kedepan memajukan bangsanya.
Oleh karena jasa-jasanya itulah, pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa berdasarkan SK presiden republik Indonesia no. 045/TK/Tahun 1970 pada tanggal 1 Agustus 1970.