Daftar isi
Indonesia membentang dari Sabang hingga ke Merauke dengan suku bangsa yang beraneka ragam di dalamnya. Bahkan dalam satu pulau bisa dihuni oleh ratusan suku yang berbeda. Contohnya adalah di Papua yang diperkirakan ada 200–300 suku bangsa.
Para ilmuwan meyakini masih ada beberapa suku yang belum teridentifikasi karena hidup di kawasan yang sulit dijangkau manusia dan enggan tersentuh modernisasi.
Salah satu suku yang ada di tanah Papua adalah suku Amungme. Siapa dan seperti apa kehidupan suku Amungme itu? simak dalam rangkuman di bawah ini.
Suku Amungme adalah salah satu suku yang mendiami Pulau Papua. Mereka hidup di selatan dari Pegunungan Jayawijaya yakni di sekitar tambang Grasberg yang merupakan tambang biji emas tertinggi di dunia. Jumlah mereka diperkirakan ada sekitar 17.700 penduduk. Selain menyebutnya sebagai Amungme mereka juga memiliki nama lain seperti Amuy, Amung, Amui, Damal dan juga Uhunduni.
Kata Amungme merupakan gabungan dari dua kata yakni “Amung” yang berarti utama dan “me” yang memiliki arti manusia. Mereka hidup berdampingan dengan suku Papua lainnya seperti Suku Lani dan suku Dani serta orang-orang Ekagi.
Mengenai bagaimana suku Amungme ini datang terdapat beberapa teori yang berbeda. Setidaknya ada tiga Teori yang mencoba untuk mengungkapkan nenek moyang mereka. Teori yang pertama mengatakan bahwa orang Amungme datang dari Lembah Baliem yang bernama Pagema di Wamena.
Mereka datang dari tanah yang ada di dalam gua dan keluar dari kegelapan dengan membawa berbagai perlengkapan untuk bertahan hidup. Perlengkapan tersebut adalah biji dan perkakas. Berdasarkan teori kedua suku Amungme berasal dari gua yang diawasi oleh sosok bernama Menaga Nemungki.
Leluhur Amungme dilarang mengintip ataupun keluar dari dalam gua dan jika melanggar maka akan mendapatkan hukuman dari Menaga Nemungki. Nakun leluhur Amungme berhasil melarikan diri berkat bantuan anjing yang menggali terowongan. Ini juga lah yang menjadi alasan mengapa orang-orang Amungme tidak menyantap dan membunuh anjing.
Teori ketiga mengatakan bahwa orang Amungme berasal dari dua orang nenek tua yang memberikan tongkat kepada anak perempuan mereka. Anak perempuan yang suci dan bersih itu kemudian diberi tongkat oleh sang nenek. Dengan tongkat tersebut pintu gua pun terbuka dan mengajak yang lainnya untuk keluar dan membangun kehidupan.
Terlepas bagaimana leluhur suku Amungme datang ke Papua, mereka masuk ke dalam kelompok ras Melanesoid. Sehingga ciri fisik yang dimiliki pun tidak jauh berbeda dengan suku-suku di Papua lainnya. Diantara ciri fisik yang khas dari suku Amungme adalah berambut ikal hingga keriting, bagian bibir cenderung tebal dan hidung mancung serta melebar.
Kulit mereka unumya berwarna gelap dan postur tubuh mereka tegap dan kekar. Mereka juga adalah orang yang tinggi yakni sekitar 170 cm.
Secara sifat mereka dikenal sebagai bangsa yang tegas dan tak kenal kompromi. Mereka lebih sering bertidak preventif terutama kaum laki-laki. Namun dibalik itu semua masyarakat Amungme sangat menjunjung tinggi keadilan. Karakter ini terbentuk karena faktor geografis pemukiman mereka yakni di wilayah pegunungan.
Pakaian adat atau disebut juga sebagai pakaian tradisional yakni kain atau sesuatu yang digunakan untuk menutupi bagian tubuh seseorang. Pakaian asli daei suku Amungme tidak berbeda jauh dengan suku Papua lainnya yang lekat dengan alam. Para wanita Amungme menutupi tubuh bagian pinggul ke bawah dengan rok atau cawat.
Rok atau cawat tersebut dibuat dari serat kulit kayu yang sudah dikeringkan terlebih dahulu. Sedangkan kaum laki-laki Amungme mengenakan pakaian tradisional yang sudah sangat terkenal yakni koteka.
Sama dengan rok perempuan Amungme, koteka juga digunakan hanya untuk menutupi bagian bawah saja. Bahkan koteka hanya untuk menutupi penis saja. Bahan yang digunakan untuk membuat koteka pun diambil dari alam yakni kulit labu. Labu yang dipilih adalah labu yang sudah tua karena memiliki tekstur yang lebih keras. Isi labu kemudian dikeluarkan semua daj dikeringkan.
Kepercayaan yang diyakini oleh suku Amungme dan leluhur mereka adalah animisme. Mereka sangat memuja gunung dan menganggapnya sebagai tempat suci. Mereka memiliki nama sendiri untuk puncak tertinggi di Indonesia yang berada di Papua yakni Jayawijaya sebagai Nemangkawi Ninggok. Nama tersebut adalah nama asli dari puncak yang diselimuti salju ini.
Suku Amungme tidak mengenal adanya dewa dan lebih meyakini bahwa roh dan alam adalah satu kesatuan. Meski praktek animisme masih sering dilakukan namun kini sebagian besar suku Amungme sudah memeluk agama Nasrani.
Masyarakat suku Amungme berbicara dalam bahasa asli mereka yakni bahasa Amung atau bahasa Damal atau bahasa Uhunduni. Bahasa ini terdiri dari beberapa dialek diantaranya adalah dialek Amongme, dialek Amung, dialek Damal dan dialek Enggilpilu. Beberapa leksikal yang terdapat pada bahasa Uhunduni mirip dengan bahasa-bahasa dari kelompok bahasa Trans Nuginim.
Namun beberapa ahli seperti Pawley dan Hammarström menganggap hal itu tidak cukup kuat untuk mengklasifikasikan bahasa Uhunduni sebagai bahasa Trans Nugini. Penutur bahasa ini tersebar ke beberapa wilayah seperti di dataran tinggi tengah, Kabupaten Paniai, Kecamatan Beoga dan Ilaga, Kabupaten Asmat, Deiya, Mimika, dan Puncak, Pegunungan Carstens utara dan selatan, kemungkinan kabupaten Lanny Jaya dan Nduga.
Rumah adat masyarakat Amungme didebut sebagai kolokia hinangami devin namun rumah ini sudah tidak dibangun lagi. Hal itu terjadi sejak agama Kristen mulai mempengaruhi suku ini. Sehingga mereka lebih memilih untuk membangun gereja atau tempat ibadah.
Sebenarnya suku Amungme masih sesekali membangun kolokia hinangami devin namun hanya pada waktu tertentu saja. Biasanya ketika mereka meyakini akan terjadi bencana atau malapetaka.
Suku Amungme adalah suku yang masih sangat primitif dan tidak begitu banyak memiliki bentuk kebudayaan. Kebiasaan mereka adalah bersyair atau menghasilkan suara-suara yang khas. Hal itu biasa mereka lakukan di atas bukit sembari menatap puncak Cartenz. Bunyi-bunyi an tersebut adalah cara suku Amungme untuk mengungkapkan emosi mereka baik suka, duka maupun syukur.
Kendati pun tanah mereka dilapisi oleh emas nakun faktanya harta karun tersebut dimanfaatkan oleh perusahaan asing. Masyarakat suku Amungme masih mengandalkan pertanian sebagai mata pencaharian mereka.
Pertanian yang mereka jalankan adalah pertanian nomaden. Artinya lahan mereka selalu berpindah-pindah. Selain itu suku Amungme juga bergantung pada kegiatan meramu.