Daftar isi
Indonesia terdiri dari berbagai pulau dimana setiap pulau tersebut di huni oleh berbagai suku. Diantara banyaknya suku di indonesia kali ini kita kan membahas mengenai suku Donggo. Berikut pembahasan mengenai sejarah, ciri khas, hingga kebudayaannya.
Suku Donggo adalah suku bangsa asli yang mendiami pulau Nusa Tenggara Barat. Suku ini tinggal di sebagian wilayah kabuapten Dompu dan Kabupaten Bima. Mereka adalah orang yang pertama kali datang dan menetap di Pulau Nusa Tenggara.
Nama Donggo diambil dari kata “duo” dan “donggo” yang memiliki arti “orang gunung”. Suku Donggo menganggap mereka berasal dari wilayah swangga yang merupakan suatu daerah pegunungan terpencil di suatu tempat. Pada zaman dahulu orang-orang Donggo hidup berkelompok dimana setiap kelompok akan dipimpin oleh seorang yang disebut dengan Naka-Niki. Dalam kehidupannya kelompok-kelompok tersebut sering terjadi peperangan.
Mereka juga hidup secara nomaden yaitu berpindah-pindah tempat. Zaman tersebut dikenal dengan nama zaman Naka-Niki. Hingga pada suatu ketika mereka tidak lagi tinggal di wilayah pegunungan dengan kehidupannya yang kehidupan yang keras.
Mereka berpindah turun ke daratan yang lebih rendah. Ketika mulai menjalani kehidupan di daratan rendah mereka juga mulai menjalin sosialisai dan komunikasi dengan kelompok lain. Kegiatan sosial tersebut berhasil mengurangi konflik di antara mereka. Jika ketika mereka tinggal di gunung mereka menerapkan pola hidup berburu, di sini suku donggo mulai mengenal bercocok tanam.
Semakin lama kelompok tersebut semakin membesar hingga membentuk sebuah klan atau atau rafu. Pada abad ke 14 mereka mulai mendapat pengaruh dari agamah Hindu. Agama tersebut membuat suku Donggo semakin terbuka dengan kelompok lain aseperti dari Ambon, Flores, dan kelompok lainnya.
Ciri fisik yang dimiliki oleh orang-orang suku Donggo tidak berbeda jauh dengan suku di Indonesia pada umumnya yaitu berkulit sawo matang dengan rambut berwarna hitam.
Masyarakat suku Donggo sejak dahulu kala bermata pencaharian sebagai petani dengan sistem tebang hangus atau disebut dengan “ngoho”. Mereka akan menebang pohon dengan cara dbakr kemudian sisa pembakaram tersebut dibersihkanyang dikenal dengan istilah “boro”. Ketika musim hujan datang lahan tersebut siap untuk ditanami. Sebelum melakukan penanaman mereka akan melakukan ritual untuk menentukan hari yang tepat untuk penanaman.
Selain bercocok tanam, masyarakat donggo juga melakukan perburuan yang dilakukan selama satu minggu atau satu bulan, Kegiatan berburu tersebut dilakukan secara berkelompok. Mereka akan mendapatkan hasil perburuan berdasarkan dengan banyaknya kontribusi yang mereka berikan selama perburuan.
Apali hasil buruan mereka melimpah maka akan dibagikan secara Cuma-Cuma kepada penduduk lainnya. Suku Donggo mempercayai jika mereka mendapatkan kijang maka hasil panen akan sedikir namun jika mereka mendapatkan babi maka hasil panen mereka akn melimpah.
Kelompok keluarga suku Donggo merupaka kelompok keluarga batih petrilineal. Pada sistem keluarga seperti ini kedudukan ayah sangat dihormati serta mendapat kekuasaan yang lebih besar. Jika terjadi percerian dalam keluarga suku donggo, maka hak asuh anak akan sepenuhnya jatuh kepada pihak suami. Sementara itu pihak istri akan dipulangkan ke keluarganya dan hanya mendapatkan benda-benda pusaka serta sebagian harta yang didapatkan dari sebelum perceraian.
Anak-anak suku Donggo pada umumnya sudah dijodohkan sejak mereka masih kecil dan sebagian dari mereka akan menikah muda. Seorang gadis dikatakan sudah memenuhi syarat untuk menikah ketika sudah mengalami menstruasi dan pandai menenun.
Nenek moyang orang-orang suku Donggo percaya pada hal-hal mistis atau roh yang dianggap sebagai dewa. Mereka mempecayai adanya dewa langit yang disebut dengan dewa langi, dewa air yang disebut dengan dewa oi, dewa angin atau dewa wango. Diantara dewa-dewa tersebut yang paling tinggi kedudukannya adalah dewa langi yang di percayai berada di atas awan dan matahari.
Mereka akan melakukan persembahan kepada dewa angin ketika terjadi wabah penyakit, dan kepada dewa air ketika terjadi kemarau panjang atau bahaya yang mengancam tanaman mereka. Namun saat ini masyarakat Donggo sebagian besar adalah pemeluk agama islam dan sebagian lainnya memeluk agama kristen.
Suku Donggo terbagi menjadi dua kelompok yakni suku Donggo Ipa (barat) dan suku Donggo Ele (timur). Suku donggo ipa memiliki bahasa dan budaya yang tidak berbeda jauh dengan masyarkat Bima pada umumnya sedangkan masayrakat Bima yang mendiami wilayah puncak gunung lambiatu memiliki sistem bahasa dan budayanya sendiri. Bahasa yang digunakan suku Donggo ele lebih merujuk kepada bahasa Sambori.
Suku donggo juga memiliki rumah adat yang disebut dengan “uma lemme” yang memiliki bentuk berbeda dengan rumah adat Bima pada umumnya. Rumah tersebut terbuat dari alang-alang untuk bagian atapnya serta dinding yang terbuat dari kayu sangga.
Kayu tersebut digunakan karena dipercaya mempunyai kekuatan untuk menolak bala dan kesialan lainnya. Rumah adat suku Dinggi biasanya memiliki ukuran 3×4 meter dengan tinggi 7 meter. Rumah ini selain digunakan sebagai tempat tingga juga digunakan untuk menyimpan senjata dan alat kesenian.
Pakaian adat suku Donggo perempuan dan laki-laki berbeda namun pada umumnya didominasi oleh warna hitam. Orang Donggo wanita menggunakan kebabu yang disebut dengan baju poro yaitu baju dibuat dengan benang katun. Pada pakaian adat perempuan menggunakan celana panjang di bawah lutut yang disebut dengan deko.
Mereka juga menggunakan perhiasan seperti manik-manik giwang dan kalung. Sedangkan remaja wanita suku donggo hanya mengenakan kebabu dengan perhiasan yang dibiarkan menjuntai dari leher hingga dada.
Untuk suku Donggo laki-laki mengenakan pakaian adat yang disebut dengan baju Mbolo Wo’o yaitu baju dengan bentuk bundar pada bagian leher dan berwarna hitam. Untuk bawahannya mereka mengenakan sarung yang disebut dnegan tembe me’e Donggo. Pakaian tersebut terbuat dari benang kapas berwarna hitam dengan motif garis putih.
Pada bagian pinggang diberi ikat pinggang berwarna merah atau kuning yang dikenal dengan nama Salongo. Ikat pinggang tersebut memiliki fungsi yaitu untuk menyematkan pisau atau keris parang. Selain itu untuk alas kaki mereka menggunakan sadopa yaitu sendal yang dibuat dari kulit binatang.
Salah satu bentuk kebudayaan yang dimiliki Suku Donggo adalah tari tradisional kalero. Tarian khas tersebut dilakukan sebagai bentuk persembahan untuk nenek moyang mereka. Setiap gerakan pada pada tari kalero mengandung unsur pengharaoan, kesedihan, dan penghormatan kepada seseorang yang sudah tiada. Kostum yang digunakan pada tarian ini yaitu pakaian serba hitam dan diiringi oleh alunan musik khas Bima dengan ritme yang menggambarkan suasana sedih.