Daftar isi
Kekayaan budaya, tradisi, serta adat istiadat di Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Salah satu bagian dari kekayaan tersebut adalah adanya tarian daerah yang memiliki perbedaan satu sama lain. Maluku juga memiliki tari tradisional yang bernama tari cakalele.
Tari cakalele dikenal sebagai salah satu jenis tari terkait dengan peperangan pada zaman dahulu. Gerakan serta musik yang dibawa dengan penuh dengan semangat oleh sekelompok penari membuat tarian ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menunjukkan penghormatan serta rasa syukur.
Saat ini, tari cakalele sudah tidak dilakukan terkait peperangan. Namun, tarian ini masih sering dipertunjukkan dalam acara adat, peristiwa penting, penyambutan tamu, dan lain sebagainya sebagai bentuk warisan budaya.
Terdapat beberapa makna yang dapat diambil dari tari cakalele. Pertama, tarian ini dimaknai sebagai apresiasi atau penghargaan yang besar terhadap perjuangan nenek moyang di medan perang sehingga bisa memantik semangat prajurit yang akan berperang.
Pendapat lain mengatakan bahwa tari cakalele menjadi simbol keagamaan serta bentuk proses pengobatan dengan adanya berbagai ritual sebelum melangsungkan tarian yang harus dilakukan oleh para penari.
Ada pula orang yang memaknai tari cakalele sebagai bentuk penghormatan kepada nenek moyang bangsa Maluku yang hidup sebagai pelaut. Oleh karena itu, masyarakat di sana percaya bahwa tarian ini merupakan cara untuk mendapatkan restu dari arwah leluhur.
Tidak hanya digunakan dalam rangka adanya perang, tarian ini juga ditampilkan sebagai pertunjukan saat berlangsungnya upacara adat. Hal ini disebabkan terdapat pesan di dalam tarian, yakni menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan, alam, serta manusia lainnya.
Dilihat dari unsur kebahasaannya, istilah cakalele berasal dari gabungan dua suku kata dalam bahasa Ternate, yakni “caka” yang berarti roh atau setan serta “lele” yang berarti mengamuk. Dengan demikian, cakalele dapat diartikan sebagai amukan roh atau setan.
Tari cakalele berasal dari tradisi masyarakat Maluku Utara saat masa penjajahan oleh Portugis. Pada zaman dahulu, masyarakat setempat menarikan tarian ini ketika prajurit akan berangkat ke medan peperangan serta saat mereka pulang dari tempat berperang.
Kemudian tarian ini meluas ke berbagai daerah di sekitarnya karena terdapat pengaruh dari kerajaan di masa itu, seperti Maluku Tengah di Seram dan Ambon, semenanjung Sulawesi bagian Utara, serta hingga daerah-daerah di sepanjang pesisir timur Sulawesi.
Tarian ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Untuk penari laki-laki, gerakan yang dilakukan biasanya lincah, seperti berjingkrak-jingkrak, melompat, serta melakukan gerakan lainnya sesuai dengan iringan musik secara bersemangat. Gerakan yang dilakukan juga berkaitan dengan memainkan properti berupa parang, tombak, dan salawaku
Sama halnya seperti tarian-tarian lainnya, tari cakalele juga memiliki pola lantai. Tari cakalele secara umum menggunakan pola lantai horizontal dengan membentuk garis lurus. Namun, selama tarian juga ada gabungan dari beberapa pola lantai lainnya.
Properti yang digunakan oleh penari cakalele sangat menarik. Mereka menggunakan parang dan tombak untuk menjadi pelengkap pakaian perang yang digunakan.
Selain itu, terdapat pula samarang sebagai simbol keluarga dengan penggambaran seperti ayah dan ibu. Samarang terbuat dari besi yang ditempa ditambah kayu untuk bagian gagang kepalanya dengan ukuran 10 hingga 90 cm. Penggunaannya adalah dengan dipegang oleh tangan kanan.
Properti lainnya adalah salawaku yang menjadi pasangan dari samarang tadi. Salawaku ini memiliki makna ibu dengan bentuk mirip seperti salawang. Penari akan menggenggam salawaku ini di kanan kirinya.
Sedangkan untuk penari perempuan menggunakan properti berupa sapu tangan lenso yang dapat dikibas-kibaskan dengan mengayunkan tangan ke depan.
Sebagai pengiring tari cakalele, terdapat beberapa alat musik yang digunakan, yakni gong, tifa, serta bia atau kerang yang ditiup. Setiap alat musik dimainkan menggunakan ritme dan tempo yang cepat.
Hal tersebut dilakukan agar dapat meningkatkan semangat para penari dan juga membuat suasana terasa lebih meriah. Tidak jarang para penonton pun ikut bersemangat ketika mendengar alunan musik yang digunakan.
Para penari cakalele menggunakan kostum berupa kain yang didesain secara khusus dengan bentuk tertentu dengan dominasi warna merah atau kuning tua. Namun, pakaian tersebut hanya dipakai untuk bagian bawah saja pada penari laki-laki sehingga mereka akan bertelanjag dada.
Selain itu, mereka juga akan mengenakan kalung-kalung yang panjang dan cukup banyak, ikat kepala berwarna merah yang terbuat dari bulu ayam yang ditambah dekorasi lain pada bagian ikat kepalanya tadi, serta hiasan pada kedua bagian lengan. Sementara khusus kapitan perang akan menggunakan properti tambahan berupa hiasan berbahan bulu ayam untuk mahkota.
Di sisi lain, penari perempuan pada umumnya menggunakan pakaian adat Maluku berwarna putih yang ditambahkan kain panjang sehingga dapat menutupi bagian bawah tubuh.
Untuk riasan, laki-laki biasanya menggunakan pewarna hitam untuk membuat garis-garis berlawanan arah antara kanan dan kiri secara horizontal di sekitar daerah pipi, dada, dan sekitar tangan.
Salah satu keunikan yang ditunjukkan dari tari cakalele merupakan penarinya yang lebih didominasi oleh laki-laki. Sedangkan penari perempuan menjadi pengiring saja sambil menghentak-hentakan kakinya sesuai dengan irama musik.
Keunikan lainnya adalah teriakan kata “aulee … aulee … “ dengan arti darah yang membanjir ketika tarian dilangsungkan untuk menggambarkan makna penciptaan manusia.
Ditambah lagi terkadang ada masa di mana penari juga harus meminum darah musuh sebagai bentuk persembahan kepada roh yang sudah memasukinya. Saat ini penggunaan darah manusia diubah menjadi darah ayam yang disembelih dengan syariat Islam karena masuknya pengaruh agama Islam sehingga tidak ada unsur kesyirikan.
Demikianlah berbagai informasi terkait tari cakalele, yakni makna, sejarah, gerakan, pola lantai, properti, musik pengiring, busana dan tata rias, serta keunikan dari tari cakalele yang berasal dari daerah Maluku Utara ini.
Kesimpulannya, tari cakalele memiliki makna sebagai bentuk penghormatan pada nenek moyang serta mendorong semangat prajurit yang akan berperang. Tarian tersebut bermula sebagai pengiring prajurit yang akan berperang serta yang sudah pulang dari medan perang.
Gerakan tari cakalele dilakukan dengan bersemangat dengan iringan musik dari alat musik gong, tifa, dan bia. Ditambah lagi kostum berupa celana kain serta ikat kepala berwarna merah semakin menunjukkan semarak tarian ini.
Tidak hanya itu, tarian ini menggunakan senjata berupa parang dan tombak sesuai dengan sejarahnya, yakni terkait peperangan. Terakhir, penari yang didominasi oleh laki-laki menjadi salah satu keunikan dari tari cakalele.