Daftar isi
Ada banyak jenis teks dalam bahasa Jawa, diantaranya adalah teks geguritan atau yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai puisi Jawa.
Berikut akan dibahas beberapa hal terkait dengan teks geguritan, mulai dari pengertian, struktur, hingga unsur kebahasaannya sesuai dengan kaidah bahasa Jawa.
Kata “Geguritan” merupakan salah satu bentuk kata ulang dwipura. Geguritan berasal dari kata dasar gurit yang mendapat akhiran –an. Gurit sendiri bermakna kidung (syair) atau tulisan, sedangkan guritan bisa diartikan sebagai hasil dari nggurit.
Yang dimaksud geguritan adalah satu jenis karya sastra yang bahasanya cekak (pendek), mentes (berisi/penuh makna), dan endah (indah). Geguritan sendiri merupakan bentuk tulisan yang dihasilkan dari ungkapan perasaan panggurit (pembuat/penulis geguritan).
Geguritan dalam bahasa Jawa dibagi menjadi 2, yaitu:
Gegurutan gagrak lawas yaitu geguritan yang masih menggunakan aturan lama, seperti:
Geguritan gagrak anyar yaitu geguritan yang bebas dan tidak terikat dengan peraturan apapun. Guru gatra (jumlah baris), guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris), maupun guru lagu (rima akhir) nya bebas serta tidak menggunakan kata-kata “sun nggegurit”.
Struktur teks geguritan dibedakan menjadi 2, yaitu:
Unsur kebahasaan dalam teks geguritan tentunya memiliki peran yang penting dalam menciptakan keindahan bahasa dalam sebuah puisi Jawa atau geguritan. Dalam teks geguritan ada beberapa unsur kebahasaan yang biasa digunakan, yakni sebagai berikut:
Tembung rangkep dalam bahasa Indonesia disebut dengan kata ulang. Tembung rangkep dalam tata bahasa Jawa dibagi menjadi:
Purwakanthi adalah urutan bunyi pada kalimat, kata, atau suku kata yang depan/awal menggandeng kata atau suku kata di belakangnya. Purwakanthi juga diartikan sebagai sajak atau rima.
Dalam bahasa Jawa, purwakanthi dibagi menjadi 3, yaitu:
Yaitu purwakanthi yang nampak dari urutan swaranya (vokalnya). Contohnya, “Sartana nggawa apa saka Surabaya?”
(Sartana membawa apa dari Surabaya?).
Pada contoh diatas nampak adanya pengulangan swara atau vokal “a” pada tiap kata dan suku katanya.
Yaitu purwakanthi yang nampak dari urutan sastranya, dalam hal ini adalah konsonan di awal katanya. Contohnya, “Mari menyang Malang menehe menyang Makasar.” (Habis pergi ke Malang, besoknya pergi ke Makasar)
Pada contoh diatas terdapat pengulangan sastra “m” pada tiap awal kata.
Yaitu purwakanthi yang nampak dari adanya urutan suku kata atau baris akhir dengan awal suku kata atau baris di dekatnya.
Contohnya, “Bocah nakal, nakale ning wedi kadhal.” (Anak nakal, meskipun nakal tapi takut kadal)
Pada contoh diatas terdapat pengulangan pada kata nakal.
Tembung camboran adalah dua kata yang dijadikan satu dan menghasilkan makna atau arti kata yang baru. Tembung camboran dibagi menjadi dua, yaitu:
Tembung entar adalah kata yang tidak memiliki makna sebenarnya atau dalam bahasa Indonesia berarti konotasi.
Contoh tembung entar adalah sebagai berikut: