Bahasa Daerah

Teks Geguritan: Pengertian – Jenis dan Strukturnya

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Ada banyak jenis teks dalam bahasa Jawa, diantaranya adalah teks geguritan atau yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai puisi Jawa.

Berikut akan dibahas beberapa hal terkait dengan teks geguritan, mulai dari pengertian, struktur, hingga unsur kebahasaannya sesuai dengan kaidah bahasa Jawa.

Pengertian Teks Geguritan

Kata “Geguritan” merupakan salah satu bentuk kata ulang dwipura. Geguritan berasal dari kata dasar gurit yang mendapat akhiran –an. Gurit sendiri bermakna kidung (syair) atau tulisan, sedangkan guritan bisa diartikan sebagai hasil dari nggurit.

Yang dimaksud geguritan adalah satu jenis karya sastra yang bahasanya cekak (pendek), mentes (berisi/penuh makna), dan endah (indah). Geguritan sendiri merupakan bentuk tulisan yang dihasilkan dari ungkapan perasaan panggurit (pembuat/penulis geguritan).

Jenis Geguritan

Geguritan dalam bahasa Jawa dibagi menjadi 2, yaitu:

Geguritan Gagrak Lawas

Gegurutan gagrak lawas yaitu geguritan yang masih menggunakan aturan lama, seperti:

  • Jumlah baris tidak tetap, tapi paling sedikit ada 4 baris
  • Menggunakan aturan purwakanthi guru swara (a, i, u, e, o)
  • Diawali dengan kata-kata “sun nggegurit”

Geguritan Gagrak Anyar

Geguritan gagrak anyar yaitu geguritan yang bebas dan tidak terikat dengan peraturan apapun. Guru gatra (jumlah baris), guru wilangan (jumlah suku kata tiap baris), maupun guru lagu (rima akhir) nya bebas serta tidak menggunakan kata-kata “sun nggegurit”.

Struktur Teks Geguritan

Struktur teks geguritan dibedakan menjadi 2, yaitu:

  • Struktur Fisik, yang termasuk struktur fisik teks geguritan adalah:
    • Diksi atau pemilihan kata
    • Majas atau gaya bahasa
    • Purwakanthi (rima), baik pengulangan swara, kata, frasa, atau kalimat
    • Tiporafi, yaitu penataan larik (baris), pada (bait), ukara (kalimat), dsb.
  • Struktur Batin, Struktur batin geguritan terdiri atas:
    • Bakuning gagasan atau gagasan utama (tema)
    • Pangrasane pangripta, yaitu kata-kata dalam geguritan yang menjelmakan rasa dari penulisnya
    • Nada atau sikap pangripta (penulis) kepada pembaca, apakah berupa pujian, nasehat, atau sindiran.
    • Amanat atau pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca
    • Wasana atau suasana batin pembaca setelah membaca geguritan tersebut.

Unsur Kebahasaan Teks Geguritan

Unsur kebahasaan dalam teks geguritan tentunya memiliki peran yang penting dalam menciptakan keindahan bahasa dalam sebuah puisi Jawa atau geguritan. Dalam teks geguritan ada beberapa unsur kebahasaan yang biasa digunakan, yakni sebagai berikut:

1. Tembung Rangkep

Tembung rangkep dalam bahasa Indonesia disebut dengan kata ulang. Tembung rangkep dalam tata bahasa Jawa dibagi menjadi:

  • Dwilingga (kata ulang utuh), contohnya: tuku-tuku (beli-beli).
  • Dwilingga salin swara (kata ulang berubah bunyi), contoh: tuka-tuku (beli-beli),
  • Dwipurwa (Kata ulang sebagian), contohnya: tetuku (beli-beli).
  • Dwiwasana (mengulang bagian belakang kata dasarnya), contoh: celuluk (dari kata dasar celuk yang artinya memanggil).

2. Purwakanthi

Purwakanthi adalah urutan bunyi pada kalimat, kata, atau suku kata yang depan/awal menggandeng kata atau suku kata di belakangnya. Purwakanthi juga diartikan sebagai sajak atau rima.

Dalam bahasa Jawa, purwakanthi dibagi menjadi 3, yaitu:

  • Purwakanthi guru swara

Yaitu purwakanthi yang nampak dari urutan swaranya (vokalnya). Contohnya, “Sartana nggawa apa saka Surabaya?”
(Sartana membawa apa dari Surabaya?).

Pada contoh diatas nampak adanya pengulangan swara atau vokal “a” pada tiap kata dan suku katanya.

  • Purwakanthi guru sastra

Yaitu purwakanthi yang nampak dari urutan sastranya, dalam hal ini adalah konsonan di awal katanya. Contohnya, “Mari menyang Malang menehe menyang Makasar.” (Habis pergi ke Malang, besoknya pergi ke Makasar)

Pada contoh diatas terdapat pengulangan sastra “m” pada tiap awal kata.

  • Purwakanthi guru basa

Yaitu purwakanthi yang nampak dari adanya urutan suku kata atau baris akhir dengan awal suku kata atau baris di dekatnya.

Contohnya, “Bocah nakal, nakale ning wedi kadhal.” (Anak nakal, meskipun nakal tapi takut kadal)

Pada contoh diatas terdapat pengulangan pada kata nakal.

3. Tembung Camboran

Tembung camboran adalah dua kata yang dijadikan satu dan menghasilkan makna atau arti kata yang baru. Tembung camboran dibagi menjadi dua, yaitu:

  • Tembung Camboran Wutuh, contohnya:
    • Nagasari à dari kata naga + sari, setelah digabung menjadi nama kue
    • Madu mangsa à dari kata madu + mangsa (musim), setelah digabung menjadi nama jajanan.
  • Tembung Camboran Tugel, contohnya:
    • Pakdhe à dari kata Bapak + Gedhe (besar)
    • Bangjo à dari kata abang (merah) + ijo (Hijau)

4. Tembung Entar

Tembung entar adalah kata yang tidak memiliki makna sebenarnya atau dalam bahasa Indonesia berarti konotasi.

Contoh tembung entar adalah sebagai berikut:

  • Adus kringet (Mandi keringat), maksudnya adalah melakukan pekerjaan berat
  • Gedhe endase (besar kepalanya), maksudnya adalah sombong