6 Contoh Sosiologi Bersifat Sosial

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Sosiologi sebagai ilmu yang berfokus memelajari kemasyarakatan, seperti hubungan timbal balik manusia berikut segala perilaku dan interaksi sosial tentu tidak sekadar teori. Pemahaman teori segala aspek dalam ilmu sosiologi penting untuk masyarakat lakukan, namun prakteknya pun nyatanya tidak sesulit itu.

Sosiologi juga bersifat sosial di mana dalam prakteknya, manusia berperilaku dan bertindak di luar kesadarannya dan bukan karena sebuah paksaan. Artinya, manusia pada dasarnya memiliki kesadaran sosial yang bersifat eksternal dengan beberapa contoh sosiologi bersifat sosial sebagai berikut.

1. Masyarakat Menaati Peraturan Lalu Lintas

Masyarakat atau individu yang baik dalam menaati peraturan lalu lintas tidak hanya menerapkan sosiologi hukum. Tidak hanya agar tidak ditilang atau dihukum, menaati aturan lalu lintas yang berlaku juga merupakan sifat sosial yang mementingkan keselamatan bersama (diri sendiri dan orang lain).

Penerapan berlalu lintas yang baik dan taat ini pun merupakan salah satu contoh bagaimana para individu mampu mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.

2. Umat Muslim Menjalankan Ibadah Puasa

Contoh sifat sosial dalam ilmu sosiologi paling nyata adalah bagaimana umat Muslim dapat dengan leluasa menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Selain bersifat keagamaan, kewajiban berpuasa selama 29-30 hari bagi para umat Muslim secara sosiologis merupakan pemicu rasa simpati dan empati.

Puasa adalah suatu bentuk pembelajaran untuk meningkatkan rasa prihatin kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. Dengan berpuasa menahan lapar dan haus sepanjang 1 bulan penuh, umat Muslim dapat merasakan apa yang fakir miskin rasakan.

Tidak hanya menjadi sebuah praktek untuk berbuat baik dan mementingkan dari segi agama, puasa yang juga diikuti dengan bersedekah merupakan sebuah contoh sifat sosial dalam sosiologi.

3. Umat Kristen dan Katolik Merayakan Natal

Seperti halnya umat Muslim yang menjalankan ibadah puasa, umat Kristen dan Katolik dengan perayaan Natal pun merupakan salah satu contoh sosiologi bersifat sosial. Selain penerapan toleransi antar agama, perayaan Natal dengan pengucapan salam Natal kepada orang-orang terkasih di sekeliling kita yang sama-sama merayakan pun termasuk interaksi sosial nyata.

Tidak sekadar praktek berperilaku yang baik sesuai dengan ajaran agama yang dianut, membangun persekutuan, berbagi kasih terhadap sesama, serta membawa pesan damai adalah keterlibatan umat Nasrani dalam kehidupan sosial.

Dan tidak hanya dalam hubungan antar umat seiman, kesadaran diri sendiri bersikap toleran tanpa mementingkan diri sendiri di tengah interaksi dengan masyarakat adalah bentuk sifat sosial yang ditunjukkan dalam ilmu sosiologi.

4. Umat Hindu Merayakan Nyepi

Hari Raya Nyepi sudah ada sejak tahun 456 Masehi yang diperkenalkan oleh Aji Saka sebagai sebuah peringatan tahun baru umat Hindu. Peringatan ini dilakukan pada hitungan Tilem Kesanga (IX) dan didasarkan pada penanggalan Saka yang sudah ada pada 78 Masehi.

Hari Raya Nyepi merupakan hari suci yang diperingati dengan berdiam diri sehari penuh (24 jam) sehingga dikenal dengan istilah penyepian. Karena Tilem Kesanga (IX) merupakan hari penyucian dewa-dewa di pusat samudra.

Maka setiap perayaan Nyepi, umat Hindu akan berdiam diri dan melakukan beberapa pantangan sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan untuk menyucikan alam semesta maupun para manusianya.

Tidak hanya berpusat pada kegiatan keagamaan, dari segi sosial dan budaya, perayaan Nyepi (khususnya di Bali) yang dilakukan dengan pengiringan Ida Betara meningkatkan kebersamaan antar umat seiman. Dari perayaan ini pula, toleransi antar umat beragama juga menjadi fokus dan prioritas.

5. Umat Buddha Merayakan Waisak

Contoh lain dari sifat sosial dalam sosiologi adalah bagaimana umat Buddha dapat merayakan Waisak. Perayaan yang jatuh setahun sekali ini tidak memiliki tanggal tetap untuk peringatannya, namun cara merayakan akan selalu sama, yakni melalui festival lampion Waisak.

Hari suci yang penghitungannya didasarkan pada kalender lunar kuno Vesakha dan tiap bulan purnama ini dirayakan dengan umatnya menerbangkan lampion-lampion kertas ke langit. Perayaan yang juga umumnya dilakukan di antara bulan Mei dan Juni ini diterapkan melalui proses sembahyang di kuil lokal, baik sehari penuh atau pada malam bulan purnama saja.

Contoh sosial yang dapat diambil dari umat Buddha yang merayakan Waisak adalah bagaimana mereka tidak hanya berfestival dan bermeditasi, tapi juga melakukan perbuatan-perbuatan baik. Kegiatan sosial yang umat Buddha lakukan di hari Waisak adalah membawa persembahan saat kembali ke kuil lokal mereka. Selain itu, tak jarang umat Buddha melakukan bagi-bagi makanan ke orang-orang sekitar atau orang-orang yang mereka jumpai.

6. Keturunan Tionghoa Merayakan Imlek

Perayaan Imlek oleh para keturunan Tionghoa di Indonesia secara bebas dimulai pada tahun 2000. Dikenal sebagai sebuah tradisi budaya turun-temurun etnis Tionghoa, Tahun Baru Imlek pada dasarnya pada zaman dulu merupakan sebuah cara bagi para petani di China untuk merayakan bergantinya musim dingin ke musim semi (oleh karena itu disebut dengan istilah Sin Cia/Festival Musim Semi. Perayaan yang diperingati setiap tanggal 1-15 bulan pertama ini bahkan kini telah melebur menjadi satu dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

fbWhatsappTwitterLinkedIn