Daftar isi
Kejadian Tanjung Priok merupakan peristiwa kericuhan yang terjadi pada tanggal 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta. Peristiwa ini termasuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa. Di mana terjadi pembantaian pada sekelompok manusia yang terlibat bentrok dengan aparat.
Akibat dari bentrokan tersebut banyak korban yang mengalami luka serius dan korban tewas. Selain itu, beberapa gedung pun dirusak dan dibakar. Semula peristiwa ini terjadi karena saat itu pemerintah menggencarkan kampanye asas negara tunggal. Asas negara tunggal merupakan kebijakan politik orde baru pada saat itu.
Melalui peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, semua organisasi wajib menganut asas Pancasila, tidak dapat menggunakan asas yang lain. Bagi siapapun yang melarang hal tersebut, maka dianggap tidak sesuai dengan kebijakan politik. Mereka juga dianggap sebagai anti Pancasila.
Pemaksaan penggunaan asas negara tunggal mendapatkan banyak penolakan terutama masyarakat Jakarta. Penolakan ini membuat beberapa minggu sebelum kejadian kerusuhan tanjung Priok situasi di Jakarta Utara sempat memanas. Terutama isu mengenai politik dan agama.
Di masjid, hampir setiap minggu, para ulama memberikan ceramah yang isinya mengenai kritik terhadap pemerintahan orde baru terkait penggunaan asas negara tunggal. Dari sinilah semuanya bermula. Kejadian Tanjung Priok pun terjadi dan banyak menyebabkan kerugian.
Berikut dampak peristiwa kericuhan tanjung priok.
Peristiwa Tanjung Priok telah menyebabkan pembantaian pada sekelompok orang sehingga peristiwa ini dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia luar biasa atau berat. Semua ini bermula dari pertengkaran antara warga dan Bintara Pembina Desa atau Babinsa.
Saat itu, Babinsa meminta warga untuk melepaskan spanduk dan brosur yang ditempel karena hal tersebut dinilai bertentangan dengan paham Pancasila. Pada masa orde baru ini, telah ditetapkan sistem asas tunggal.
Di mana, semua lapisan masyarakat harus berpedoman pada satu asas yakni asas Pancasila. Jika tidak, maka akan dinilai sebagai seseorang pemberontak dan anti Pancasila. Hal inilah yang menyebabkan protes pada warga. Mereka menempel spanduk yang berisi penolakan asas tunggal.
Setelah dua hari kemudian, spanduk yang dipasang tidak segera dilepas. Petugas Babinsa yakni Sersan Satu Hermanu mencopot paksa spanduk tersebut. Aksi pencopotan ini terjadi di As-Saadah. Saat pencopotan spanduk, terdapat hal yang dinilai termasuk ke dalam pencemaran terhadap tempat ibadah.
Di mana petugas yang mencopot spanduk tidak melepaskan alas kaki. Mereka masuk dengan menggunakan sepatu, padahal masjid merupakan tempat suci yang digunakan untuk beribadah.
Adanya pencemaran terhadap masjid itu menyebabkan emosi warga tersulut. Mereka pun melakukan pemberontakan. Salah satunya yakni melakukan pembakaran pada motor Babinsa Hermanu. Akibat dari pembakaran ini, 4 orang yang dinilai sebagai dalang pun ditangkap.
Keesokan harinya, warga meminta bantuan Amir Biki untuk menyelesaikan masalah tersebut. Amir Biki merupakan seseorang yang dipercaya menjadi penengah jika terjadi masalah antara warga sipil dengan penguasa. Sayangnya usaha yang dilakukan Amir Biki kali ini sia-sia.
Pada tanggal 12 September, beberapa ulama menyampaikan ceramah di tempat terbuka. Isi ceramah tersebut mengenai persoalan politik dan sosial yang tengah terjadi. Salah satunya adalah bentrokan antara warga dan Babinsa yang baru terjadi.
Amir Biki menyerukan sebuah ultimatum agar militer membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 WIB. Jika hal itu tidak segera dilaksanakan, maka masa akan mengadakan demonstrasi.
Sayangnya ultimatum itu tidak digubris. Setelah ceramah, sekitar 1500 orang demonstran menuju ke kantor Polsek dan Koramil. Sayangnya, sebelum sampai ketempat tujuan, masa telah dikepung oleh pasukan bersenjata. Tak tanggung-tanggung, mereka dihadapkan di dua sisi para pasukan bersenjata.
Setelahnya terdengar suara tembakan yang diikuti oleh para pasukan bersenjata mengatakan senjatanya ke arah demonstran. Terdengar beberapa kali suara tembakan. Akhirnya, ratusan demonstran yang hadir tersungkur dengan berlumuran darah.
Sebagian korban yang masih selamat berusaha untuk melarikan diri. Sayangnya, baru saja mereka bangkit, sudah diberondong dengan tembakan menggunakan bakoza. Hasilnya, jalanan dipenuhi dengan darah. Para demonstran banyak yang tewas dan jumlahnya tidak terhitung pasti.
Pembantaian yang terjadi pada peristiwa Tanjung Priok telah dikategorikan sebagai pelanggaran HAm berat. Hal ini dikarenakan peristiwa ini telah menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka.
Selain itu, peristiwa ini tidak sebanding, di mana pasukan militer memberondong secara keji para warga sipil yang tidak bersenjata. Seharusnya, pasukan militer yang mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban menjaga warganya, justru menghabiskan warganya sendiri.
Kasus ini menjadi mimpi buruk bagi para warga Tanjung Priok. Kericuhan Tanjung Priok menjadi catatan hitam sejarah Indonesia. Meskipun, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Sayangnya, kasus-kasus tersebut tidak menemukan hasil.
Selain itu, kasus ini seolah menunjukkan bahwa terjadinya gap antara pemerintah dan warganya. Pemerintah yang dinilai dapat melayani dan mengayomi warganya, justru membantai habis tanpa belas kasihan.
Wajar saja, jika banyak pihak yang meminta kasus ini diselesaikan dengan seadil-adilnya. Sebab, kasus ini bukan hanya menyebabkan hilangnya nyawa melainkan timbulnya trauma.
Sebelum adanya peristiwa Tanjung Priok, suasana di Jakarta sudah memanas. Hal ini diduga karena adanya peraturan pemerintahan mengenai asas tunggal. Adanya peraturan tersebut menyebabkan banyak reaksi dan kecaman dari masyarakat.
Masyakarat khususnya masyakarat Jakarta Utara geram dengan adanya hal tersebut. Mereka menolak dengan menempelkan pamflet dan spanduk yang berisi penolakan. Selain itu, beberapa ulama pun menolak dan menyampaikan aksi protesnya melalui isi ceramah.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya kericuhan. Kericuhan terjadi antara warga sipil dan anggota militer. Terjadi percekcokan antara Babinsa dengan warga yang berakhir dengan pembakaran sepeda motor dan penangkapan 4 orang warga sipil yakni Syarifuddin Rambe, Pengurus masjid, Sofwan Sulaeman dan Ahmad Sahi.
Setelah aksi penembakan yang dilakukan berulang oleh pasukan militer, banyak demonstran yang tumbang. Ada yang meninggal di tempat, ada pula yang terluka. Beberapa korban luka-luka memilih melarikan diri dan bersembunyi di tempat yang dirasa aman. Mereka khawatir akan diberondong kembali dengan tembakan.
Sementara itu, jasad demonstran yang telah tewas dibawa ke truk-truk militer. Begitupun dengan korban luka-luka berat di bawa menggunakan truk. Semua korban dibawa ke rumah sakit militer yang berada di tengah kota Jakarta. Sementara itu, rumah sakit lainnya diberikan ultimatum untuk tidak menerima pasien korban penembakan Tanjung Priok.
Sampai detik ini belum dipastikan berapa banyak jumlah korban akibat dari peristiwa Tanjung Priok. Sebab, datanya masih simpang-siur. Komnas HAM sendiri mencatat bahwa sebanyak 23 orang menjadi korban tewas dan 55 orang korban mengalami luka-lika.
Sementara itu, solidaritas nasional untuk peristiwa Tanjung Priok menyimpulkan bahwa jumlah korban tewas mencapai 400 orang. Jumlah ini tidak termasuk ke dalam korban luka-luka.
Data ini wajar saja terjadi mengingat sebanyak 1500 orang demonstran yang hadir. Apalagi mereka diberondong dengan banyak tembakan. Tidak heran jika jumlah korban tewas mencapai ratusan. Namun, selain korban tewas dan luka-luka, terdapat pula korban yang hilang. Hingga detik ini status orang-orang tersebut masih belum jelas.
Adanya peristiwa Tanjung Priok juga menyebabkan rusaknya sejumlah fasilitas umum. Sejumlah gedung dirusak bahkan dibakar. Hal ini terjadi ketika adanya bentrokan antara warga sipil dengan kelompok aparat. Namun, tidak diketahui pasti berapa banyak fasilitas umum yang rusak. Secara jelas, peristiwa ini telah menyebabkan banyak kerugian.
Kericuhan Tanjung Priok telah menyebabkan trauma psikologis selama beberapa puluhan tahun. Pada korban uang selamat kerap mengalami mimpi buruk hingga saat ini.
Hal ini tidak hanya dirasakan oleh korban saja, melainkan juga keluarga korban. Mereka mengalami gangguan mental berupa depresi dan trauma berat hasil dari pelanggaran HAM selama merasakan dinginnya penjara.
Kasus tanjung priok, telah menyebabkan para korban merasakan dinginnya lantai penjara. Dari sana mereka mengalami gangguan mental. Hal ini ditambah pula dengan adanya anggapan negatif kepada para korban.
Peristiwa Tanjung Priok disebabkan karena adanya gerakan yang akan mengancam keutuhan NKRI. Mereka yang menjadi korban seolah dinilai sebagai para pemberontak.
Sampai saat ini, banyak korban yang harus menanggung biaya pengobatan yang diakibatkan oleh kejadian Tanjung Priok. Mereka mengalami gangguan kesehatan baik fisik maupun mental.
Banyak anak yang kehilangan ayahnya sehingga mereka terpaksa putus sekolah. Selain itu, banyak pula yang kehilangan harta dan tempat tinggal. Sayangnya, hingga saat ini, mereka belum mendapatkan keadilan. Sebab, kasus ini masih menggantung.
Peristiwa Tanjung Priok telah menyebabkan banyak korban. Sekalipun belum ada data pasti berapa banyak korban yang tewas, hilang maupun terluka. Namun, peristiwa ini dikategorikan ke dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia yang luar biasa.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia ini seharusnya dapat diselesaikan dengan baik, mengingat begitu banyak orang yang dirugikan. Sayangnya, sudah 37 tahun sejak kasus Tanjung Priok, penyelesaian kasus ini masih menggantung.
Tragedi ini memang pernah masuk ke dalam proses hukum. Pada tahun 2003, telah berlangsung pengadilan ad hoc untuk mengadili para tersangka yang terlibat dalam kasus Tanjung Priok. Pada tingkat pertama, telah ditetapkan 12 orang terdakwa yang terlibat dalam peristiwa pelanggaran HAM berat ini.
Selain itu, pada tingkat pertama ini pula, pengadilan mengintruksikan negara untuk memberikan kompensasi restitusi dan rehabilitasi terhadap korban dan keluarga korban yang terkena dampak peristiwa Tanjung Priok.
Sebab, adanya peristiwa tersebut menimbulkan trauma yang mendalam baik bagi korban yang selamat maupun keluarganya sehingga memerlukan pendampingan dari psikolog. Sayangnya, keputusan pada tingkat pertama ini dianulir dan menyatakan 12 orang yang telah ditetapkan sebagai terdakwa dibebaskan begitu saja.