5 Faktor Pendorong Kenakan pada Anak

√ Edu Passed Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Juvenile delinkuensi dapat diartikan sebagai perilaku atau tindakan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Perilaku menyimpang ini dilakukan oleh individu atau kelompok yang berusia anak hingga remaja.

Beberapa contoh kenakalan (perilaku menyimpang) yang sering dilakukan oleh anak, yaitu sebagai berikut.

  • Pencurian
  • Pencopetan
  • Penganiayaan
  • Perkelahian
  • Bullying atau perundungan
  • Tawuran antarpelajar
  • Pemalakan atau meminta secara paksa
  • Bolos sekolah
  • Melanggar tata tertib sekolah
  • Kabur dari rumah
  • Merokok
  • Berkendara tanpa helm dan SIM
  • Melanggar tata tertib lalu lintas
  • Balapan liar
  • Melihat gambar atau video yang berbau pornografi
  • Minum minuman beralkohol
  • Penyalahgunaan narkoba
  • Berjudi
  • Sabung ayam.

Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya delinkuensi anak dan remaja di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Hubungan Keluarga

Kondisi dalam rumah tangga yang tidak harmonis atau bahagia dapat menjadi salah satu pemicu anak memiliki perilaku menyimpang.

Ketidakharmonisan dalam sebuah keluarga dapat terlihat hal-hal berikut.

  • Anggota keluarga yang senang beragumen hingga melakukan kekerasan.
  • Orang tua memiliki kesibukan di luar sehingga kurang memperhatikan perkembangan anak.
  • Situasi perekonomian keluarga yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
  • Orang tua yang memperlakukan anak-anaknya secara tidak adil (pilih kasih).
  • keluarga tidak menjalankan fungsi afeksi dan kontrol sosial dengan baik karena kesibukan bekerja.
  • Orang tua kurang memberikan pendidikan mengenai nilai-nilai keagamaan.

Kurangnya peran orang tua dalam memberikan atensi dan edukasi kepada anak dapat menyebabkan anak tidak dapat membedakan perilaku/tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Selain itu, hal ini juga menjadi aspek pendorong bagi anak untuk mendapatkan perhatian di luar lingkungan keluarga sehingga mencari kelompok yang mau menerimanya.

Ketika anak sudah masuk dan bergabung dengan kelompok yang memiliki perilaku menyimpang, maka lambat laun anak tersebut juga akan ikut terpengaruh dan terseret ke dalam hal-hal negatif.

2. Krisis Identitas

Ketika anak memasuki usia remaja, maka ia akan senang mencoba berbagai hal baru, seperti olahraga, fotografi, dan hobi-hobi bermanfaat lainnya. Remaja merupakan usia transisi individu dari masa anak-anak menuju dewasa. Pada masa ini, anak rentan mengalami krisis identitas dalam proses pencarian jati diri.

Jati diri merupakan sifat, watak, dan karakter yang sebenarnya telah ada dalam diri setiap individu. Butuh waktu yang tidak sebentar bagi individu dalam menjalani proses pencarian jati diri. Setiap anak memiliki proses, waktu, dan ketertarikan yang berbeda.

Namun, realitas dalam masyarakat menunjukkan bahwa banyak anak yang tidak berhasil menemukan jati dirinya sehingga mengalami krisis identitas.

Salah satu faktor pendorong anak merasakan krisis identitas yaitu ketika anak masuk ke dalam pergaulan yang buruk sehingga terpengaruh melakukan berbagai tindakan yang melanggar nilai, norma, dan aturan yang ada di masyarakat.

3. Proses Sosialisasi Tidak Sempurna

Sosialisasi diartikan sebagai proses belajar dan pengenalan segala bentuk nilai, norma, kebiasaan, aturan, peran, dan harapan yang ada di masyarakat. Proses ini berlangsung secara intensif sejak individu dilahirkan hingga akhir hanyatnya.

Sosialisasi memiliki peran guna membentuk kepribadian individu agar sesuai nilai, norma, dan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Sosialisasi dapat dilaksanakan melalui beberapa agen atau media, seperti keluarga, sekolah, media massa, kelompok bermain, dan lingkungan kerja.

Salah satu faktor pendorong kenakalan pada anak yaitu karena adanya proses sosialisasi yang tidak sempurna. Hal ini dapat terjadi karena agen sosialisasi tidak menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, sehingga timbul penafsiran yang keliru terhadap pesan yang disampaikan.

Secara sederhana, proses sosialisasi tidak sempurna merupakan proses pembelajaran nilai dan norma sosial yang dilaksanakan oleh agen sosialisasi bersifat tidak utuh atau menyeluruh.

Misalnya, ketika di sekolah Sonny memperoleh pelajaran tentang perilaku disiplin, bertanggung jawab, mandiri, dan rajin. Namun, saat berada di rumah Sonny tidak menerapkan perilaku-perilaku tersebut. Hal ini karena orang tua Sonny terlalu memanjakannya sehingga ia lebih suka berleha-leha dan bergantung kepada orang lain.

4. Proses Belajar Menyimpang

Proses belajar nilai, norma, dan kebiasaan bisa dilakukan di mana saja, dengan siapa saja, dan lewat media apapun. Dalam masyarakat, terdapat anak yang bisa menyaring nilai-nilai yang tidak sesuai dengan dirinya sehingga menolak melakukan tindakan. Sementara itu, ada anak yang mudah terpengaruh hal-hal negatif dan melakukannya.

Salah satu faktor pendorong kenakaln pada anak yaitu karena anak sering melihat dan mengamati individu atau kelompok yang ada di sekitarnya melakukan perilaku yang melanggar nilai dan norma sosial.

Adanya hubungan sosial dengan individu atau kelompok yang memiliki perilaku menyimpang juga mendorong individu lain untuk mengimitasi perbuatan tersebut.

Selain itu, di era digital seperti sekarang individu yang berusia anak hingga remaja dapat dengan mudah menonton tayangan yang berbau kekerasan, pornografi, dan perilaku menyimpang lainnya. Dampak dari hal tersebut adalah anak dengan mudah meniru tindakan tercela tersebut dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

5. Sosialisasi Nilai-nilai Sub-Kebudayaan Menyimpang

Tidak dapat dipungkiri bahwa di sekitar lingkungan tempat tinggal terdapat kebudayaan yang berlawanan dengan kebudayaan umum/dominan yang telah disepakati bersama. Kebudayaan yang berlawanan tersebut dikenal dengan istilah sub-kebudayaan menyimpang (kebudayaan khusus).

Individu yang memilih mempelajari kebudayaan khusus tersebut akan mencontoh setiap perilaku dan tindakan menyimpang yang nilai dan normanya bertentangan dengan norma yang berlaku.

Sebagai contoh, di sekolah ada peraturan tidak boleh berkelahi atau tawuran. Namun, Verry sering bergaul dengan para siswa yang suka tawuran dengan kelompok dari sekolah lain.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa ia berhubungan dan berinteraksi dengan kelompok yang berperilaku menyimpang. Seiring dengan berjalannya waktu Verry juga terpengaruh untuk melanggar peraturan sekolah.

fbWhatsappTwitterLinkedIn