Bahasa Indonesia

Film Bumi Manusia: Kelebihan dan Kekurangannya

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Film Bumi Manusia merupakan sebuah film yang diangkat dari novel tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul sama. Novel Bumi Manusia sendiri merupakan salah satu karya Pramoedya yang paling terkenal selain Gadis Pantai.

Film ini digawangi oleh sutradara kenamaan Hanung Bramantyo dan Salman Aristo sebagai penulis skenario. Film yang rilis pada tahun 2019 ini juga dibintangi oleh Iqbaal Ramadhan dan aktris yang tengah naik daun kala itu, Mawar de Jongh, sebagai pemeran utamanya serta beberapa sineas kenamaan lainnya.

Film produksi Falcon Pictures yang bersetting di era kolonialisme Belanda ini mengisahkan tentang perjuangan dua anak manusia yang saling menjalin kasih, yakni Minke (Iqbaal Ramadhan) dan seorang keturunan pribumi Belanda Annelies (Mawar de Jongh)  yang harus menghadapi tatanan sosial pada masa itu.

Minke digambarkan sebagai seorang pemuda pribumi yang memiliki pemikiran revolusioner. Sebagai anak bupati, Minke mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di HBS, yang merupakan sekolah khusus orang Eropa. Disana ia berkenalan dengan Annelis yang merupakan anak dari seorang wanita simpanan Belanda, bernama Nyai Ontosoroh. Kisah kasih antara Minke dan Annelis yang mendapat banyak pertentangan dari berbagai pihak, termasuk hukum kolonial, menjadi pusat cerita dari film ini.

Film yang ditayangkan dengan durasi kurang lebih selama 3 jam ini ternyata banyak mendapat kritikan dan pujian dari para pengamat dan penggemar film. Berikut adalah ulasan singkatnya:

Keunggulan Film

Salah satu yang menjadi daya tarik dari film ini adalah pengenalan tokoh-tokohnya yang tanpa basa-basi panjang. Bahkan kurang dari 10 menit awal film bergulir, karakter-karakter utama film ini telah dipertemukan.

Selain itu, film yang mengangkat tema romansa remaja era Kolonialisme juga disajikan dengan gaya romansa pop yang ringan dan mudah untuk diikuti. Disisi lain, penggambaran setting film ini dinilai berhasil mewakili Surabaya di tahun 1889 dengan cukup apik.

Kelemahan Film

Selain pujian, nyatanya film Bumi Manusia juga mendapat sejumlah kritikan yang cukup berarti.

Alur Film

Beberapa adegan dalam film yang ditampilkan secara montase membuat alur film terasa melompat-lompat. Selain itu, keinginan sutradara untuk tetap berpatokan pada novel dengan durasi film yang terbatas justru membuat keseimbangan cerita menjadi rancu.

Misalnya saja mengenai kegemaran tokoh Minke menulis yang sangat sedikit ditunjukkan di awal cerita, namun tiba-tiba Minke dikatakan cerdas saat menulis dengan nama Max Tollenaar atau tiba-tiba Minke menjadi banyak menulis saat adegan persidangan.

Penokohan

Dari segi penokohan, dipilihnya  Iqbaal Ramadhan  sebagai pemeran utama seperti buah simalaka. Karakternya yang masih terbayang-bayang peran dalam film “Dilan” membuat dia dinilai belum cukup dewasa untuk memerankan Minke. Namun, disisi lain nama Iqbaal sendiri memang diakui menjadi magnet tersendiri bagi para penonton milenial.

Selain itu, penyajian emosi para pemain dalam film ini jug dinilai kurang maksimal. Beruntung akting pemain senior, seperti pemeran Nyai Ontosoroh, yaitu Sha Ine Febriyanti cukup berhasil menyelamatkan film ini secara keseluruhan.

Catatan lain dari segi penokohan dari film ini adalah kurangnya keseimbangan pada karakter Minke dan Nyai Ontosoroh, dimana ketimpangan itu terasa cukup mengganggu manakala terlihat Nyai Ontosoroh justru lebih mampu memberi perlawanan daripada Minke.

Adegan

Ada beberapa adegan dalam karya asli Bumi Manusia yang dipangkas untuk kebutuhan durasi film. Hal ini tentu berdampak pada minimnya dramatisasi adegan yang bisa dilakukan oleh para pemain. Kurangnya dramatisasi ditambah dengan skoring yang terlalu dominan dinilai justru merusak dialog dan suasana yang dibangun.

Pemangkasan adegan juga berimbas pada porsi layar untuk para pemain pendukung dalam dilm. Alih-alih menopang alur cerita film, para pemain tambahan justru hanya menjadi pendukung agar cerita tetap berjalan.

Kelemahan lain yang cukup mencolok dari film ini adalah banyak polemik yang diangkat dalam film yang ternyata tidak sesuai dengan novel aslinya. Misalnya saja, adegan perdebatan antara Minke dengan Sarah dan Miriam de la Croix, atau kisah Nyai Ontosoroh dan Maiko yang tidak dikupas secara lebih mendalam, dirasa cukup membuat kecewa terutama bagi mereka yang telah membaca novel aslinya.

Skenario

Dari sisi sekanario, fokus cerita yang lebih banyak mengangkat romantisme Minke dan Annelis dibandingkan perjuangan Minke untuk terlepas dari diskriminasi dan perjuangan untuk kemerdekaan bangsanya juga menjadi sorotan tersendiri.

Kegagalan lainnya, adalah bahwa sosok protagonis dalam film ini justru lebih tertuju pada sosok Nyai Ontosoroh dibandingkan pada karakter Minke.

Visualisasi

Penyajian visual dalam film Bumi Manusia dinilai kurang pas untuk setting era 1898. Gambar yang tajam, berwarna, dan kontras dirasa tidak menggambarkan kondisi zaman dulu dengan pas. Hal ini bisa dibandingkan dengan film-film lain yang mengambil  latar masa lalu yang biasa disajikan dengan low contrats, low saturation, atau bermain dengan fade.

Artistik

Dari segi penata artistik, kritik ditujukan pada penampakan kereta api yang dibuat terlihat seperti mockup sangat artifisial. Selain itu, rumah Nyi Ontosoroh yang terlihat jelas dari tripleks dan warna rumah pastel yang tidak mungkin bisa terwujud di tahun 1898an.

Selain itu, beberapa pemeran pedukung karakter Belanda menggunakan kostum dengan dasi yang tidak jelas bentuknya dan tidak sesuai dengan kostum harian pada tahun tersebut. 

Terlepas dari semua kritik tersebut, secara keseluruhan film Bumi Manusia cukup sukses dan berhasil menjadi salah satu film dengan penonton lebih dari 1 juta. Selain itu, pesan penting dari film ini, yakni mengenai diskriminasi dan status sosial yang ada pada masyarakat kala itu cukup tersampaikan dengan baik.