Daftar isi
Karya sastra Angkatan ’45 memiliki karakteristik yang sangat kuat. Hal ini tak lepas dari kondisi sosial-budaya-politik pada masa tersebut.
Jika pada Angkatan Pujangga Baru karyanya banyak yang menghadirkan permainan bahasa yang indah, maka karya sastra pada Chairil Anwar dan rekan-rekannya ini lebih mementingkan isi.
Bentuk prosa dan puisi yang ditulis pada masa ini cenderung lebih bebas. Prosanya banyak bercorak realisme, sementara puisinya cenderung ekspresionisme. Berikut lima karya sastra Angkatan ’45 yang terkenal beserta sinopsisnya.
1. Tiga Menguak Takdir (Kumpulan Puisi)
Tiga Menguak Takdir merupakan kumpulan puisi yang ditulis oleh tiga sastrawan pelopor Angkatan ’45 yakni Chairil Anwar, dan Rivai Apin.
Kumpulan puisi ini pertama kali diterbitkan Balai Pustaka pada 1950 dan menjadi karya sastra berpengaruh pada era tersebut.
Pada tahun yang sama, Surat Kepercayaan Gelanggang diterbitkan di majalah yang berisi pernyataan sikap menjawab Polemik Kebudayaan angkatan Pujangga Baru.
Tiga Menguak Takdir berisikan ungkapan gagasan dan emosi para penyairnya. Buku ini terdiri atas tiga bagian tanpa judul dengan 27 puisi yakni 10 karya Chairil Anwar, 9 karya Rivai Apin, dan 8 lainnya ditulis Asrul Sani.
Dalam pengantar buku ini, Asrul Sani menulis “Perdekatan ini tak berarti menuruti salah satu garis atau garis dari salah seorang dari kami, tapi dalam dalam saling menghargai segi-segi yang dihadapi masing-masing. Garis dasar yang satu, bagi kami apriori, tak usah dipertengkarkan lagi.”
2. Deru Campur Debu (Kumpulan Puisi)
Deru Campur Debu merupakan kumpulan puisi legendaris yang ditulis oleh panyair berpengaruh Chairil Anwar.
Buku ini memuat 27 puisi yakni berjudul Aku, Hampa, Selamat Tinggal, Orang Berdua, Sia-Sia, Doa, Isa, Kepada Peminta-minta, Kesabaran, Sajak Putih, Kawanku dan Aku, Kepada Kawan, Sebuah Kamar, Lagu Siul, Malam di Pegunungan, Catetan Th. 1946, dan Nocturno.
Ada juga Kepada Pelukis Affandi, Buah Album D.S, Cerita Buat Dien Tamaela, Penerimaan, Kepada Penyair Bohon, Senja di Pelabuhan Kecil, Kabar dari Laut, Tuti Artic, Sorga, dan Cintaku Jauh di Pulau.
Puisi Aku disebut sebagai tonggak kesusastraan Indonesia yang memberikan semangat pada era tersebut. Bahasanya singkat, padat, dan lugas namun penuh perhitungan. Beberapa puisinya yang lain seperti Senja di Pelabuhan Kecil dan Cintaku Jauh di Pulau menggambarkan hatinya yang patah dan sedih.
Sang penyair yang wafat dalam usia yang masih muda ini juga menghadirkan puisi yang menggambarkan kondisi sosial di antaranya lewat Kepada Peminta-minta.
3. Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (Kumpulan Cerpen)
Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh Asrul Sani, ditulis pada tahun 1950-an.
Buku ini memuat sepuluh cerpen yakni Bola lampu, Sahabat Saya Cordiaz, Orang Laki-Bini, Beri Aku Rumah, Perumahan bagi Fadjria Novari, Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat, Oktober 1945 (dalam judul Jembatan Tanah Abang dan Kereta Malam Yogya-Jakarta), Panen, dan Museum.
Dari 10 cerpen tersebut, Bola Lampu dan Sahabat Saya Cordiaz menjadi cerpen yang paling popular.
Bola Lampu mengisahkan cinta yang tak sampai seorang pemuda. Ia mencintai seorang wanita yang memiliki bola lampu. Cintanya ditolak melalui kiriman bola lampu tersebut.
Sementara Sahabat Saya Cordiaz mengisahkan seorang tokoh yang mengalami krisis identitas bersama Chaidir Darla. Ia menggunakan nama samaran yakni Cordiaz. Dikisahkan, ia terus gelisah karena tidak kunjung mendapatkan jati diri di tengah masyarakat.
4. Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Kumpulan Cerpen dan Drama)
Ditulis oleh Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma merupakan buku kumpulan cerpen dan drama yang diterbitkan pada 1948.
Judul dari karya ini diambil dari judul karya pertama dan terakhir dari buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Ini.
Buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama yakni Zaman Jepang yang berisi cerpen berjudul Ave Maria dan naskah drama berjudul Kejahatan Membalas Dendam.
Dilanjutkan bagian kedua yakni Corat-coret di Bawah Tanah yang memuat tujuh cerpen. Masing-masing yakni berjudul Kota Harmoni, Jawa Baru, Pasar Malam Zaman Jepang, Sanyo, Fujinkai, Oh…Oh…Oh!, dan Heiho.
Sementara bagian terakhir yakni Sesudah 17 Agustus 1945, berisikan tiga cerpen berjudul Kisah Sebuah Celana Pendek, Surabaya, dan Jalan Lain ke Roma.
5. Atheis (Novel)
Atheis menduduki peran penting dalam kesusastran Indonesia. Novel ini dikarang oleh sastrawan dari Angkatan ’45 yakni Achdiat Karta Mihardja.
Diterbitkan pertama kali pada 1945 oleh Balai Pustaka, Atheis merupakan roman yang menggunakan tiga gaya naratif dengan alur yang tidak linier.
Novel ini juga menyinggung hubungan antara modernitas dan tradisionalitas. Kisahnya berpusat pada tokoh Hasan yang lahir dari keluarga keluarga penganut Tarekat Naqsyabandiyah
Sejak kecil, ia dididik untuk memegang teguh ajarannya. Namun, imannya tergoyah saat bertemu dengan sahabat lamanya bernama Rusli. Ia merupakan seorang marxis-leninis yang atheis.
Seiring berjalannya waktu, keimanan Hasan semakin memudar. Ia menjadi semakin sekuler. Terlebih lagi, Rusdi memperkenalkannya dengan berbagai penganut ideologi. Salah satunya Anwar yang merupakan seorang nihilis.
Suatu hari, ia diusir dari rumah setelah pertengkaran heboh soal agama. Ia kemudian menikah dengan Kartini. Namun, pernikahannya penuh curiga. Mereka pun bercerai.
Tidak lama berselang, ia jatuh sakit. Di akhir cerita ia tertembak patroli Jepang. Ia meninggal karena siksaan. Sebelum menutup mata ia melafalkan Allahu Akbar.