Sejarah

8 Kasus Kejahatan Genosida di Indonesia yang Perlu diketahui

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

HAM atau Hak Asasi Manusia adalah sebuah hadiah dari Tuhan untuk seluruh makhluk ciptaan nya sejak  dilahirkan ke dunia. Namun kejahatan selalu berdampingan dalam kehidupan manusia yang dapat memicu terjadinya pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM terbagi menjadi dua jenis yaitu ringan dan berat. Salah satu pelanggaran HAM berat adalah genosida yaitu peristiwa memusnahkan suatu kelompok tertentu secara sistematis. 

Indonesia ternyata pernah mengalami peristiwa kelam ini. Berikut ini adalah contoh kasus genosida yang pernah terjadi di Indonesia. 

1. Proyek Jalan Pos Anyer Panarukan

Bagi siswa-siswi Indonesia tentu saja sudah tidak asing dengan kisah tragis yang terjadi dalam pembangunan jalan pos pertama di Indonesia. Jalan tersebut merupakan mega proyek Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral Daendels. Pembangunan yang dilakukan pada tahun 1808-1811 dengan melibatkan ribuan tenaga pribumi. 

Perlakuan kejam yang didapatkan para pekerja adalah proyek ini merupakan kerja paksa tanpa upah. Pekerja pribumi bahkan tidak mendapat makan dan minum namun tetap dituntut bekerja tanpa beristirahat. Padahal proyek ini mengharuskan pekerjanya untuk membangun jalan yang melewati 39 kota dengan medan yang tidak mudah. Akibatnya banyak pekerja yang menderita sakit hingga meninggal.

Hingga akhir hayat pekerja, pemerintah Belanda enggan untuk memberi tindakan. Jenazah akan dibuang tanpa adanya doa dan pemakaman yang layak. Pekerja yang terlihat tidak bisa sembuh dari sakitnya pun akan segera disingkirkan. Perlakuan kejam ini lah yang menyebabkan genosida secara tidak langsung dengan korban jiwa sebanyak 12.000. 

Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa jumlah tersebut bukan lah nilai yang sebenarnya melainkan masih banyak korban yang tidak tercatat. Korban-korban tersebut diduga tersebar di wilayah Banten, Cirebon, Demak, Kudus, Muria, Sumedang, dan Pekalongan. 

2. Pembantaian di Banda oleh J.P. Coen

Jan Pieterszoon Coen atau sering disingkat menjadi J.P. Coen merupakan salah satu Gubernur Jendral Hindia Belanda yang dipercaya untuk memimpin monopoli dagang di Indonesia. Masa kepemimpinan J.P. Coen yaitu pada tahun 1617 hingga 1629. 

Wilayah pertama yang ia pimpin yaitu Banten, namun Coen menganggapnya tidak menguntungkan. Ia lebih memilih Jayakarta untuk membangun markasnya. Untuk merealisasikan keinginannya tersebut Coen menghancurkan Jayakarta dan membangun kembali sesuai kehendaknya. Setelah dihancurkan dan dibangun kembali kota JAYAKARTA diubah namanya menjadi Batavia. 

Meski sudah menguasai Batavia, Coen masih ingin menguasai Banda, Maluku yang kaya akan rempah khususnya pala. Coen akhirnya mengusir orang-orang Banda dengan cara menyiksa dan membunuh mereka. Peristiwa tragis ini terjadi pada tahun 1621 dengan lokasi pembantaian yaitu di Banda, Pulau Lontor dan Naira serta daerah sekitarnya. Kekejaman J.P Coen menewaskan 14.000 penduduk dan hanya 300 jiwa yang berhasil lolos. 

3. Pembunuhan Massal oleh Van den Bosch

Kebijakan Belanda bukan hanya kerja paksa melainkan ada juga tanam paksa. Tanam paksa atau dalam bahasa Belanda disebut dengan Cultuur Stelsel ini memaksa para warga pribumi untuk menanam tanaman kopi, teh, lada, kina, dan tembakau. Peraturan tanam paksa ini dipimpin oleh Van den Bosch 1830 hingga 1870. 

Aturan-aturan yang telah ditetap pemerintah Belanda ternyata dilanggar oleh mereka sendiri. Akibatnya banyak masyarakat yang menderita dimana mereka dituntut untuk mengganti rugi seluruhnya jika terjadi gagal panen, dipaksa kerja lebih dari 66 hari dimana hal ini tidak sesuai dengan perjanjian, rakyat tetap membayar pajak meskipun sudah menjalankan wajib tanam paksa, dan juga kesulitan dalam mengirim hasil panen karena tidak diberi sarana transportasi yang memadai. 

Akibat dari pelanggaran-pelanggaran kolonial tersebut banyak warga yang kelaparan, gizi buruk hingga meninggal. Korban dari cultuur stelsel ini tercatat ada 210.000 jiwa yang menjadi aturan ini masuk ke dalam genosida tak langsung. 

4. Pembantaian Etnis China di Jakarta 

Kedatangan pekerja asing ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan tepatnya masa kolonial Belanda. Bangsa-bangsa yang paling banyak datang ke Indonesia adanya China, India, Persia dan yang lainnya. Namun kedatangan orang asing khususnya etnis China ternyata mengusik ketenangan Adriaan Valckenier yang pada saat itu memimpin Batavia pada tahun 1740. 

Kebencian Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier kepada orang-orang China semakin menjadi lantaran jumlah mereka kian bertambah dan hendak memberontak. Sebelum bangsa China ini memberontak, Adriaan Valckenier pun melancarkan aksi pembantaian yang dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1740. Peristiwa in dilakukan selama tiga hari dengan korban jiwa mencapai 10 ribu. Tragedi yang dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan terhadap agama, politik, dan ekonomi ini kemudian dikenal dengan peristiwa “Geger Pecinan”. 

Peristiwa ini juga menjadi asal muasal nama sungai di Jakarta yaitu Kali Angke. Pada saat itu mayat “Geger Pecinan” ini  dibuang ke sebuah sungai. Sungai tersebut sebelum memiliki air yang jernih namun karena bercampur dengan darah korban berubah menjadi merah. Oleh sebab itu sungai in disebut kali angke dimana “Ang” yang artinya merah dan “e” artinya sungai atau kali. 

5. Tragedi Mandor, Pontianak 

Pontianak pernah mengalami peristiwa kelam yang masih diingat hingga sekarang. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Peristiwa Mandor atau Mandor berdarah. Latar belakang dari Mandor Berdarah dikarenakan adanya kecurigaan pemerintah Jepang terhadap penduduk pribumi dari berbagai kalangan untuk melawan mereka. 

Tragedi yang terjadi di wilayah Mandor ini berlangsung pada 23 Oktober 1943. Jumlah korban sangat lah banyak hingga mencapai puluhan ribu yang mayoritas adalah para pemuda. Peristiwa dimulai sejak Oktober 1943 dimana Jepang menangkap para tokoh yang dianggap menjadi dalang pemberontakan. Penangkapan kembali terjadi pada tanggal 28 Juni 1944. 

Orang-orang yang telah ditangkap ini kemudian dibawa ke suatu tempat dengan cara menutup kepala tawanan. Mereka disiksa dan dibunuh dengan cara ditembak dan ditusuk menggunakan pedang. Sejarah mencatat jumlah korban dari tragedi berdarah ini yaitu mencapai 21.037 jiwa. Korban ini termasuk sultan Kalimantan Barat dan para kaum cendikiawan.

Hingga saat ini belum menemukan titik terang siapa orang yang bertanggung jawab dalam tragedi ini namun dugaan terkuat yaitu Syuutizitiyo Minseibu. Untuk menghormati para korban, Gubernur Kalimantan Barat Kadarusno meresmikan makam tersebut sebagai Monumen Perjuangan yang diberi nama Monumen Juang Mandor. 

6. Pembunuhan Massal Westerling di Jawa Timur

Raymond Pierre Paul Westerling atau lebih dikenal dengan nama Westerling adalah seorang pimpinan pasukan Belanda. Dia dan pasukannya telah melakukan pembunuhan massal terhadap warga Jawa Timur pada tanggal 23 November 1947. Aksinya di lakukan di gerbong kereta api yang diberangkatkan dari stasiun Bondowoso menuju ke Wonokromo. Kereta tersebut digunakan untuk membawa 100 penumpang yang semuanya adalah orang Indonesia yang menjadi tawanan Belanda. 

Seratus tawanan tersebut ditempatkan dalam 3 gerbong sempit dan tertutup. Setelah mereka masuk kereta tidak langsung jalan melainkan harus menunggu selama dua jam tanpa air dan sedikit udara. Kondisi tersebut tentu sangat menyiksa para tawanan. Beruntungnya pada hari itu hujan turun mengobati sedikit rasa haus mereka dengan cara menjulurkan lidah ke arah lubang dari gerbong

Sayangnya, gerbong ketiga tidak memiliki lubang sama sekali. Seluruh tawanan di gerbong tiga tewas di tempat. Total korban dari peristiwa ini berjumlah 40 orang. 

7. Pembunuhan Massal Westerling di Sulawesi Selatan

Aksi Westerling di Jawa Timur bukanlah akhir dari kekejamannya. Ia masih melakukan pembunuhan di Makassar Sulawesi Selatan pada  11 Desember 1946 sampai 5 Maret 1947. Peristiwa tragis ini terjadi di berbagai wilayah yakni Gowa, Takalar, Jeneponto, Polombangkeng, Binamu, Maros, Pangkajene, Segeri, Tanete, Barru, Pare-pare, Polewali Mandar, Sidenreng, Rappang dan Suppa. 

Aksi Westerling ini dilandasi karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh warga Sulawesi Selatan. Mereka hendak mempertahankan negara Indonesia yang secara hukum sudah merdeka. Atas perbuatannya ini Westerling telah membunuh ribuan jiwa. Beberapa pendapat mengatakan jumlahnya mencapai 40.000 namun ada juga yang mengatakan kurang dari itu. 

8. Pemusnahan Anggota PKI

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 meninggalkan bekas luka yang teramat mendalam bagi Indonesia. Tragedi ini diduga kuat merupakan aksi yang didalangi oleh PKI untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno pada saat itu. Atas kejadian ini sebanyak 7 Jenderal gugur dengan cara yang sangat keji. 

Beruntungnya pemerintah Indonesia langsung sigap menangani dan menghentikan gerakan ini. Tokoh-tokoh PKI yang dianggap berperan besar berhasil ditangkap dan diadili. Untuk mencegah tragedi ini terulang kembali, orang-orang yang dianggap simpatisan PKI dibantai habis oleh masyarakat dan organisasi lainnya. Setidaknya ada 500 ribu jiwa anggota PKI dalam peristiwa pembantaian ini. Peristiwa merupakan tragedi genosida terbesar pada abad ke 20.