Pemaksaan, ancaman atau penggunaan tindakan hukuman terhadap negara, kelompok, atau individu untuk memaksa mereka melakukan atau berhenti dari tindakan tertentu.
Selain ancaman atau penggunaan kekuatan yang terbatas (atau keduanya), pemaksaan dapat menimbulkan sanksi ekonomi, tekanan psikologis, dan pengucilan sosial.
Konsep pemaksaan harus dibedakan dari persuasi, yang mengharuskan pihak lain untuk mengikuti tindakan atau perilaku tertentu dengan menggunakan alasan dan kepentingan pihak tersebut, bukannya mengancam atau menyiratkan tindakan hukuman.
Penggunaan paksaan, tentu saja, telah menjadi salah satu alat utama untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan pemerintahan oleh negara, kelompok politik, dan individu.
Koersi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan dengan menggunakan tekanan sehingga salah satu pihak yang berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibandingkan dengan pihak lawan; sistem komunikasi yang menggunakan paksaan dan kekerasan.
Paksaan atau koersi adalah praktik memaksa pihak lain untuk berperilaku secara spontan (baik melalui tindakan atau tidak bertindak) dengan menggunakan ancaman, imbalan, atau intimidasi atau bentuk lain dari tekanan atau kekuatan.
Pelaku menggunakan berbagai teknik untuk memaksa orang lain berperilaku seperti yang mereka inginkan. Pada tahun 1956, psikolog Albert Biderman mengembangkan kerangka kerja untuk memahami metode yang digunakan tentara asing untuk mengekstrak pengakuan palsu dari tawanan perang.
Psikolog sekarang percaya bahwa pelaku dalam banyak situasi yang berbeda menggunakan metode yang sama untuk mencapai kontrol atas korban mereka. Misalnya, korban kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan pada masa kanak-kanak sering melaporkan pernah mengalami perlakuan serupa.
Metode ini meliputi:
Bentuk Koersi sendiri terbagi menjadi dua, yaitu :
Praktisi juga dapat menggunakan informasi ini untuk berbicara dengan kaum muda tentang hubungan mereka dan membantu mereka membedakan antara hubungan yang penuh kasih dan hormat dan hubungan yang eksploitatif.
Dalam model ini, tahapan manipulasi dan pemaksaan yang mengarah pada eksploitasi dijelaskan sebagai berikut:
Tahap penargetan. Terduga pelaku atau pelaku dapat:
Tahap pembentukan persahabatan. Terduga pelaku atau pelaku dapat:
Tahap hubungan cinta . Setelah mereka membangun kepercayaan, tersangka pelaku atau pelaku dapat:
Bagi kaum muda yang sangat menghargai hubungan sosial dan penerimaan, ancaman penolakan oleh tersangka pelaku atau pelaku dan isolasi sosial lebih lanjut dapat menjadi alat yang ampuh untuk memastikan kepatuhan mereka.
Tahap hubungan yang kasar. Terduga pelaku atau pelaku dapat:
Contoh sejarah yang jelas termasuk upaya Athena yang gagal untuk memaksa Melos melepaskan netralitasnya selama Perang Peloponnesia dengan mengancam kematian dan perbudakan penduduk Melian.
Sementara Thucydides menceritakan bagaimana orang Athena melakukan ancaman ini, upaya pemaksaan gagal karena tidak membuat Melian mengubah perilaku mereka, kecuali kekalahan dan kehancuran total mereka.
Penggunaan ancaman koersif yang lebih berhasil didramatisasi oleh William Shakespeare dalam Henry V. Henry V mengancam akan membuat pelabuhan Harfleur di Prancis dijarah, diperkosa, dan dibantai jika tidak segera menyerah kepada pasukannya. Dalam hal ini, penggunaan paksaan berhasil membuat kota menyerah tanpa perlawanan terakhir.
Koersi merupakan sebuah bentuk pemaksaan baik secara fisik maupun non fisik. dalam pemerintahan biasanya pemaksaan yang ada bertujuan untuk menertibkan dan membuat keadaan menjadi kondusif.
Namun acap kali koersi menjadi hal negatif seiring niat dari pelaku yang menginginkan sebuah kemenangan dalam masalah yang dihadapi.
Maka dari itu, banyak psikolog menyarankan berbagai metode untuk mengalahkan koersi yang nyata terjadi di masyarakat dewas ini. Dan salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga yang marak terjadi.