Daftar isi
Literasi adalah kemampuan membaca, memahami, menafsirkan, mengevaluasi hingga menulis kembali informasi yang didapatkan dari buku bacaan. Kemampuan ini perlu pembiasaan bahkan sejak dini. Di beberapa negara berkembang, kebiasaan membaca tidak diterapkan.
Pendidikan merupakan salah satu hak yang harus didapatkan oleh semua orang. Namun, sayangnya, tidak semua negara memperhatikan dunia pendidikan. Di era modern, seperti sekarang pun masih banyak anak-anak yang mengalami buta huruf. Hal ini dikarenakan mereka tidak pernah mengenyam pendidikan ataupun mengalami putus sekolah.
Literasi dan pendidikan adalah dua hal yang saling berkaitan. Sayang sekali, di sejumlah negara, memiliki tingkat literasi yang rendah. Angka melek huruf pun masih tergolong rendah, bahkan ada yang berada di bawah 50%. Padahal literasi menjadi salah satu tolak ukur sebuah negara dikatakan maju.
Hal ini tidak lain disebabkan karena faktor ekonomi yang kurang sehingga tidak mampu meningkatkan kemampuan literasi. Kemampuan literasi perlu didukung dengan sejumlah fasilitas seperti perpustakaan dan sekolah. Namun, di beberapa negara ini fasilitas tersebut masih kurang.
Berikut negara dengan literasi terendah.
Sudan Selatan merupakan negara dengan literasi terendah yakni hanya sekitar 35% masyarakatnya yang melek huruf. Bahkan dari dua juta anak yang berada di Sudan Selatan, sekitar 70% mereka tidak mampu merasakan pendidikan. Beberapa anak mengalami putus sekolah, mereka justru disibukkan dengan kegiatan beternak.
Anak-anak tersebut merupakan satu perkumpulan dalam sebuah komunitas bernama pastoral. Di mana terdiri dari anak-anak putus sekolah, kaum perempuan, berada di bawah kemiskinan, pernikahan dini. Pendidikan di Sudan Selatan juga dipengaruhi oleh agama dan pandangan budaya yang membuat pendidikan di sini sulit berkembang.
Untuk mengatasi rendahnya literasi masyarakat Sudan Selatan, menteri Pendidikan di sana mengutamakan literasi terhadap orang dewasa. Hal ini dikarenakan dengan mengutamakan orang dewasa dapat membebaskan Sudan dari kemiskinan dan mencegah adanya konflik. Sudah tercatat sekitar 208.000 orang terdaftar sebagai pendaftar program membaca dan menulis.
Sama halnya dengan Sudan Selatan, Mali juga hanya memiliki angka melek huruf sekitar 35%. Menurut UNICEF, sekitar 2 juta anak yang berada di bawah usia 17 tahun mengalami putus sekolah. Selain itu, lebih dari separuh dari generasi muda Mali mengalami buta huruf. Meskipun begitu, pendidikan di Mali akhir-akhir ini terus mengalami peningkatan. Hanya saja, angka melek huruf di negara ini masih saja rendah.
Faktor pendorong anak-anak di Mali mengalami putus sekolah dikarenakan kemiskinan, eksploitasi anak dalam pekerjaan, pernikahan dini, dan kurang amannya ruang sekolah bagi anak-anak. Selain itu, fasilitas pendukung pun masih tergolong rendah seperti guru-guru yang belum kompoten, jumlah buku bacaan yang kurang, serta lingkungan sekolah yang rendah. Semua itu mempengaruhi hasil belajar anak-anak yang belajar.
Bahkan sebagian besar, anak-anak di Mali yang duduk di kelas belum bisa matematika dasar dan kemampuan membacanya masih kurang. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor Mali menjadi negara dengan literasi yang rendah.
Angka melek huruf di Republik Afrika Tengah tergolong rendah yakni hanya 37%. Rendahnya angka literasi ini disebabkan oleh krisis kemanusiaan. Peperangan yang menimpa Afrika Tengah sangat berdampak bagi pertumbuhan anak-anak di sana.
Banyak sekolah yang tutup dikarenakan kurangnya tenaga guru dan adanya peperangan. Hal inilah yang membuat akses pendidikan bagi anak-anak di Afrika Tengah menjadi kurang. Akibatnya, masih banyak dari mereka yang belum bisa membaca.
Burkina Faso merupakan salah satu wilayah di Afrika Barat. Angka melek huruf dari negara ini hanya 41% saja. Sejatinya pendidikan di Burkina Faso memang gratis, hanya saja pemerintah di sana tidak mempunyai sumber daya yang memadai untuk mengadakan sekolah gratis.
Akibatnya, negara ini masih kekurangan sekolah. Imbasnya, dari satu kelas dapat menampung anak sebanyak 65 orang siswa. Bahkan sekolah-sekolah di pedesaan menampung siswa dalam jumlah yang lebih besar. Oleh karena itu, ketika ruang kelas sudah tidak memadai lagi, maka anak-anak itu akan ditolak oleh sekolah. Mereka dapat bersekolah di tahun ajaran baru nanti.
Kondisi seperti ini membuat perkembangan dan kemampuan anak menjadi lamban. Tidak heran, jika masih banyak anak-anak yang m engalami buta huruf. Selain itu, kelebihan kapasitas di dalam ruang kelas dapat membuat pemahaman anak akan pelajaran yang diajarkan menjadi kurang.
Benin memiliki angka melek huruf yang masih rendah yakni hanya 41% saja. Benin masih berada di Afrika Barat yakni antara Togo dan Nigeria. Sekitar 12,3 juta warga Benin berada dalam literasi yang rendah. Rendahnya literasi di Benin diakibatkan oleh keadaan ekonomi yang mengguncang pada tahun 2010 dan juga banjir yang melanda wilayah ini.
Pada tahun 2018, separuh dari orang dewasa di Benin mengalami buta huruf. Sementara itu, hampir 2/5 dari jumlah orang-orang yang berusia di Benin mengalami buta huruf. Dengan angka tersebut, menandakan bahwa masyarakat Benin membutuhkan pendidikan di ruang kelas agar dapat membaca dan menulis.
Untuk mengatasi rendahnya literasi di Benin, pemerintah menggelontorkan dana lebih setiap tahunnya. Dana digunakan untuk keperluan peningkatan angka melek huruf di Benin. Salah satunya melalui teknologi. Hal ini terbukti dengan teknologi dapat meningkatkan angka melek huruf di Benin.
Afghanistan memiliki angka melek huruf sekitar 43%. Pendidikan Afghanistran terganggu dikarenakan peperangan yang melanda negara ini bahkan selama 3 dekade. Pada kalangan generasi muda, angka melek huruf hanya sekitar 34,3% saja sedangkan pada orang dewasa jauh lebih rendah yakni 29%.
Bahkan kondisi jauh lebih parah bagi masyarakat Afghanistan yang berada di pedesaan dan kaum perempuan. Hanya delapan persen saja perempuan Afghanistan yang dapat melek huruf. Akibat dari kurangnya pendidikan dan angka melek huruf yang rendah membuat Afghanistan menjadi negara dengan pembangungan terbelakang.
Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Afghanistan membuat sebuah program literasi bernama ELA. Program ELA akan diterapkan pada 18 provinsi dan 94 kabupaten di Afghanistan. Program lima tahun ini akan memberikan pendidikan tulisan kepada 600.000 pemuda dan orang dewasa. Di mana 60% di antaranya merupakan perempuan.
Siera Leone merupakan negara yang berada di Afrika Barat. Angka melek huruf di Siera Leone sekitar 43℅. Salah satu tantangan terbesar di Siera Leone adalah pendidikan yang berkualitas. Di negara ini, sulit untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dikarenakan beberapa faktor.
Seperti angka kemiskinan yang meningkat, diskriminasi gender, jarak ke sekolah yang jauh serta beberapa praktik norma sosial yang negatif. Semua itu membuat rendahnya tingkat literasi di negara ini. Tingginya angka putus sekolah di Siera Leone dikarenakan adanya perang saudara. Perang saudara membuat terganggunya sistem kesejahteraan sosial yakni salah satunya sekolah.
Ada sekitar 53℅ anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun belum bisa menguasai keterampilan membaca. Hal ini terjadi pada negara dengan penghasilan rendah dan menengah seperti halnya Siera Leone. Untuk mengentaskan rendahnya literasi di Siera Leone, negara ini memiliki sebuah program pengembangan PAUD holistik.
Di mana program ini menambahkan kelas pra sekolah ke dalam sekolah formal selama satu tahun. Tidak hanya itu, guru-guru di sana pun dilatih dengan keterampilan mengajar berbasis permainan. Setidaknya ada 20.000 buku yang sudah didistribusikan oleh pemerintah.
Pantai Gading merupakan negara di kawasan Afrika Barat. Negara ini memiliki angka melek huruf sekitar 47 persen. Di mana presentase melek huruf antara laki-laki dan perempuan mengalami perbedaan. Untuk angka buta huruf laki-laki sekitar 46,9 persen sedangkan angka melek huruf pada perempuan sekitar 67,5 persen. Sebelum tahun 2011, negara ini dilanda konflik yang berkepanjangan sehingga membuat pendidikan di negara ini terganggu.
Sama halnya seperti negara di Afrika lainnya, pendidikan di Pantai Gading ini memang mengalami kesenjangan gender. Angka partisipasi kehadiran di sekolah jauh lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak heran jika angka butu huruf pada perempuan jauh lebih tinggi.
Akses pendidikan yang sulit semakin memperparah tingkat literasi di Pantai Gading. Padahal negara ini memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah salah satunya cokelat. Namun, hal tersebut membuat angka melek huruf di negara ini menjadi tinggi. Permasalahannya sama seperti negara di Afrika lain yakni pada kemiskinan dan pernikahan dini.
Irak ternyata termasuk ke dalam negara dengan tingkat literasi terendah. Sekitar 50 persen angka melek huruf di negara ini. Buruknya sistem pendidikan di negara ini dipengaruhi oleh perang yang berkepanjangan. Padahal dulu Irak menjadi salah satu di negara Timur Tengah yang memiliki sistem pendidikan yang terbaik. Bahkan dulu negara ini menjadi salah satu negara tujuan sekolah tinggi di dunia.
Namun, keadaan itu berbanding terbalik. Di beberapa provinsi yang terkena dampak dari peperangan seperti Salah Al Din dan Dilaya sebanyak 90 persen anaknya tidak mendapatkan pendidikan. Banyak anak-anak yang terlantar, di mana 355.000 tidak dapat bersekolah. Bahkan kondisi pendidikan anak-anak perempuan di Irak jauh lebih parah.
Komoro merupakan negara yang berada di kawasan Arab dan memiliki wilayah yang cukup kecil. Bahkan negara ini menjadi negara terkecil di kawasan Arab setelah Bahrain. Meskipun memiliki wilayah yang kecil, namun angka melek huruf di negara ini cukup rendah. Angka melek huruf di Komoro hanya sekitar 59℅. Artinya hanya ada sekitar 513 jiwa saja di Komoro yang dapat melek huruf.
Pendidikan di negara ini terhambat dikarenakan desentralisasi negara yang terjadi pada tahun 2011. Keadaan ini semakin parah dengan kondisi pendidikan yang menyedihkan seperti kurangnya fasilitas, guru-guru, serta gaji guru yang masih menunggak. Hal inilah yang membuat banyak guru di Komoro tidak ingin mengajar. Imbasnya, banyak anak di Komoro tidak dapat membaca.
Pada tahun 2017, lebih dari 3 siswa dari total 4 siswa yang duduk di kelas lima ternyata tidak dapat memenuhi keterampilan literasi. Mereka tidak dapat membaca serta memahami konsep matematik dasar. Untuk meningkatkan literasi di Komoro, pemerintah bekerja sama dengan GPE serta beberapa rekan kerja sama lainnya.
Adapun bentuk kerja sama ini dalam hal peningkatan keterampilan guru dan partisipasi anak dalam pra sekolah. Setidaknya anak-anak di Komoro dapat merasakan pra sekolah selama satu tahun. Tidak hanya itu, pemerintah setempat juga melakukan evaluasi mengenai kualitas pembelajaran.
Sudan merupakan negara di Kawasan Timur Tengah, lebih tepatnya di Afrika Utara yang memiliki banyak anak yang putus sekolah. Angka melek huruf di negara ini sekitar 61 persen. Sebanyak lebih dari tiga juta anak yang berusia di bawah 13 tahun tidak dapat bersekolah.
Seperti negara di Afrika lainnya, terhambatnya pendidikan di Sudan diakibatkan oleh peperangan, keterbelakangan pembangunan dan kurangnya kesadaran pada pendidikan. Ada sekitar 2 juta di Sudan yang tidak dapat merasakan pendidikan.
Kebanyakan anak di Sudan lebih memilih untuk beternak dibandingkan pergi belajar ke sekolah. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh tingginya angka pernikahan dini di Sudan sehingga membuat anak-anak di Sudan tidak bisa bersekolah. Hanya sekitar 27 persen orang dewasa di Sudan yang bisa menulis dan membaca.
Meskipun pemerintah terus berupaya melakukan peningkatan literasi di Sudan, namun angka merek huruf di Sudan masih saja rendah. Pemerintah melakukan upaya dengan cara memberikan program kelas baca tulis dan membagikan sejumlah buku. Namun, angka melek huruf di Sudan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara Afrika lainnya.
Nigeria memiliki angka melek huruf sekitar 62 persen. Di mana dengan rincian sekitar 50,5 persen untuk anak laki-laki dan 31,8 persen anak perempuan yang bisa melek huruf. Meskipun tingkat pendapatan per kapita di negara ini cukup tinggi, tidak membuat pendidikan di Nigeria terjamin. Salah satu permasalahan pendidikan di Nigeria adalah kiranya jumlah pra sekolah yang di mana hanya sekitar 13 persen saja.
Padahal, Rata-rata jumlah pra sekolah di Afrika Sub Sahara sekitar 20 persen. Tidak hanya itu, masalah pendidikan di Nigeria ini adanya ketimpangan pendidikan dari segi gender. Di mana hanya sekitar 47,7 persen saja perempuan yang mengenyam pendidikan di negara bagian timur laut dan barat ini. Sisanya yakni 47,3 persen anak perempuan tidak mengenyam pendidikan.
Di salah satu wilayah di Nigeria yakni Borni ada sekitar 74,8 persen anak-anak yang berada di bawah usia 16 tahun tidak pernah merasakan pendidikan. Selain itu, terdapat penurunan pada jumlah sekolah yang ada di wilayah ini sekitar 58 persen. Begitupun dengan angka partisipasi kehadiran di sekolah yang mengalami penurunan yakni hanya 61 persen saja.
Tidak hanya itu, terdapat statement negatif yang berkembang di Nigeria mengenai pendidikan. Para orang tua beranggapan bahwa sekolah formal hanya membuang waktu saja. Hal ini dilatarbelakangi oleh tidak adanya peningkatan hasil belajar pada anak-anak yang mendaftar sekolah. Mereka tetap tidak bisa membaca dan menulis bahkan untuk namanya sendiri.