Sejarah

6 Pahlawan Nasional dari Aceh Beserta Biografi Singkatnya

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Selain diberi julukan serambi Mekah, Aceh juga sering disebut sebagai tanah rencong. Julukan ini disematkan dari senjata tradisional khas Aceh yakni rencong. Sejak dulu, rakyat Aceh terkenal dengan keberaniannya melawan para pernjajah bahkan sampai titik darah penghabisan. Banyak sekali tokoh-tokoh asal Aceh yang berjuang untuk melawan penjajah. Mereka di antaranya disematkan gelar Pahlawan Nasional. Lalu, siapa saja pahlawan nasional asal Aceh tersebut? Selengkapnya akan dibahas berikut ini.

1. Teuku Umar

Teuku Umar lahir pada tahun 1854 di Meulaboh. Ia merupakan anak dari seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dengan adik perempuan dari Raja Meulaboh. Saat usianya masih 19 tahun, ia pernah terlibat dalam Perang Aceh. Tidak hanya sampai di situ, keterlibatannya dalam memerjuangkan kemerdekaan adalah dengan berpura-pura untuk bekerja sama dengan Belanda.

Saat itu, ia menggunakan siasat gerilya untuk mengelabui Belanda. Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah yang merupakan anak dari Uleebalang Glumpang. Kemudian, ia juga menikah lagi dengan seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim yang bernama Nyak Malighai.

Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi Cut Nyak Dien, yang termasuk salah seorang Pahlawan Nasional dari Aceh juga. Saat itu, Cut Nyak Dien dalam keadaan janda setelah suaminya yang bernama Ibrahim Lamnga meninggal dunia karena melawan Belanda. Setelah pernikah itu, keduanha bersama-sama berjuang untuk melawan Belanda. Sayangnya, Teuku Umar gugur karena peluru musuh yang mengenainya. Saat itu ia tengah melawan pasukan Jenderal Van Heutsz yang menghadangnya di Meulaboh. Teuku Umar wafat pada tahun 1899 di Aceh.

2. Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien merupakan salah seorang pahlawan nasional perempuan yang lahir pada tahun 1850. Ia adalah isteri dari Teuku Umar. Bersama suaminya, ia berjuang untuk melawan Belanda di tanah Meulaboh. Suaminya telah gugur saat melawan pasukan Belanda. Oleh karena itu, ia melanjutkan perjuangan suaminya untuk melawan pasukan Belanda yang ada di pedalaman Meulaboh Aceh Barat. Sayangnya, ia berhasil ditangkap oleh Belanda bahkan hingga berusai renta dan rabun. Kondisi Cut Nyak Dien ini didapatkan dari pengikutnya yang bernama Pang Laot. Ia merasa kasihan dengan kondisi Cut Nyak Dien yang sudah digerogoti berbagai penyakit. Berkat laporannya inilah Cut anyak Dien dibawa ke Banda Aceh untuk dirawat.

Setelah mendapatkan perawatan, Cut Nyak Dien sembuh dari penyakit yang menggerogotinya selama ini. Sayangnya, ia kembali diasingkan ke Sumedang karena dianggap dapat memberikan pengaruh yang kuat bagi masyarakat Aceh. Pengasingannya yang kedua ini sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 6 November 1908. Ia kemudian dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Makamnya di Sumedang kemudian baru ditemukan pada tahun 1959 setelah dilakukannya pencarian atas permintaan Ali Hasan yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Aceh. Atas semua jasanya, ia diberikan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964.

3. Laksamana Malayahati

Laksamana Malayahati merupakan pejuang perempuan dari tanah Aceh. Ia berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah sementara kakeknya adalah Laksamana Muhammad Said Syah yang merupakan anak dari Sultan Salahuddin Syah. Sultan Salahuddin Syah pernah memegang kekuasaan pada tahun 1530-1539 Masehi dan merupakan anak dari seorang pendiri kerajaan Aceh Darussalam yaknu Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah.

Meskipun terlahir dari darah sultan, tak membuat Malahayati berdiam diri di kesultanan. Sama seperti ayah dan kakeknya, ia turut memerjuangkan kemerdekaan. Ia bahkan pernah menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Tidak hanya itu, pada tanggal 11 September 1599, ia pernah memimpin sekitar 2000 orang pasukan Inong Balee atau janda pahlawan yang gugur. Saat itu, pasukan tersebut dipersiapkan untuk melawan kapal serta benteng milik Belanda.

Pada pertempuran tersebut, ia berhasil membunuh seorang Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Oleh sebab inilah, ia diberi gelar Laksamana karena keberaniannya dalam melawan dan membunuh salah seorang pemimpin Belanda. Atas semua jasa yang telah diberikannya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 2017. Selain itu, namanya pun diabadikan dalam berbagai nama tempat seperti pelabuhan yang ada di Teluk Krueng Raya, kapal perang Fregat kelas Fatahillah miliknya TNI AL, Universitas di Bandar Lampung dan masih banyak lagi.

4. Cut Nyak Meutia

Perempuan hebat selanjutnya yang berasal dari tanah rancong ini adalah Cut Nyak Meutia. Ia merupakan salah seorang peminpin yang melakukan perlawanan kepada penjajah di Aceh Utara. Sama seperti Cut Nyak Dien, ia juga melanjutkan perjuangan suaminya yang bernama Teuku Cik Tunong. Ia beserta suami keduanya yakni Pang Naggroe berjuang untuk melawan penjajah. Sayangnya, keduanya gugur pada tanggal 16 september 1910. Cut Nyak Meutia, terlibat dalam bentrokan dengan pasukan Marsoses di Alue Kurieng dan menyebabkan dirinya gugur. Atas semua jasa yang telah diberikannya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964.

5. Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda merupakan seorang Raja yang terkenal karena dapat membawa Aceh pada puncak keemasan. Sultan Iskandar Muda lahir pada tahun 1593. Pada masa pemerintahannya sekitar tahun 1607-1636, Aceh dapat menguasai Sumatera bahkan hingga sebagian Malausia seperti wilayah Johor dan Kedah. Tidak hanya itu, saat itu Aceh melakukan perlawanan kepasa Portugis yang ada di Malaka.

Di bawah pemerintahannya, Aceh dapat mencapai puncak kejayaan sebagai pusat perdagangan serta pembelajaran islam. Atas semua jasa yang telah diberikannya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional pada tahum 1993. Tidak hanya itu, namanya pun diabadikan sebagai nama bandar udara internasional yang ada di Aceh yakni Bandae Udara Sultan Iskandar Muda Aceh.

6. Teuku Cik di Tiro

Teuku Cik di Tiro merupakan seorang ulama sekaligus panglima besar Aceh yang lahir pada tahun 1836. Ia memiliki nama lengkap Teuku Muhammad Saman. Namanya mulai muncul saat menjadi pemimpin perang saat melawan Belanda pada tahun 1881. Delapan tahun setelah menyatakan perang kepada Aceh, ia bersama Teuku Chik Panten Kulu mengorbankan semangatnya untuk melakukan perang di jalan Allah. Ia bahkan sampai pindah ke Aceh Besar saei Lamlo, Pidie dan menjadikannya sebagai basis gerliyawan di Desa Meureu Indrapuri.

Desa Meureu Indrapuri dijadikan sebagai basis gerilya karena kondisi alam yang mendukung yakni berupa dataran rendah serta perbukitan. Kontur alam yang seperti inilah yang dianggap cocok untuk menjadi benteng pertahanan secara alami. Dari pertempuran tersebut, satu per satu benteng milik Belanda direbut oleh pasukannya. Hal ini tentunya membuat Belanda keteteran sampai berulang kali mengganti gubernur untuk melawan pasukan Teuku Cik di Tiro. Sayangya, akhir hidup dari seorang pejuang ini berakhir mengenaskan. Ia meninggal dunia karena diracun melalui makanan yang disajikan oleh seorang perempuan. Oleh karena itulah, ia meninggal dunia pada tahun 1891 dan dimakamkan du Desa Meureu, Indrapuri. Atas semua jasa yang diberikannya, ia diberi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1973.

Itulah keenam tokoh pahlawan Nasional dari Aceh. Aceh tidak hanya melahirkan para laki-laki tangguh saja, melainkan juga sosok-sosok perempuan hebat. Seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia dan Laksamana Malayahati. Mereka adalah para perempuan hebat yang berani melawan para penjajah sekalipun nyawa taruhannya. Bersama pasangannya, mereka berjuang melawan para penjajah yang semena-mena. Bahkan sekalipun pasangan mereka telah gugur, hal itu tidak menyurutkan semangat yang berkonar untuk melawan penjajah.