Daftar isi
Bangka Belitung terletak di bagian timur Pulau Sumatera atau dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua pulau utama yakni Bangka dan Belitung serta pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya. Paling tidak ada sekitar 470 buah yang ada di Bangka Belitung yang telah memiliki nama. Namun, hanya 50 pulau yang berpenghuni.
Bangka Belitung terkenal sebagai provinsi yang memiliki hasil timah yang melimpah. Tidak hanya itu, Babel juga memiliki pantai yang indah dan menjaga kerukunan antar etnis. Selain hal tersebut, Bangka Belitung rupanya melahirkan banyak pahlawan nasional yang ikut berjuang melawan penjajah. Siapa saja pahlawan nasional dari Bangka Belitung? Selengkapnya akan kita bahas berikut ini.
Ali Samid merupakan lahir dari Desa Nibung Koba, Bangka. Saat masa kependudukan Jepang, ia pernah bekerja sebagai pegawai pelabuhan yang ada di Lampung. Namun, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, ia pulang ke tanah kelahirannya. Mendengar kabar bahwa Belanda akan kembali menjajah Indonesia, membuat semangat juang yang ada di dalam dirinya kembali terbakar. Ia kemudian berhabung bersama TRI yang saat itu dipimpin oleh ayahnya sendiri yang bernama H. Muhammad Nor.
Pada tanggal 14 Februari 1946, mereka berangkat ke Desa Petaling namun saat sudah sampai keduanya berpisah. Hal ini dikarenakan medan perang yang berbeda. Ayahnya atau H. Muhammad Nor bertugas untuk memimpin pasukan di KM 16 sedangkan ia sendiri bergabung dengan TRI yang dipimpin oleh Kapten Munzir. Ia bertugas untuk menarik pasukan di KM 12 dan KM 16 untuk bertahan di Pangkalpinang. Namun, saat tiba di KM 12, ia diberondong senjata oleh Belanda. Pada hari yang sama, ayah dan anak tersebut gugur dalam membela bangsa. Keduanya dimakamkan di tempat yang berbeda. H. Muhammad Noor di makamkan di TPU Desa Petaling sementara Ali Samid dimakamkan di satu lubang yang sama dengan pejuang lainnya yang berjuang di KM 12.
A Madjid Gamblang merupakan anggota TRI dari kompi Belinyu. Ia lahir di ibu kota Bangka Belitung yakni Pangkalpinang. A Madjid Gamblang merupakan tokoh pejuang yang pemberani dan berwatak keras. Sejak kecil, jiwa patriotismenya sudah tertanam. Ia selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Bersama 19 orang anggota TRI lain, ia masuk ke dalam TRI pilihan yakni jajaran inti Pasukan Berani Mati atau (PBM). PBM dipimpin oleh Kapten Saman Idris dan bermarkas di Belinyu. Di antara kedua puluh orang yang terpilih tersebut, ia merupakan satu-satunya orang yang gugur dalam pertempuran di KM 12. Saat gugur usianya bahkan masih sangat muda yakni kurang dari 21 tahun. Namun, perjuangannya untuk Indonesia sudah begitu besar.
Depati merupakan anak dari Depati Bahrin dan adik dari Depati Amir. Keduanya sama-sama berjuang untuk melawan Belanda sama seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Sejak ayahnya memimpin perlawanan Bangka, Amir dan Hamzah sudah menjadi panglima perang. Keduanya telah menunjukkan sikap kepemimpinan yang baik yakni sifat yang tegas, cerdas, cakap serta berani. Keduanya bahkan membangun sebuah markas besar yang ada di daerah Tampui dan Belah serta di kaki Gunung Maras.
Deputi Amir merupakan kakak dari Deputi Hamzah dan anak daru Deputi Bahrin. Semangatnya melawan penjajah terkenal hampir ke seluruh tanah yang ada di Bangka. Ia bersama adiknya aktif melawan penjajah. Oleh karena keaktifannya dalam melawan Belanda, membuat Belanda cemas Amir akan memberikan banyak pengaruh bagi masyarakat Bangka.
Sehingga, Belanda melakukan pengangkatan Amir sebagai Depati atas daerah Mendara dan Mentadai. Namun, hal itu ditolak oleh Amir. Meskipun demikian, gelar depati tetap tersemat di samping namanya. Hal ini dikarenakan kecintaan rakyat kepada anak sulung dari Deputi Bahrin itu. Selain itu, rakyat Bangka sedang membutuhkan sosok pemimpin bagi mereka. Deputi Amir sempat diasingkan di desa air mata Kupang, NTT. Pengasingan ini dilakukan karena Belanda khawatir dengan pergerakan yang dilakukan oleh Amir.
Jamher merupakan sosok pemuda yang berusia kurang lebih 22 gahun dan berasal dari Pulau Jawa dan tinggal di Sungailiat. Ia pernah mendapatkan pendidikan di Heiho pada masa pendudukan Jepang. Selain itu, ia juga bergabung menjadi anggota TRI bersama kawannya yang ada di Sungailiat. Jamher adalah anak buah dari Kapten Munzir yang ditugaskan untuk menarik pasukan di KM 12 dan KM 16 di Petaling. Namun, saat berada di KM 12, ia diberondong dengan peluru dari Belanda. Untung saja, ia masih dapat menyelamatkan diri. Bahkan ia pun sempat menyelamatkan seorang temannya yang hampir menjadi sasaran tembak tentara Belanda.
Karto Saleh seorang pemuda yang berusia kurang lebih 21 dan berasal dari Desa Petaling. Ayahnya bernama Saleh yang berprofesi sebagai penghulu itu berasal dari Pulau Jawa. Sementara ibunya bernama Jar, merupakan warga Desa Petaling. Sama seperti Jamher, Karto merupakan anak buah dari Munzir Thalib yang mendapatkan tugas untuk menarik pasukan dari KM 12 untuk bertahan di Kota Pangkalpinang. Sayangnya, saat tiba di KM 12, ia yang saat itu menjadi supir dari Munzir bersama lima orang anggota TRI lainnya, langsung ditodong peluru oleh tentara Belanda. Kemudian ia gugur karena mendapat tembakan di bagian kening, tepat di antara kedua matanya.
Sulaimin Samin merupakan sosok yang memiliki kepribadian pendiam namun memiliki semangat juang yang tinggu. Ia merupakan mantan dari anggota Heiho yang ada di Palembang. Kemudian ia bergabung dengan Kompi TRI Belinyu. Saat melakukan perjalanan menuju medan perang di KM 12, ia dicegat oleh Saimin yang merupakan ayahnya. Ayahnya meminta ia untuk mengurungkan niat untuk bertempur. Namun, Sulaimin menolak permintaan ayahnya. Ia memilih untuk melanjutkan perjalanan menuju KM 12 Petaling bersama dengan TRI dan Pasukan Berani Mati dari Kompi Belinyu.
Beberapa hari sebelum berangkat ke KM 12 Petaling, ia berjanji kepada kekasihnya akan menikahi gadis itu sepulang dari medan perang. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa ayahnya meminta Sulaimin mengurungkan niat untuk bertempur karena ia akan menikah. Sayangnya, takdir berkata lain. Janji suci pernikahan belum sempat diucapkan, Sulaimin gugur di medan perang. Ia terkena sebutir peluru tepat pada keningnya. Jenazahnya dikuburkan bersama 11 pejuang lainnya dalam satu lubang. Saat dilakukan penggalian pada makam tersebut ditemukan satu jasad yang masih bisa dikenali. Jasad tersebut rupanya jasad milik dari Sulaimin. Hal ini karena ditemukan gigi emas yang masih melekat pada rahang atas tengkorak.
Suardi Masam atau Bugel merupakan sosok pemuda yang berasal dari Kampung Jawa Belinyu. Ia pernah menjadi anggota Heiho. Saat Heiho dibubarkan, ia bergabung ke dalam TRI Kompi Belinyu. Suardi kerap dikenal dengan nama Bugel. Ia merupakan sosok yang memiliki watak keras dan pantang menyerah. Ia sempat keluar dari TRI namun tak diketahui apa alasannya. Namun, saat mengetahui Belanda ingin menguasai Bangka, semangat juang yang ada di dalam dirinya kembali berkobar. Ia memutuskan untuk bergabung kembali dengan TRI. Ia kemudian gugur dalam usia yang masih muda yakni sekitar 22 tahun.
Abdul Somad Tholib adalah pemuda dari Kampung Jawa Belinyu yang sempat menjadi anggota Heiho. Saat Heiho dibubarkan, ia memilih untuk pulang kampung. Di kampungnya, ia bersaka sejumlah rekannya memilih bergabung dengan TRI Palembang. Perjuangannya membela tanah air di mulai ketika bergabung dengan TRI. Sayangnya, ia meninggal dunia setelah gugur pada tanggal 14 Februari 1947. Ia gugur dalam usia yang masih muda yakni sekitar 20-22 tahun.
Saman Samin merupakan laki-laki yang berusia 40 tahun dan berprofesi sebagai petani . Semangat juangnya yang begitu besar, membuat dirinya meninggalkan kebunnya dan memilih bergabung dengan TRI. Ia merupakan anak buah dari Kapten Munzir. Ia bertugas untuk mendampingi kapten Munzir untuk menarik pasukan di KM 12 dan KM 16 yang ada di Petaling. Sayangnya, tujuannya belum sampai, ia terlebih dahulu diberondong oleh peluru dari tentara Belanda.
Itulah sejumlah tokoh pahlawan nasional dari Bangka Belitung. Rata-rata mereka merupakan anggota dari TRI Belinyu dan anak buah dari Kapten Munzir. Ada beberapa dari mereka yang gugur saat ditugaskan untuk menarik pasukan di KM 12 dan KM 16. Mereka yang gugur rata-rata masih sangat muda yakni kisaran umur 20-22 tahun. Semoga kisah mereka dapat menjadi refleksi diri sebagai generasi muda. Sudah sejauh mana berkorban untuk negara kita tercinta ini.