Daftar isi
Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya setelah ratusan tahun mengealami masa penjajahan. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Moh. Hatta sukses memproklamasikan kemerdekaan NKRI.
Tentunya perjuangan melawan penjajah tidak lepas dari pengorbanan para pahlawan. Diantara pahlawan-pahlawan tersebut bahkan ada yang rela menghabiskan masa remaja mereka dan gugur di usia muda. Pejuang yang gugur pada usia muda antar lain:
Supriyadi lahir pada tanggal 13 Februari 1923, beliau ditunjuk menjadi komandan platon atau soedancho milisi PETA (Pasuka Pembela Tanah Air). Pasukan ini dibentuk pada Oktober 1993 untuk membantu tentara Jepang mengawasi pekerja romusha.
Soedancho Supriydi pun menjalani latihan militer di Blitar, Jawa Timur. Melihat kondisi rakyat yang begitu sengsara akibat kekejaman romusha muncullah niat Supriyadi untuk memberontak.
Supriyadi bersama dengan kawannya menyusun strategi perlawanan ketika di tugaskan untuk membentuk batalyon di Jawa pada bulan Desember 1943.
Supriyadi dan kawannya melancarkan aksinya pada Februari 1945. Perlawanan di Blitar, Jawa Timur ini merupakan perlawan bersenjata pertama di Indonesia.
Namun Supriyadi menghilang secara misterius, keberadaannya tidak pernah diketahui hingga saat ini. Diperkirakan Soedancho Supriyadi diculik dan dibunuh oleh tentara Jepang.
Posisi Supriyadi sebagai komandan pun digantikan oleh Suliyoadikusumo pada tanggal 20 Oktober 1945.
Meski hilang secara misterius nama Supriyadi tetap dikenang sebagai pahlawan yang sangat berjasa terhadap bangsa Indonesia. Supriyadi secara resmi mendapat gelar pahlawan nasional pada tanggal 9 Agustus 1975.
Sosoknya di abadikan dalam sebuah patung yang diletakkan di depan Museum dan Monumen Peta. Museum dan Monumen PETA sendiri berlokasi di Jalan Jendaral Sudirman, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Perjuangan Supriyadi inilah yang menjadi tombak awal berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Robert Wolter Monginsidi atau yang biasa dipanggil Bote lahir pada tanggal 14 Februari 1925 di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. Beliau gugur tertembak oleh pasukan Belanda di Makassar pada usianya yang baru menginjak 24 tahun.
Bote dikenal sebagai sosok yang religius, bernyali tinggi, dan tak pantang menyerah. Dalam Al kitabnya terdapat kertas yang bertuliskan “Setia hingga terakhir dalam keyakinan.
Sesaat setelah merasakan kemerdekaan Bangsa Indonesia, Belanda kembali dengan nama Netherlands Indies Civil Administration atau NICA. Bote yang sudah mengabdi menjadi guru di Manado dan berpindah ke Makassar pada tahun 1945 pun marah dan memutuskan untuk melawan Belanda.
Beliau bergabung bersama dengan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi alias LAPRIS.
Saat itu usainya masih tergolong remaja namun tekad kuat untuk mempertahankan kemerdekan NKRI terus berkobar. Beliau larut dalam pertemupuan bersenjata canggih tersebut bahkan dipercayai untuk menjadi salah satu pemimpin LAPRIS.
Ia dipercaya untuk memberikan perlawanan terhadap Belanda di wilayah Makassar dan Sekitarnya.
Meski menjabat sebagai sekretaris di LAPRIS namun ia juga berperan dalam merencanakan operasi militer dan kerap kali menyamar untuk menentukan sasarannya.
Aksi heroik Bote yaitu bersama dengan rekannya yaitu Abdullah Hadade, HM Yoseph, dan Lewang Daeng Matari melucuti pakaian seorang kapten Belanda yang sedang berada di sudut kota Makassar.
Pakaian ini kemudian dikenakan oleh Monginsidi dan mengambil alih kendaraan mereka. Monginsidi pun berhasil mengobrak abrik tangsi dan membuat lawan lari ke segala penjuru untuk menyelamatkan diri.
Aksi heroik lainnya adalah pasukannya berhasil memukul mundur lawan dalan aksinya kontak senjata dengan lawan. Akbiat aksi aksi heroik Monginsidi inilah ia dikenali dan diincar oleh pasukan Belanda. Hingga pada akhirnya ia ditangkap dan dipenjara pada tanggal 28 Februari 1947.
Namun kawan kawannya yang berhasil lolos membantu Monginsidi untuk terbebas dari penjaara Belanda. Kawan-kawannya menyelundupka granat yang dimasukkan ke sebuah roti. Cara ini pun sukses membuat isi penjara menjadi kacau.
Namanya lebih dikenal sebagai Halim Perdanakusuma. Beliau lahir di Sampang, Madura pada tanggal 8 November 1922. Beliau menempuh pendidikan dasar hingga menengah kemudian melanjutkannya ke jenjang sekolah pamong praja (MOSVIA) di kota Magelang.
Sayangnya pendidikan di pamong praja hanya sampai tingkat II.
Dalam kesempatannya ia melukis seorang wakil raja Inggris di India yaitu Laksamana Mountbatten. Hasil lukisan ini kemudia dipajang di kamarnya. Hal ini menjadi jalan pembuka perkenalan antara Halim dengan Laksamana Mounbatter.
Beliaupun diberi tawaran untuk melanjutkan pendidikan militernya di Inggris. Namun Halim meminta agar ia pindah jurusan ke Angkata Udara. Permintaan Halim pun disetujui.
Halim berangkat dari Gibraltar ke Inggris kemudian terbang lagi Kanada.
Pada tahun 1942 beliau menjalani pelatihan navigasi di Inggris oleh Angkatan Udara Kanada yaitu di Royal Canadian Air Force (RCAF)
Beliaupun bergabung bersama dengan Angkatau Udara Inggris dan menempati posisi sebagai perwira navigasi. Halim bahkan telibat langsung dalam peperangan sengit antara Eropa dan Jerman.
Jumlah peperangan yang Halimi ikuti yaitu sebanyak 42 kali. Sebuah pengalaman yang jarang dimiliki oleh orang Indonesia.
Pemilik nama lengkap Piere Andries Tendean ini lahir di Jakarta pada tanggal 21 Februari 1939. Pemuda berdarah Manado Perancis ini mendapat julukan “si galak nan memikat”.
Sosoknya yang tegas dan tampan cenderung akan melunak dan senantiasa memanjakan putri bungsu Menko Hankam Jendral AH Nasution yaitu Ade Irma Suryani.
Ia akan menemani Ade Irma bersepeda di sore hari. Meski bukan tugasnya sebagai ajudan tapi ia tidak pernah menolak tugas yang diberikan ole AH Nasution.
Piere ditunjukan untuk menjadi ajudan Nasution pada April 1965. Sejak saat itu ia tinggal di pavilyun ajudan Nasution.
Tendean menghabisakn masa kecilnya di Magelang. Di sini lah ia melihat para pejuang meminta obat-obatan kepada ayahnya yang merupakan seorang dokter dari Minahasa.
Pada tahun 1950 Tendean harus ikut ayahnya yang mendapat penugasan di Semarang dan melanjutkan pendidikannya di sana. Setelah menempuh pendidikan SMP dan SMA di Semarang ia pun melanjutkannya ke Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad).
Di akedeminya itu Piere di kenal sebagai sosok yang disiplin. Piere pun diikut sertakan dalam peperangan yang sesungguhnya yaitu memberantas PRRI.
Setelah lulus dari Atekad pada tahun 1963 Piere kemudian ditugaskan di Medan. Di sana lah ia bertemu dengan pujaan hatinya yaitu Rukmini Chamim.
Tugas Tendean adalah mengawal Menteri Negara Oei Tjoe Tat ke Malaysia untuk menggalang kerjasama dengan pihak yang menentang terbentukan Malaysia. Tendean sukses melaksanakan penyamarannya sebagai turis.
Penyamaran Tendean terbongkar oleh kapal Inggris sehingga tendean harus menyelamatkan diri dari kejaran Inggris. Ia pun berhasil lolos dan naik jabatan menjadi letnan dan mendapat tugas sebagai ajudan AH Nasution.
Pada tanggal 1 oktober 1965 Pimpinan Pelda Djaharup mengirim pasukan bersenjata ke rumah Jendral AH Naution. Mendengar keributan di luar membuat Tendean terjaga dan beranjak dari kamarnya.
Pada saat itu juga Tendean yang dikira sebagai Jendral Nasution langsung dibawa ke Lubang Buaya dan ditembak mati di sana. Akibat dari penculikan ini putri bungus Nasution mengalami luka yang cukup parah.
Atas jasa Tendean, Presiden pertama RI memberinya gelar pahlawan revolusi pada 5 Oktober 1965 dan menaikan pangkatnya menjadi Kapten dan namanya pun di abadikan sebagai nama jalan di berbagai daerah di Indoensia.
Radin Inten II lahir pada tahun 1834 di Lampung yaitu pada masa perang Dunia ke I. Keluarganya merupakan seorang bangsawan yang masih bersaudara dengan kerajaan Banten.
Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat menentang adanya penjajahan di Indonesia. Beliau pun dikenal sebagai panglima perang yang kuat dan cerdas.
Radin Inten tidak pernah melihat sosok ayahnya karena Ayahnya ditangkap oleh pasukan Belanda karena memimpin pasukan pemberontak Belanda. Namun ibundanya selalu menceritakan sosok ayahnya dan juga bagaiman perjuangannya melawan penjajah.
Setelah dewasa Radin Inten II ditunjuk untuk menjadi Raja di Lampung meneruskan ayahnya. Belanda pun cemas dengan hal ini karena mereka yakin perjuangan ayahnya akan dilanjutkan oleh Raden Inten II.
Maka sebelum Raden Inten menyerang Belanda membuat strategi dengan mengadu domba antar kelompok di Lampung agar terpecah belah.
Pada tanggal 10 Agustus 1856 pasukan Belandan berangkat dari Batavia menuju Lampung dengan menggunakan kapal perang. Pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Welson tiba di dermaga Canti dan diperkuat dengan bergabungnya pasukan bangsawan yang memihak Belanda yaitu pasukan Sempurna Jaya Putih.
Singaberant dari Benteng Bendulu melihat kapal-kapal Belanda yang mulai memasuki wilayah perairan Lampung. Alih-alih memeberi tahu Radin Inten II mereka lebih memilih mengirim pasukan ke Benteng untung menyiapkan diri.
Belanda melayangkan ultimatum agar Radin Inten bersama denga seluruh pasunkannya menyerahkan diri dalam waktu lima hari. Selain itu Belanda juga mengirim surat ajakan damai kepada Singaberanta. Namun keduanya justru memperkuat pasukannya.
Pada tanggal 16 Agustus 1856 Belanda tak kunjung menerima kabar penyerahan diri Radin Inten II dan memutuskan untuk meluncurkan serangan. Mereka hendak merebut Beteng Bendulu terlebih dahulu.
Setekah menempuh jarak yang cukup panjang dan terjal, Benteng Bendulu ternyata kosong tak berpenghuni. Mereka yakin pasukan musuh jauh leih kuat sehingga pasukan Singaberanta memilih perang tertutup dan berpindah ke tempat lain dan berpencar ke tempat-tempat tersembunyi.
Hampir tiga bulan Belanda berada di Lampung dan berhasil menduduki satu persatu benteng di sana namun baik Raden Inten II maupun Singaberanta belum juga mereka dapatkan. Hingga pada akhirnya mereka mengetahui tempat persembunyian Radin Inten II yaitu di Lampung Utara.
Penangkapan Radin Inten II tidak dilakukan oleh Belanda namun oleh Radin Ngerapat dan pasukannya. Terjadilah pertarungan yang tidak imbang sehingga Radin Inten tewas dan mayatnya diberikan kepada Kolonel Welson.
Diusianya yang ke 22 tahun Radin Inten tewas ditangan penghianat. Atas perjuangannya melawan penjajah Pemerintah Indonesia member gelar kepada Raden Inten II sebagai pahlawan nasional pada tahun 1986. Sosoknya di abadikan sebagai nama bandara an perguruan tinggi IAIN di Lampung.