Bahasa Indonesia

2 Puisi Karya Agnes Sri Hartini Arswendo dan Maknanya

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Agnes Sri Hartini yang lebih dikenal dengan nama Agnes Arswendo lahir di Surakarta tahun 1950. Pendidikan SD, SMP, dan SMA ditempuh Agnes di kota kelahirannya. Dia pernah kuliah di IKIP Surakarta.

Agnes adalah istri dari Arswendo Atmowiloto. Mereka menikah pada tahun 1971. Dari pernikahannya itu, mereka memperoleh tiga anak, yaitu Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tiara. Pertemuannya dengan Arswendo terjadi Ketika bekerja di Kantor Pusat Kesenian Jawa Tengah di Baluwati, Keraton Surakarta.

Sebagian puisinya dimuat dalam Seserpih Pinang Sepucuk Sirih dan Tonggak 4. Puisinya yang berjudul “Sajak Di Sembarang Kampung” memenangi sayembara Penulisan Puisi yang diselenggarakan BBC London seksi Indonesia tahun 1996. Sebagian puisinya diilhami oleh kematian anaknya.

Sajak Di Sembarang Kampung’

Di sebuah kampung di kota metropolitan

tak diperlukan sajak, karena anak-anak

bagai ayam. Dilepas waktu dini

dan baru larut makam nanti dipaksa tidur dengan tangis

setelah sepanjang siang mengais dan melengking

Di sebuah kampung itu, tidak ada batas-batas

ruang tidak ialah tempat makan dan marah

kamar mandi milik Bersama, dan bau pesing

disumbangkan beramai-ramai

desas-desus berlalu Lalang dengan deras

kau tak mengenal lagi

apakah yang tergantung itu boneka atau bayi

Tak ada ejek-mengejek, tapi semua merasa tersindir

tak ada pekerjaan, tapi semua kelelahan, pusing

bahkan hamper pingsan, katanya karena penyakit jantung

perut selalu lapar, meskipun hutang semakin menggunung

Sepuluh tikus dalam kotak sabun

tak membayangkan bakal rukun

Di seberang kampung, di kota metropolitan dan bukan

harapan telah lama dibunuh oleh mimpi, lewat badai iklan

Harga diri telah terbeli, diantaranya secara resmi

adakah kau  masih menulis puisi

pada saat harusnya menyusui?

(Tonggak IV, 1987)

Makna Puisi ‘Sajak Di Sembarang Kampung’

Puisi ini memiliki tema kritik sosial tentang kehidupan kumuh kota metropolitan Jakarta. Bagi orang Solo yang baru tiba di Jakarta (saat itu) dan tinggal di perkampungan kumuh, penyair merasa tidak nyaman hidup di lingkungan tersebut.

Ia mengungkapkan bahwa di sana tidak diperlukan sajak, karena anak-anak bagai ayam, dilepas dan baru larut malam nanti dipaksa tidur dengan tangis atau setelah sepanjang hari mengais dan melengking.

Di kampung yang sempit dan tak  ada batas-batas, ruang tidur ialah tempat makan dan marah. Kekumuhan juga muncul karena kamar mandi milik Bersama, dan bau pesing disumbangkan beramai-ramai.

Di rumah yang saling berdempetan berpetak-petak, maka desas-desus berlalu Lalang dengan deras. Bayi pun diletakkan di sembarang tempat, sehingga tidak tahu yang tergantung itu boneka atau bayi.

Kebanyakan dari mereka adalah orang miskin yang hidupnya serba susah, maka meskipun taka da yang mengejek-ejek, namun semua merasa tersindir. Bahkan kerana hidup yang pengap, tanpa bekerja pun mereka sudah merasa kelelahan, pusing dan hamper pingsan karena penyakit jantung.

Mereka adalah orang-orang miskin, perut selalu lapar, walaupun hutang terus menggunung. Penghuni pemukiman itu diumpamakan penyair sebagai sepuluh tikus dalam kotak sabun yang tidak mungkin hidup rukun.

Di daerah kumuh, orang miskin itu tidak punya harapan lagi akan masa depan. Harapan telah lama dibunuh oleh mimpi dua hal yang tak hanya bertetangga, bahkan tinggal serumah. Mereka sudah bosan dengan iklan gemerlapan yang penuh tipu muslihat, yang menyebabkan harga diri telah terbeli, diantaranya secara resmi.

Penyair meragukan apakah di tempat yang seperti itu masih lahir puisi?. Ia menyangsikan adakah kau masih menulis puisi atau seharusnya meyusui?.

Dari Jendela

Dari jendela kaca kereta Senja kusaksikan

anakku berlali mererobos sawah dan kali

berjalan di atas batang padi

dengan longdress putih dan sayap bidadari

Hujan turun dan kabut tebal sekali

itu semua tak menahan penglihatanku lewat kaca

itu semua tidak menahan kemauannya menari

ia tak menoleh ke arahku

tapi aku pasti

ia tampak girang sekali

bermain-main di tempat tanpa batas

Dari jendela kaca kereta Senja kusaksikan

wajah sendiri

tergeletak diantara sawah, kali dan batang padi

Makna Puisi ‘Dari Jendela’

Puisi karya Agnes Arswendo diatas bertema kedukaan hati karena anaknya yang baru meninggal dunia. Begitu besar duka penyair itu, sehingga ia naik kereta api Senja dari Sole ke Jakarta, dari jendela seolah-olah ia melihat anaknya berlari menerobos sawah dan kali, berjalan di atas batang padi, dengan longdress putih dan sayap bidadari.

Saat itu hujan turun dan kabut tebal sekali. Akan tetapi itu semua tak menahan penglihatan sang ibu yang begitu sedih karena baru kehilangan anaknya. Bahkan itu semua tak menahan kemauannya untuk menari.

Penyair menyadari bahwa bayangan putrinya (yang telah meninggal dunia) tidak menoleh kepadanya. Penyair hanya dapat melihat anaknya yang nampak girang sekali bermain-main di tempat tanpa batas (larik tempat tanpa batas dapat diinterpretasikan sebagai dunia arwah).

Akhirnya penyair yang sedari tadi seolah-olah menyaksikan bayangan anaknya tersadar. Dari tempat yang sama (dari jendela kaca kereta Senja) akhirnya ia hanya melihat wajah sendiri yang tergeletak di antara sawah, kali dan batang padi.