Daftar isi
Kerajaan Gowa Tallo berdiri pada abad ke 15 dan menjadi simbol kejayaan Islam di Indonesia bagian timur.
Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam di Sulawesi selain kerajaan Buton.
Gowa dan Tallo adalah dua kerajaan yang berdiri di daerah Sulawesi Selatan. Kerajaan Tallo berdiri dua abad setelah Gowa.
Kemudian keduanya menyatukan wilayah kedua kerajaan mereka pada tahun 1528.
Daeng Manrabia berasal dari Gowa sebagai raja Gowa Tallo. Sementara, Karaeng Matoaya berasal dari Tallo menjabat sebagai perdana menteri.
Kerajaan Gowa
Kerajaan ini sudah ada sejak tahun 1300-an. Didirikan oleh seorang perempuan bernama Tumanurung.
Gowa dimasa awal adalah negara agraris yang tidak memiliki akses ke pantai dan laut.
Kerajaan Gowa adalah kerajaan di Sulawesi selatan yang bersuku Makasar.
Memiliki Sembilan sembilan komunitas yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera).
Antara lain Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili.
Kerajaan Gowa mengajak komunitas lain untuk bergabung membentuk kerajaan Gowa baik melalui paksaan maupun dengan cara damai.
Kerajaan Tallo
Tallo didirikan dua abad setelah kerajaan Gowa berdiri.
Seorang pangeran Gowa bernama Karaeng Loerisero melarikan diri ke pesisir pantai setelah kalah atas perebutan tahta setelah ayahnya wafat.
Ayah Karaeng Loerisero adalah raja Gowa yang ke-6 bernama Tonatang Kalopi.
Tahta raja Gowa ke 7 jatuh kepada anak tertuanya yaitu Batara Gowa Tuminangari Paralakkenna.
Sementara adiknya yang bernama Karaeng Loerisero setelah lari dari Gowa, ia mendirikan kerajaan di pesisir pantai.
Karaeng Loerisero memerintah sebagian wilayah yang disebut Tallo.
Wilayah Kerajaan Tallo meliputi Saumata, Pannampu, Moncongloe dan Porongloe.
Kedua Kerajaan Tallo dan Gowa pada perjalanannya sering terlibat pertempuran dan persaingan.
Bersatunya Gowa dan Tallo
Pada tahun 1258 Kerajaan Gowa dan Tallo bersatu melalui sebuah kesepakatan yang bernama Ruwa Karaengse’re Ata (2 raja tetapi 1 rakyat).
Artinya siapa saja yang menjabat Raja Tallo sekaligus akan menjabat sebagai Raja Gowa.
Dalam perjanjian itu Raja Gowa menjadi Sombaya atau raja yang tertinggi, sedangkan Raja Tallo menjadi Tumabicara Guta atau Perdana Menteri.
Sejak saat itu Kesultanan Tallo selalu terlibat dan mendukung ekspansi Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan dan sekitarnya.
Kerajaan Gowa Tallo memiliki jumlah raja yang banyak, terhitung sejak raja pertama kerajaan Gowa hingga bersatu menjadi Gowa Tallo.
Raja ke 14 yang bergelar I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin I Tuminanga ri Gaukanna adalah raja Gowa yang pertama memeluk Islam.
Sultan Hasanuddin raja ke 16, dikenal juga dengan sebutan Ayam Jantan dari timur.
Sultan Hasanuddin dinobatkan menjadi pahlawan nasional karena keberaniannya melawan penjajah.
Raja ke 36 ini adalah raja terakhir dalam sejarah Kerajaan Gowa Tallo.
Kerajaan ini menjadi kabupaten yang ada di Sulawesi tenggara setelah bergabung dengan wilayah negara Indonesia.
Letaknya kerajaan ini strategis, yaitu di rute perdagangan dan memiliki pelabuhan besar sebagai tempat persinggahan perdagangan.
Hal ini menjadikan kehidupan ekonomi rakyat Gowa Tallo makmur.
Belum lagi kerajaan ini juga merupakan negara yang agraris yang menghasilkan tanaman dan rempah-rempah.
Masa kejayaan Kesultanan Gowa Tallo mulai Nampak saat raja ke 15 memerintah dan mencapai puncak kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Hasanuddin.
Sembilan wilayah yang sudah dikuasai oleh Gowa tallo sebelumnya tetap dipertahankan.
Wilayah kekuasan berkembang menjadi empat wilayah yaitu Bone, Ruwu, Soppeng, dan Wajo.
Saat itu, belanda sudah berhasil menguasai Ambon dan ingin menguasai kerajaan Gowa Tallo.
Sultan Hasanuddin menolak dengan keras ajakan Belanda untuk bekerjasama. Ia tidak ingin Belanda mengatur pemerintahannya.
Sistem kerajaan pun diatur sendiri oleh pemerintahan kerajaan.
Sultan Hasanuddin memiliki julukan Si Ayam Jantan dari Timur karena keberaniannya dia berhasil mengusir belanda dari tanah Sulawesi.
Kerajaan ini dinobatkan sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di wilayah Sulawesi.
Tidak hanya dalam aspek ekonomi saja Kerajaan Gowa Tallo berjaya, Islam pun berkembang pesat.
Salah satunya adalah ajaran Islam Sufisme Khawatiyah yang diajarkan oleh Syaikh Yusuf al-Makassari.
Ajaran ini tersebar luas hingga seuruh wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa Tallo.
Bahkan kerajaan ini dijuluki Serambi Mekah karena ajaran agama Islam berkembang pesat.
Banyak orang dari luar kerajaan yang menimba ilmu tentang Islam di Gowa Tallo.
Perjanjian Bongaya pada 1667 antara Kerajaan Gowa dan VOC mengakhiri kejayaan Kerajaan Gowa Tallo.
Perjanjian perdamaian ini adalah hasil pengkhianatan raja Bone pada saat itu.
Perjanjian itu adalah pendeklarasian kekalahan Gowa dari VOC yang berkedok perjanjian perdamaian.
Dalam perjanjian Bongaya tertulis dan disahkan bahwa VOC mengambil alih perdagangan di pelabuhan Makasar yang saat itu dikuasai oleh Gowa.
Meskipun begitu Sultan Hasanuddin tidak menyerah dan berusaha mempertahankan wilayahnya.
Akan tetapi pasukannya kalah jumlah dan kekuatan oleh VOC.
Perjuangannya tidak berhenti hingga ia wafat dan digantikan oleh putranya yaitu Sultan Mapasomba.
Masjid yang dibangun pada tahun 1605 disebut juga masjid Al-Hilal. Masjid berada di sebelah utara Kompleks Makam Sultan Hasanuddin.
Masjid ini adalah masjid tertua di Sulawesi Selatan.
Dibangun pada tahun 1545. Disebut juga benteng Ujung Pandang.
Merupakan benteng peninggalan Kerajaan Gowa Tallo yang terletak di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar.
Benteng ini dibangun Raja Gowa kesembilan I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ kallonna.
Letak area pemakaman raja-raja Gowa Tallo ini ada di Kecamtan Talo, Ujungpandang.
Pemakaman ini sudah menggunakan corak pemakaman Islam, yaitu menggunakan batu nisan yang berpundak-pundak menyerupai candi kecil.