Daftar isi
Kesultanan Tidore adalah salah satu kerajaan Islam di daerah Indonesia Timur yang berpusat di kota Tidore, Maluku Utara.
Kesultanan Tidore kerap disandingkan dengan Kesultanan Ternate. Kedua kesultanan ini memiliki peran penting dalam perlawanan terhadap Portugis, Spanyol, dan Belanda atas monopoli rempah-rempah.
Seperti yang telah disebutkan, Kesultanan Tidore berpusat di Tidore, Maluku Utara.
Kesultanan Tidore pernah Berjaya pada abad 16-18 M dan menguasai Pulau Halmahera Selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan sebagian pulau di Papua Barat.
Dalam hikayat Dinasti Tang (618-906), menyebutkan bahwa Maluku memiliki sebutan mi-li-ki.
Sebutan ini mengacu pada gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti.
Menurut silsilah, raja Kesultanan Tidore yang pertama adalah Muhammad Naqil bin Jaffar Assidiq.
Nama lainnya adalah Kolano Syahjati dan naik tahta pada tahun 1081.
Pada akhir abad 14, Sultan Djamaluddin bersedia masuk Islam. Kesultanan Tidore pun meresmikan Islam sebagai agama resmi kesultanan.
Sultan Djamaluddin masuk Islam berkat Syekh Mansur yang berdakwah di Ternate. Ulama Syekh Mansur berasal dari Arab Saudi.
Berikut adalah raja-raja yang pernah menjabat di Kesultanan Tidore.
Meskipun memiliki banyak raja, namun Raja-raja yang terkenal menjabat Kesultanan Tidore hanya beberapa, diantaranya:
Sultan Djamaluddin adalah raja pertama yang masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab.
Di bawah pemerintahannya, Islam pun menjadi agama resmi Kesultanan Tidore.
Sultan Saifuddin adalah sultan pertama yang menandatangani sebuah perjanjian dari VOC demi kedaulatan Kesultanan Tidore.
Hal ini bertujuan agar Belanda tidak mengganggu kedaulatan kesultanan. Namun di sisi lain, perjanjian ini mengadakan monopoli perdagangan rempah di wilayah Tidore.
Pada masa pemerintahannya, terjadi pemindahan pemerintahan dan pendirian Kadato Salero di Limau Timore (Soasiu).
Sultan Nuku dikenal sebagai sultan cerdik, taktis, dan berani. Sultan Nuku berhasil menyatukan Kesultanan Tidore dan Kesultanan Ternate untuk melawan Belanda.
Dengan bantuan Inggris, Belanda terusir. Namun, Inggris dengan Sultan Nuku hanya melakukan hubungan dagang biasa. Bahkan, tidak mengganggu kedaulatan kesultanan.
Sultan Zainal Abidin adalah adik dari Sultan Nuku. Sebagai adik, Sultan Zainal Abidin meneruskan perjuangan kakaknya untuk mengusir Belanda.
Kejayaan Kesultanan Tidore ditandai dengan adanya 200 penduduk yang menganut Islam pada masa Raja Al Mansur (1512-1526).
Menurut sebuah catatan sejarah, Kesultanan Tidore sudah memperluas pengaruhnya hingga wilayah Papua pada abad ke-16 dan abad ke-17.
Kesultanan Tidore juga turut mempengaruhi hubungan Maluku dengan Kepulauan Papua melalui bahasa Melayu.
Menurut Paramita R. Abdurachman (1984), bahasa Melayu sudah menjadi bahasa perdagangan pada tahun 1600.
Pada masa pemerintahan Sultan Saifuddin, Belanda memasuki wilayah Tidore.
Saat itu, Belanda gencar menyebarkan pengaruh monopoli perdagangan lewat VOC.
Sultan Saifudin pun terpaksa berkonsolidasi dengan Laksamana Sepeelman dari VOC pada 13 Maret 1667.
Perjanjian ini mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas wilayah Papua.
Selain itu, perjanjian tersebut memuat hak-hak monopoli perdagangan rempah yang dilakukan Belanda. Monopoli perdagangan ini dilakukan di wilayah Kesultanan Tidore.
Namun, pertahanan kekuatan Kesultanan Tidore semakin lemah setelah Sultan Saifudin wafat. Pihak Belanda justru semakin berkuasa di wilayah Tidore.
Pada masa pemerintahan Sultan Nuku, wilayah Tidore sempat berada di bawah cengkeraman Belanda.
Sultan Nuku berhasil menyusun strategi perlawanan hingga Belanda keluar dari wilayah Maluku Utara.
Sultan Nuku pun diberi gelar Jou Barakati, yang artinya Tuan yang Selalu Diberkati.
Sementara Inggris mendukung perlawanan ini dan menjulukinya The Lord of Fortune.
Tidak hanya itu, masyarakat Tidore banyak menggunakan hukum Islam pada masa pemerintahan Sultan Nuku.
Hal ini ditunjukkan saat Sultan Nuku melakukan perdamaian dengan De Mesquita dari Portugal.
Perdamaian dilakukan dengan mengangkat sumpah di bawah kitab Al-Quran.
Kesultanan Tidore runtuh karena adu domba Portugis dan Spanyol terhadap Kesultanan Ternate. Portugis dan Spanyol melakukan itu demi menguasai jalur rempah.
Akibat adu domba tersebut, jalur rempah pun dikuasai. Sultan Tidore dan Sultan Ternate menyadari hal tersebut dan memukul mundur dua negara tersebut.
Namun, kemenangan itu tidak bertahan lama. Belanda sempat menguasai Kesultanan Ternate lewat taktik devide et impera. Begitu pula dengan Kesultanan Tidore.
Berikut ini beberapa peninggalan kesultanan Tidore yang cukup terkenal, diantaranya:
Kedaton Tidore adalah istana yang dibangun pada masa Sultan Muhammad Tahir Muijuddin pada tahun 1812. Bangunan istananya menghadap laut dengan latar belakang gunung.
Kedaton ini disebut Kadato Kie. Pembangunannya memakan waktu 50 tahun.
Pada masa penjajahan Belanda, kedaton ini dirusak total pada akhir pemerintahan Sultan Syahjuan pada 1912. Kemudian dibangun kembali pada masa Sultan Djafar Syah.
Masjid Kedaton Tidore atau Masjid Sigi Lamo terletak di timur laut Kedaton Tidore, Maluku Utara yang dibangun pada tahun 1700 M.
Makam Sultan Nuku terletak di kota Tidore, Kepulauan Tidore, Maluku Utara. Makam ini dikelola oleh Keluarga Kesultanan Tidore dan termasuk bangunan cagar budaya.
Benteng Tahula atau Benteng Tohula dibangun pada tahun 1610 oleh Gubernur Spanyol, Cristobal de Azcqueta Menchacha.
Benteng ini menjadi markas tentara Spanyol saat menguasai Kesultanan Tidore.