IPA

Taman Buru: Pengertian, Sejarah, Peraturan & Lokasi

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Taman Buru termasuk dalam kawasan hutan konservasi yang bisa dimanfaatkan untuk wisata berburu. Keberadaan Taman Buru sengaja dibuat sebagai wadah bagi orang yang hobi berburu sejak dulu kala, selain itu taman buru juga dipakai buat mengendalikan populasi suatu satwa tertentu.

Apa itu Taman Buru?

Taman Buru merupakan bagian dari area hutan konservasi dan dipakai dalam wisata berburu. Selain sebagai wadah hobi, fungsi taman buru adalah buat mengendalikan populasi hewan buruan. Pengendalian ini dilakukan buat hewan langka atau hewan yang seringkali dijadikan target perburuan.

Sehingga berdasarkan pengertiannya, taman buru yang berada di kawasan hutan konservasi sehingga harus mengikuti semua aturan tempat konservasinya. Hutan konservasi adalah hutan yang memiliki fungsi buat menjaga keanekaragaman tumbuhan, satwa, beserta ekosistem didalamnya.

Syarat Mengelola Taman Buru

Berikut beberapa syarat yang harus diperhatikan saat mengelola taman buru:

  • Harus memperhatikan serta mengetahui kondisi dari semua individu hewan buruan didalam populasinya. Saat didalam suatu kawasan terdapat banyak jenis hewan tertentu, tapi jika menurut populasinya hewan itu jumlahnya sudah mulai sedikit, maka perburuan segera dikurangi bahkan dihentikan.
  • Paham dan tahu musim berkembang biak semua hewan buruan sangatlah penting, sangat berbahaya jika sampai memburu induk hewan saat sedang hamil. Atau, saat ada induk yang baru melahirkan kemudian diburu, besar kemungkinan anak dari indukan tersebut mati karena tidak dirawat induknya
  • Perhatikan umur semua jenis hewan yang diburu untuk menghindari kepunahan. Berikanlah waktu untuk hewan buru berkembang biak biak, supaya hewan yang masih muda tidak diburu.
  • Lama waktu untuk berburu serta cakupan wilayah buat dijelajahi setiap pemburu perlu dibatasi untuk menjaga kelestarian ekosistem.
  • Harus ada pembatasan jumlah hewan yang mau diburu pada periode waktu serta cakupan luasan tertentu.
  • Jenis senjata yang diperbolehkan buat berburu, usahakan tidak sampai membahayakan lingkungan disekitarnya ataupun membuat hewan lain tidak menjadi sasaran buruan sehingga merasakan tekanan psikis ataupun trauma.

Sejarah Perburuan

Aturan melakukan perburuan di Indonesia sudah ada semenjak masa penjajahan kolonial. Menurut catatan sejarah, berburu secara legal sudah terjadi sejak tahun 1747 dan lebih melakuka perburuan terhadap badak serta harimau.

Namun, aturan target buruan ini yang menjadi penyebab punahnya serta terjadinya kelangkaan pada spesies badak dan harimau tertentu di Indonesia. Berikut sejarah perburuan hewan harimau yang dilakukan di Negara Indonesia, yaitu:

  • Tahun 1911 di pulau Bali perburuan terjadi dan dilakukan Baron Oscar
  • Tahun 1910-1940 terjadi perburuan harimau jawa kurang lebih 100 ekor oleh seorang pemburu ternama Ledeboer.
  • Tahun 1890-1900 pemburu Belada banyak memburu hewan harimau sumetera.
  • Tahun 1920 serta 1941 telah terjadi perburuan harimau didaerah Garut serta Banter
  • Tahun 1900-1907 terjadi perburuan harimau sumatera di daerah Padang.

Sejarah pun mencatat jika ditahun 1600-an sama dengan berdirinya VOC di Jakarta juga dibangun oleh Gubernur Jenderal Maetsujiker sebuah Banteng ataupun Lapangan Paviljoen padatahun 1644 dan merupakan area untuk berburu. Sehingga di tahun itu, jumlah pemburu mencapai hingga 800 orang.

Ketentuan perburuan diterbitkan pertama kali pada tahun 1931 dengan dibuatnya undang-undang perburuan (Jacht Ordonantie) dan undang-undang binatang liar (Dierenbescherning Ordonantie).

Pemburuan pada masa itu juga terikat pada undang-undang senjata api, serta penggunaan bahan peledak dan mesiu (Vuurwapen Ordonantie).

Peraturan Perburuan di Indonesia

Pemburuan hewan di taman buru wajib mengikuti peraturan teknis yang ditetapkan. Setiap pemburu perlu mendapatkan surat izin yang bisa didapatkan jika pemburu sudah mempunyai akta buru. Tapi peraturan ini sangat terbatas serta dikecualikan untuk para pemburu tradisional.

Sebelum terjadi pemburuan dan sesudahnya, pemburu harus melaporkan kegiatannya pada petugas kehutanan dan pihak kepolisian setempat. Kegiatan berburu juga wajib didamping pemandu buru serta seluruh kegiatan wajib sesuai perjanjian yang sudah disepaakti.

Jenis satwa beserta jumlah hewan buruannya diatur pada Permenhut No: P.19/Menhut-II/2010 mengenai Penggolongan serta Tata Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru. Menurut peraturan ini ada beberapa kriteria hewan buruan, seperti berikut:

  • Target pemburuan bukanlah satwa liar yang dilindungi, namun pada kondisi khusus satwa yang dilindungi bisa diburu. Masalah hewan yang dilindungi tapi dapat diburu bisa dilakukan dengan tujuan mengendalikan hama, pembinaan serta pengontrolan jumlah populasinya, pembinaan mengenai habitat satwa, untuk kegiatan penelitian serta mengembangkan ilmu pengetahuan, buat penelitian rekayasa genetik, untuk keperluan bibit induk penangkaran, dan pemanfaatan hewan hasil penangkaran.
  • Untuk pembatasan jumlah satwa pemburuan juga tergantung peraturan masing-masing taman buru. Untuk batas jumlah hewan buruan juga dibuat dengan mempertimbangkan peningkatan populasi hewan khusus. Sehingga dibutuhkan kegiatan inventarisasi serta pemantauan buat menentukan jumlah hewan yang bisa diburu berdasarkan jumlah populasinya.
  • Ada aturan jadwal ataupun waktu perburuan supaya kelestarian alam serta satwa buruan dapat terjaga. Waktu pemburuan ataupun musim berburu wajib memperhatikan kondisi dari populasi hewan buruan, lalu ada juga musim kawin hewan buruan, musim bertelur serta melahirkan, membandingkan hewan jantan serta betina, dan juga umur satwa target buruan. Di kondisi tertentu saat terjadi kenaikan populasi hewan tertentu, pengelola taman buru bisa mengambil langkah perburuan untuk hewan itu.
  • Alat serta senjata buat berburu dapat diatur supaya tidak memberikan dampak negatif kepada lingkungan serta hewan lainnya. Hanya beberapa alat buru yang diijinkan, seperti senjata api khusus untuk berburu, senjata angin, peralatan tradisional dan alat lain yang sesuai dengan jenis hewan yang menjadi target.

Daftar Taman Buru

Taman buru merupakan bagian dari hutan konservasi. Jumlah taman buru di Indonesia tersebar menjadi 15 lokasi, antara lain:

  1. Bangkala, berada di Takalar, Sulawesi Selatan, seluas 4.152,50 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor : 760/kpts/um/10/82, pada tanggal 12 Oktober 1982.
  2. Komara, berada di Takalar, Sulawesi Selatan, seluas 2.972,00 ha, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 237/kpts-ii/1997, pada tanggal 9 Mei 1997.
  3. Bena, berupa dataran, berada di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, seluas 2.000,64 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: 74/kpts-ii/1996, pada tanggal 27 Februari 1996.
  4. Moyo berupa pulau, berada di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, seluas 22.250,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 308/kpts-ii/1986, pada tanggal 4 September 1986.
  5. Nanu’ua berupa gunung, berada di Bengkulu Utara, Bengkulu, seluas 10.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI  Nomor: 741/kpts/um/11/78, pada tanggal 1 November 1978.
  6. Landusa tomata, berada di Poso, Sulawesi Tengah, seluas 5.000,00 ha, berdasarkan keputusan menteri Kehutanan RI nomor: 397/kpts-ii/1998, pada tanggal 21 April 1998.
  7. Lingga isaq, berada di Aceh Tengah, Nangroe Aceh Darussalam, seluas 80.000.00 ha, berdasarkan, keputusan Menteri Pertanian RI nomor: 70/kpts/um/2/78, pada tanggal 1 Februari 1978.
  8. Masigit kareumbi berupa gunung, berada di Sumedang dan Garut, Jawa Barat, seluas 12.420,70 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: 298/kpts-ii/1998, pada tanggal 27 Februari 1998.
  9. Mata osu berupa padang, berada di Kolaka, Sulawesi Tenggara, seluas 8.000,00 ha, berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 643/kpts-ii/1998, pada tanggal 23 September 1998.
  10. Ndana berupa pulau, berada di Kupang, Nusa Tenggara Timur, seluas 1.562,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 83/kpts-ii/1993, pada tanggal 1 Januari 1993.
  11. Pini berupa pulau, berada di Nias, Sumatera Utara, seluas 8.350,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI RI Nomor: 347/kpts-ii/1996, pada tanggal 5 Juli 1996.
  12. Semidang bukit kabu, berada di Bengkulu Utara, Bengkulu, seluas 15.300,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 186/kpts/um/4/73, pada tanggal 1 April 1973.
  13. Tambora selatan, berada di Dompu, Nusa Tenggara Barat, seluas 30.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 676/kpts/um/11/78, pada tanggal 1 November 1978.
  14. Rempang berupa pulau, berada di Kepulauan Riau, seluas 16.000,00 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 307/kpts-ii//1986, pada tanggal 29 September 1986.
  15. Rusa berupa pulau, berada di Alor, Nusa Tenggara Timur, seluas 1.384,65 ha, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor Nomor: 8820/kpts-ii/2002, pada tanggal 24 Oktober 2002.

Kontroversi Kegiatan Perburuan

Aktivitas pemburuan di negara Indonesia seringkali menuai kontroversi dari beragam pihak. Sedangkan pada negara lain, kegiatan ini termasuk kedalam kegiatan rekreasi dan hobi yang dilakukan di musim tertentu, seringkali juga menjadi sumber devisa di sektor pariwisata.

Namum ada anggapan jika perburuan bertentangan dengan kegiatan konservasi. Pendapat ini datang dari lembaga atau organisasi pecinta lingkungan serta binatang yang cukup menentang perburuan. Banyak yang menganggap jika kegiatan berburu sangat identik dengan penyiksaan, mempermainkan binatang, bahkan membunuh hewan hanya buat bersenang-senang.

Tapi selain itu, banyak pendapat yang setuju terhadap legalisasi perburuan beralasan jika kegiatan ini sulit buay dikendalikan kalau tidak diakomodir serta diatur menurut wilayah tertentu. Kelompok ini pun berpendapat jika kegiatan berburu pada taman buru dapat bermanfaat buat mengendalikan peningkatan populasi jenis binatang yang dapat mengganggu ekosistem.