Gelar pahlawan nasional adalah sebuah penghormatan tertinggi yang diberikan kepada mereka yang telah mengorbankan hidupnya untuk memperjuangkan bangsa. Tidak semua pejuang sudah mendapatkan gelar ini karena harus melalui prosedur dan persyaratan tertentu. Setiap tahun biasanya pemerintah akan mengkaji siapa saja tokoh yang berhak mendapatkan gelar ini. Berikut adalah daftar pejuang yang akhirnya mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 2021.
1. Tombolotutu
Nama Tombolotutu mungkin masih asing terdengar bagi sebagian masyarakat Indonesia namun tidak masyarakat Sulawesi Tengah. Ia merupakan salah satu pemimpin kerajaan Moutong yang ada di Kabupaten Parigi Moutong , Sulawesi Tengah yang berjuang melawan pasukan khusus Belanda. Raja yang resmi menjabat pada usia 20 tahun ini lahir pada tahun 1887 dan memiliki gelar Pua Darawati.
Strategi tersebut disusun di Pulau Walea Bahe yang menghasilkan meletusnya perang kedua selama 6 hari. Perang antara Raja Tombolotutu dan Belanda terus berlanjut hingga tahun 1900 an. Namun karena kalah dalam persenjataan akhirnya Raja Tombolotutu gugur pada perang yang terjadi pada 17 Agustus 1901. Keluarga raja pun diungsikan ke Kerajaan Sojol agar tidak menjadi sasaran Belanda.
Sebelum akhirnya mendapat gelar Pahlawan Nasional pada November 2021, Nama Tombolotutu sudah diperjuangkan agar mendapat gelar ini sejak tahun 1990. Perjuangan tersebut dilakukan oleh Pemkab Parigi Moutong dan Universitas Tadulako yang akhirnya berbuah masih setelah terkendala pada data resmi.
2. Haji Usmar Ismail
Menjadi pahlawan tidak hanya dilakukan dengan cara mengangkat di medan perang saja. Bisa dilakukan dengan apa saja bahkan menyesuaikan profesi seperti yang dilakukan oleh Ismail Marzuki dengan karya lagunya yang menggungan semangat nasional. Pada tahun 2021 ini presiden Jokowi menetapkan Haji Usmar Ismail sebagai tokoh Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya dalam bidang perfilman.
Selama hidupnya Usmar Ismail telah memproduksi setidaknya 30 judul film. Beberapa hasil karyanya antara lain Pedjuang , Enam Djam di Djogja , Tiga Dara dan Asrama Dara, Gadis Desa, Harta Karun dan Citra. Pria yang juga merupakan pelopor drama modern ini tutup usia pada 2 Januari 1971 di Jakarta akibat penyakit stroke. Untuk mengenang jasa beliau dibangunkanlah gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail yang berada di Jalan Jalan Haji R. Rasuna Said, Jakarta Selatan.
3. Sultan Aji Muhammad Idris
Di tangan Sultan Aji Muhammad Idris kesultanan Kutai mengalami perubahan nama menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Perjuangannya sudah dimulai sejak ia baru saja diangkat menjadi sultan. Dirinya dan sang mertua berjuang melawan VOC dengan membawa 800 pasukan untuk menyerang mereka di Wajo Sulawesi Selatan. Pertempuran tersebut dilakukan karena VOC terlalu berkuasa hingga pedagang lokal tidak bisa melakukan perdagangan.
Bagaimana Sultan Aji Muhammad Idris tutup usia masih belum menemui titik terang. Setidaknya ada tiga versi tentang gugurnya pemimpin Kutai yang pertama mendapat gelar sultan ini. Teori pertama mengatakan bahwa beliau gugur dalam melawan VOC di Wajo namun teori kedua mengatakan sebaliknya. Sultan Aji selamat dari pertempuran Wajo hanya dengan sebuah keris Buritkang dan meninggal karena jebakan pada saat berburu di hutan. Teori terakhir berpendapat bahwa sultan Aji diberi kekuasaan di daerah tertentu dan ia tidak bisa kembali ke Kutai hingga akhir hayatnya.
4. Raden Aria Wangsakara
Raden Aria Wangsakara adalah anak keturunan dari Sultan Syarif Abdurrahman seorang raja Sumedang Larang. Ia merantau dan menyebarkan agama Islam di Kawasan Gerendeng, Karawaci dengan membentuk sebuah pondok pesantren pada tahun 1640. Raden Aria tidak pergi sendirian melainkan dengan dua saudaranya yakni Aria Santika dan Aria Yudanegara.
Tindakan Raden Aria mendapat dukungan dari Sultan Maulana Yusuf yang pada saat itu merupakan pemimpin kesultanan Banten. Pertempuran antara warga Tangerang dengan VOC tidak dapat terbendung lagi pada tahun 1652-1653. Sayangnya pertempuran ini dimenangkan oleh pihak Belanda dan menewaskan Raden Aria Wangsakara. Gugurnya sang raden justru menjadi titik awal dari bangkitnya masyarakat Tangerang untuk memberontak penjajahan.
Jenazah Raden Aria dikebumikan di Desa Lengkong Kyai, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Wilayah tersebut kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan Raden Aria Wangsakara.