Daftar isi
Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di Pulau Jawa yang beribukotakan Semarang. Jawa Tengah memiliki kekayaan budaya yang begitu melimpah. Dari sekian banyak budaya di Jawa Tengah berikut adalah penjelasan mengenai upacara adat yang ada di sana.
Padusan berasal dari kata “adus” yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maka artinya adalah mandi. Upacara ini merupakan tradisi yang dilakukan menjelang bulan suci Ramadhan yaitu dengan cara mandi bersama di kolam atau sungai. Makna dari padusan sendiri tidak hanya mandi tetapi mensucikan diri baik secara rohani maupun jasmani dan introspeksi diri agar menjadi pribadi yang lebih baik.
Tradisi ini berasal dari masuknya agama Islam di Pulau Jawa namun tidak menghilangkan kebudayaan sebelumnya yaitu berupa animisme dan dinamisme. Kebudayaan Jawa dan Islam kemudian melebur menjadi satu. Salah satu bentuk peleburan dua hal tersebut adalah tradisi padusan.
Upacara ruwatan merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa khususnya di Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Hampir mirip dengan upacara padusan, upacara ruwatan juga bertujuan untuk mensucikan diri sekaligus untuk menghindarkan diri dari segala hal buruk. Tradisi ini merupakan warisan dari Sunan Kalijaga yang masih terus dilaksanakan hingga saat ini.
Kata ruwatan berasal dari kata “ruwat” yang artinya membuang. Tradisi ini biasanya dilakukan ketika seseorang berada dalam kesusahan seperti sakit atau hendak mencari jodoh. Tak hanya untuk perorangan, ritual ini juga dilakukan oleh desa agar desa tersebut aman dan tentram. Rangkaian acara dari tradisi ini yaitu tumpengan kemudian dilanjut dengan doa bersama sembari berjalan mengelilingi desa.
Masyarakat Indonesia sebagian besar merupakan pemeluk agama Islam sehingga sangat mudah menjumpai tradisi-tradisi budaya yang berkaitan dengan Islam. Salah satu tradisi tersebut adalah Syawalan yang diadakan oleh masyarakat Jawa termasuk Jawa Tengah setelah bulan Ramadhan yaitu hari ke 6 di bulan Syawal. Tradisi ini berasal dari dusun Krapyak dimana mereka mengadakan kunjungan ke rumah kerabat atau tetangga setelah hari raya idul fitri.
Tradisi yang khas dengan kuliner ketupat tersebut menjadi sebuah kebiasaan hingga menjadi tradisi yang diikuti oleh daerah lain di Jawa Tengah. Cara memeriahkan syawalan pun berbeda-beda setiap daerah. Ada yang mengadakan doa bersama di masjid, Tabligh akbar, perlombaan antar desa, dan masih banyak lagi. Upacara ini tidak hanya dijumpai di Jawa Tengah tetapi juga di tempat lain seperti Jawa Timur, Solo, Yogyakarta dengan nama tradisi kupatan.
Tradisi yang dikenal juga dengan nama nyadran atau sadran ini merupakan tradisi masyarakat Jawa Tengah yang dilangsungkan sebelum bulan Ramadhan. Tradisi ini dilakukan dengan cara berziarah ke makam untuk membersihkan dan berdoa. Makan yang didatangi bisanya adalah leluhur mereka seperti kakek, nenek, maupun kerabat yang sudah meninggal. Selain membersihkan, warga biasanya akan menabur bunga sebagai lambang kedekatan mereka dengan yang dimakamkan.
Tradisi ini sebenarnya merupakan ritual Hindu sebelum Islam masuk ke Jawa Tengah. Setelah Islam menyebar di Jawa Tengah, tradisi yang semula memberi persembahan kepada pemakaman diubah menjadi doa sesuai ajaran Islam. Tradisi akan ditutup dengan acara makan bersama. Ternyata cara tersebut diterima oleh masyarakat dan terus dilakukan hingga saat ini.
Upacara ini merupakan upacara tradisi yang masih dilestarikan tidak hanya di Jawa Tengah tetapi juga di Jawa Timur. Wetonan berasal dari bahasa Jawa yaitu “metunan” yang artinya “keluar”. Tradisi ini digunakan untuk memperingati kelahiran seseorangan. Upacara wetonan diadakan setidaknya satu kali dalam hidup seseorang biasanya pada 35 hari pertama setelah kelahiran.
Tanggal pelaksanaannya ditentukan berdasarkan penanggalan Jawa yang disebut weton dan pasaran. Disarankan upacara ini dilakukan setiap tahun tepat pada wetonnya. Tradisi ini dimaksudkan agar orang tersebut diberi kelancaran dan keselamatan selama hidup di dunia. Sebelum melakukan upacara wetonan harus diawali dengan berpuasa minimal satu hari. Setelah itu dilanjutkan dengan bancakan dengan menyediakan tumpengan lengkap dengan lauk pauk dan jajanannya.
Tradisi popokan merupakan ritual yang digunakan untuk menolak bala atau nasib buruk oleh masyarakat kota Semarang. Awal mula adanya tradisi ini adalah pada zaman dahulu salah satu desa di Semarang yaitu desa Sendang didatangi oleh seekor binatang buas. Binatang buas tersebut mengganggu tanaman warga dan mengancam keselamatan warga. Untuk mengusir binatang buas itu warga menggunakan senjata namun ternyata tidak berhasil.
Seorang tokoh masyarakat mengusulkan ide agar mengusirnya dengan tanah yang dicampur air atau dengan menggunakan lumpur dan ternyata berhasil. Warga yang merasa gembira pun melanjutkan acara dengan saling melempar lumpur satu sama lain dengan perasaan suka cita. Kegiatan ini kemudian dilakukan secara rutin untuk menangkal hal buruk. Hingga saat ini tradisi popokan atau melempar lumpur ini masih dilakukan.
Upacara siraman merupakan tradisi memandikan calon pengantin menjelang hari pernikahannya. Tradisi ini memiliki makna yaitu agar mempelai bersih dari kesalahan di masa lalu dan bersih dalam menyambut kehidupan barunya. Sebab itulah prosesi siraman dianggap sangat penting oleh masyarakat Jawa Tengah. Air yang digunakan juga bukan air biasa melainkan air yang diambil dari 7 sumber mata air yang berbeda serta sudah diberi berbagai macam bunga seperti mawar, melati, kenanga dimana setiap bunga memiliki makna.
Makna dari bunga mawar adalah kejujuran, bunga melati melambangkan keharuman dan nama baik keluarga, serta kenanga mengandung arti kesejukan dan ketentraman jiwa.
Rangkaian acara dimulai dari sungkeman oleh mempelai kepada orang tua untuk meminta doa restu baru setelah itu dilanjutkan dengan siraman. Orang yang memandikan pengantin dalam ritual siraman harus berjumlah ganjil mulai dari 3, 5, 7 dan seterusnya.
Upacara larung sesaji yang diketahui sudah ada sejak tahun 1901. Upacara tradisional ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan sang pencipta yang telah memberikan kekayaan terutama pada hasil laut. Upacara ini diadakan dengan cara menyediakan berbagai jenis makanan dan buah-buahan kemudian dibentuk menjadi gunungan. Gunungan tersebut kemudian dibawa ke tepi pantai dengan cara di arak oleh warga yang berpartisipasi.
Sesampainya di tepi pantai, gunungan tersebut diputar mengelilingi teluk sebanyak tiga kali. Kemudian berhenti di dermaga untuk kemudian dilarungkan dan ditenggelamkan di tengah laut. Sebelum tradisi rutin dilakukan setiap 1 Muharam ini biasanya masyarakat akan menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.
Ngapati diambil dari kata “papat” yang artinya adalah empat. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah khususnya yang beragama Islam. Tradisi ini untuk memperingati kehamilan seseorang ketika usia kandungannya mencapai empat bulan . Dipilihnya bulan keempat dikarenakan menurut agama Islam ruh manusia akan ditiupkan pada saat 4 bulan dalam kandungan.
Tradisi ini berisikan doa bersama dengan kerabat dan tetangga terdekat. Tujuannya adalah sebagai ungkapan rasa syukur atas kehadiran seorang anak dalam sebuah keluarga juga untuk memohon keselamatan untuk calon bayi dan ibunya.
Hampir sama dengan upacara ngapati, upacara tingkepan juga dilakukan untuk memperingati usia kehamilan ke 7 bulan. Tradisi ini disebut juga dengan nama mitoni yang diambil dari kata “pitu” yang artinya tujuh. Rangkaian acara mitoni lebih panjang dari acara ngapati yaitu terdiri dari sungkeman yang dilakukan sebelum prosesi siraman.
Ketika melakukan prosesi siraman, calon ibu harus mengenakan 7 kain yang berbeda dan akan disiram oleh 7 orang yang berbeda. Ke 7 orang tersebut adalah ketua ritual, suami, orang tua calon ibu, orang tua calon ayah, dan sesepuh lain.
Menurut sejarahnya, acara ini bermula dari seorang gadis bernama Niken Satingkep yang hidup pada masa Prabu Jayabaya. Ia sudah hamil sebanyak sembilan kali namun tidak satupun yang berhasil lahir ke dunia. Akhirnya ia dan suami pergi menemui sang prabu untuk meminta solusi. Prabu Jayabaya pun menyarankan agar melaksanakan doa bersama atau biasa disebutkan dengan selamatan. Akhirnya Niken berhasil melahirkan anaknya ke dunia. Kegiatan ini pun diikuti oleh banyak orang hingga akhirnya menjadi sebuah tradisi.
Masyarakat Jawa Tengah memiliki banyak cara untuk menyambut bulan Ramadhan. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh warga semarang yang disebut dengan nama kirab budaya atau dugderan. Upacara dugderan berlangsung selama dua hari dengan hari pertama yaitu menampilkan berbagai kebudayaan agar meningkatkan rasa toleransi terhadap perbedaan yang ada. Pada hari kedua yang merupakan puncak acara dengan menyerahkan dan mengumumkan suhuf halaqah dari para ulama.
Tradisi ini diketahui sudah ada sejak tahun 1881 yaitu pada masa Kanjeng Raden Mas Tumenggung Purbaningrat di desa Kauman. Tradisi ini dilakukan dengan cara memukul bedug di masjid besar dan meriam. Bedug yang dipukul akan menghasilkan suara “dug” sedangkan meriam menghasilkan suara “der”. Dari suara tersebutlah tradisi ini mendapatkan namanya.
Suara tersebut membuat warga penasaran dan berkumpul di halaman masjid. Setelah semua warga berkumpul bupati dan imam masjid pun menemui warga dan memberikan sambutan. Sejak saat itu tradisi ini terus dilangsungkan hingga saat ini.
Tradisi nyewu disebut juga dengan mendak yaitu acara doa bersama untuk mengiringi kepergian seseorang setelah 100 hari. Nyewu diambil dari kata “sewu” dalam bahasa Jawa yang artinya “seribu”. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Jawa yang memeluk agama Islam. Dalam melaksanakan tradisi ini tuan rumah biasanya akan mengumpulkan kerabat dan para tetangga untuk melakukan doa bersama.
Upacara nyewu diadakan pada malam hari dan akan dipimpin oleh seorang pemuka agama. Isi dari upacara ini yaitu lantunan ayat-ayat suci Al qur’an seperti surat Yasin dan juga tahlil. Tujuan dari tradisi nyewu adalah untuk mengantar roh orang yang meninggal agar tenang dan menemukan kedamaian di kehidupan selanjutnya.
Brobosan merupakan tradisi yang dilaksanakan ketika anggota keluarga kita ada yang meninggal. Brobosan diambil dari kata “trobos” yang artinya “menerobos”. Kata tersebut merujuk pada gerakan melewati atau menerobos bagian bawah peti yang sedang diangkat sebanyak tiga kali.
Tradisi ini dilakukan di halaman rumah mendiang sebelum dimakamkan. Upacara ini juga diiringi dengan doa bersama dan sesaji yang disediakan oleh kerabat mendiang. Salah satu kerabat akan memberikan pidato di akhir acara. Pidato tersebut biasanya permintaan maaf untuk mendiang agar pergi dengan keadaan damai.
Upacara malam selikuran adalah sebuah tradisi yang dilangsungkan di keraton Surakarta, Solo, Jawa Tengah. Upacara ini digelar pada malam ke 21 di bulan Ramadhan oleh sebab itulah tradisi ini disebut dengan “malam selikuran” yang artinya malam ke 21. Tradisi ini hampir saja dilupakan namun berhasil dihidupkan kembali oleh Pakubuwana IX dan semakin meriah pada masa Pakubuwana X. Sejak masa Pakubuwana X tradisi ini dimeriahkan dengan acara kirab. Kirab dilaksanakan dari keraton Solo menuju ke Masjid Agung dengan membawa tumpengan yang dibawakan oleh para abdi dalem keraton.
Sebelum di kirab tumpengan tersebut sudah diberi doa oleh pemuka agama setempat. Selain tumpengan, para abdi dalem juga membawa lentera. Tumpeng yang dibawa berjumlah seribu buah yang menjadi simbol seribu pahala yang akan diberikan di malam 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan lentera merupakan simbol dari obor yang digunakan untuk menerangi jalan pada saat menjemput Rasulullah. Kirab berakhir di alun-alun Sriwedari.
Mungkin tradisi ini sudah sangat akrab di telinga masyarakat sebab saat ini sudah banyak yang melakukan ritual ini meskipun bukan berasal dari Jawa. Tradisi ini adalah tradisi yang dilakukan pada saat menjelang pernikahan dimana mempelai wanita dan mempelai tidak diizinkan bertemu. Mereka tidak akan dipertemukan sampai hari h pernikahan.
Biasanya masa pingitan dilakukan selama satu hingga dua minggu. Tradisi ini dilakukan dengan maksud baik seperti memberikan waktu kepada calon pengantin agar lebih bersiap dan memperbaiki diri, serta menjauhkan pengantin dari mara bahaya. Sebab konon katanya ketika seseorang hendak menikah akan ada marabahaya yang mendekat.