Jawa Timur merupakan salah provinsi di Pulau Jawa yang kaya akan kebudayaannya termasuk berbagai upacara adat di dalamnya. Apa saja upacara adat yang ada di Jawa Timur? Simak pembahasannya berikut ini.
Upacara Kasada Bromo memiliki nama lain Yadnya Kasada yaitu upacara yang dilaksanakan oleh suku Tengger yang tinggal di kawasan pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur. Masyarakat di sana umumnya adalah pemeluk agama Hindu. Namun berbeda dengan umat Hindu lainnya yang melakukan ibadah di candi, masyarakat Hindu Tengger beribadah di kaki gunung Bromo yaitu di Pura Luhur Poten.
Bagi masyarakat Tengger, Bromo adalah gunung yang suci. Tradisi ini dilakukan setiap setahun sekali pada bulan purnama di bulan kasada atau kesepuluh menurut kalender Jawa. Tradisi ini dilaksanakan tengah malam hingga dini hari. Adapun tujuan dilakukannya upacara ini adalah sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur, memohon agar hasil panen melimpah, menolak bala, dan juga pengangkatan tabib.
Prosesi acara adat ini yaitu dengan mempersembahkan berbagai sesaji yang kemudian dilempar ke kawah gunung Bromo. Sesaji tersebut akan ditangkap oleh masyarakat Tengger lainnya yang berada di tebing kawah tersebut.
Tradisi ruwatan adalah tradisi yang ada di daerah Jawa termasuk Jawa Timur. Tradisi ini sudah ada sejak dahulu dan masih dilestarikan hingga saat ini. “Ruwatan” diambil dari kata “ruwat” yang mempunyai makna “membuang sial”. Jadi tujuan dari upacara ruwatan adalah untuk memperoleh berkah, keselamatan, kesehatan, kedamaian, kebahagiaan, dan kesejahteraan.
Pada tradisi ruwatan biasanya juga terdapat pagelaran wayang yang dipimpin oleh seorang dalang. Dalang tersebut yang akan mencukur rambut anak-anak dalam upacara adat. Dalang dianggap sebagai penanggung jawab terhadap kesialan dan kemalangan anak tersebut karena sudah menjadi anaknya. Untuk melangsungkan upacara ruwatan membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga untuk memudahkan yang tidak mampu upacara ini digelar dalam lingkup desa atau dusun.
Keduk beji adalah tradisi yang dilakukan untuk membersihkan sendang atau danau. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat di Jawa Timur khususnya di desa Tawun, kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Beji adalah nama danau yang dibersihkan karena dianggap sakral. Sendang atau danau ini merupakan sumber mata air yang mengairi kolam renang di tempat wisata dan mengairi sawah-sawah petani di sana.
Rangkaian dari ritual ini adalah diawali dengan pembersihan ai sendang kemudian dilanjutkan dengan penyilepan. Pada proses penyilepan dilakukan oleh seorang juru kunci ke dalam sendang untuk meletakkan kendi di dasar sendang. Kendi tersebut akan diambil pada prosesi ritual tahun berikutnya. Ritual ini ditutup dengan pertunjukan tarian kecetan dan selamatan atau kenduri.
Sandhur pantel adalah sebuah tarian yang dilakukan oleh masyarakat Madura yang diiringi oleh nyanyian penuh doa dan kekuatan mistis. Ritual ini masih bertahan hingga kini di daerah Sampang. Tarian yang dilengkapi dengan sesajen dan tak ketinggalan air suci ini dilakukan untuk memohon hujan, persediaan air terpenuhi, menghormati makam keramat, membuang kesialan, dan menolak penyakit berbahaya.
Ritual ini mengandung pesan bahwa manusia harus menjaga keselarasan serta keharmonisannya dengan alam sekitar. Jika tidak maka akan terjadi musibah yang bisa mendatangkan bahaya bagi manusia itu sendiri. Ritual sandhur pantel biasanya dibagi ke dalam beberapa tahap yang pertama adalah tahap pementasan yang berdurasi 3-4 jam. Rangkaian selanjutnya adalah pembacaan doa-doa dan pujian yang dilakukan dalam bahasa Madura dan Arab.
Kebo-keboan adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Banyuwangi terutama oleh suku Osing (Using). Tradisi ini memiliki hubungan erat dengan pertanian sebab ritual ini dimaksudkan untuk memohon kesuburan tanah, hasil panen yang melimpah, serta dihindarkan dari bahaya baik untuk tanaman mereka maupun para petani. Tradisi ini bermula di dusun Krajan yang pada saat itu ladang mereka di serang oleh hama atau pagebluk yang menyebabkan petani gagal panen.
Seorang tokoh masyarakat bernama Buyut Karti mencoba untuk menangani masalah tersebut dengan melakukan ritual menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah. Ritual tersebut ternyata berhasil dan sejak saat itulah ritual yang diberi nama “kebo-keboan” ini rutin diadakan setiap tahun. Umumnya upacara ini akan dilangsungkan pada tanggal 1-10 suro karena dianggap sebagai bulan yang suci. Satu minggu sebelum diadakan upacara ini, seluruh masyarakat akan membersihkan dusun secara bersama-sama.