Indonesia dikenal sebagai sebuah negara dengan ragam tuturan daerahnya. Hal tersebut dikarenakan Indonesia sudah menyimpan cukup melimpah warisan kebudayaan secara turun temurun.
Berdasarkan hasil studi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah bahasa daerah di Indonesia mencapai 718. Demikian juga dengan salah satu provinsi yang terdapat di Pulau Sumatera, Aceh.
Ragam tuturan daerah yang ada di Aceh tercipta dikarenakan banyaknya etnis berbeda pada daerah ini. Suku tersebut memiliki tutur tersendiri dalam menyampaikan pesan komunikasi sehari-harinya. Ingin tahu macam-macam bahasa daerah di Aceh ? Mari baca uraiannya berikut.
10 Bahasa Daerah yang Terdapat di Aceh
- Bahasa Aceh
Tutur Aceh merupakan paling umum dijumpai di Aceh dan digunakan pada mayoritas penduduk disini. Kebanyakan penutur berasal dari sejumlah daerah disini seperti penduduk di Kabupaten Aceh Besar, Kotamadya Sabang, dan Kabupaten Pidie.
Memiliki tiga dialek mencangkup Panthe, Mesjid Punteut, dan Baet Lambuot. Tutur Aceh juga terdiri dari dua logat yaitu logat pesisir timur yang lebih halus serta logat pesisir barat dimana lebih kasar. Fakta unik dari tutur ini bahwa Tuturan Aceh wajib digunakan di lingkungan kerja dan sekolah Lhokseumawe tiap hari Jumat.
- Bahasa Jamee
Memiliki nama lain Bahasa Aneuk atau Baiko. Penutur tutur ini kebanyakan berasal dari Kabupaten Aceh Selatan serta Aceh Barat Daya. Jamee dapat diterjemahkan “tamu” dari Tutur Aceh. Hal tersebut dikarenakan pernah dianggap sebagai bahasa pendatang ke Aceh.
Tutur Jamee memiliki kemiripan dengan Tuturan Padang jika didengarkan sekilas. Karena, tutur ini dibawa serta diciptakan oleh pendatang etnis Minangkabau saat berdiam disini.
- Bahasa Haloban
Tutur Haloban pertama kali serta paling banyak dipakai oleh etnis Haloban. Penyebaran bahasa ini tidak jauh dari kediaman etnis Haloban, yaitu di Pulau banyak, Kabupaten Aceh Singkil. Tutur Haloban termasuk tergolong dialek Debayan.
- Bahasa Gayo
Tutur Gayo paling banyak tersebar di Kabupaten Aceh Tamiang, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Bener Meriah serta sejumlah daerah disekitar lainnya. Memiliki empat dialek yang mencangkup Kaloi, Kuta Lintang, Remesan dan Sarah Raja.
- Bahasa Singkil
Merupakan tutur paling sering digunakan pada penduduk Kabupaten Aceh Singkil. Dituturkan sebagai alat komunikasi sehari-hari oleh masyarakat Singkil. Banyak yang menduga tuturan ini mirip dengan Tuturan Pakpak dari Sumatera Utara, dimana juga kerap digunakan penduduk Singkil.
- Bahasa Alas
Sebuah tuturan yang diciptakan serta dipakai oleh penduduk etnis Tanah Alas di Kabupaten Aceh Tenggara. Bahasa ini memiliki tiga dialek, yaitu dialek Tengah, Hilir dan Hulu. Aksen Tuturan Alas di Bambel cenderung kasar sementara di Badar lebih lembut.
Beberapa kosakata disini memiliki kesamaan terhadap Bahasa Karo di Sumatera Utara. Karena, Tutur Alas memiliki keterkaitan dengan Tuturan Karo serta kedua tutur ini termasuk rumpun Austronesia.
- Bahasa Kluet
Tutur Kluet biasa digunakan pada penduduk bertempat di sebagian daerah Aceh Selatan seperti Kluet Utara dan Kluet Tengah. Terdiri dari tiga dialek seperti Krueng Kluet, Manggamat, serta Paya Dapur. Kemunculan tuturan ini diperoleh dari turunan Tuturan Alas dan Gayo.
- Bahasa Tamiang
Tutur Tamiang dikenal karena memiliki kemiripan aksen Melayu. Mayoritas penutur berasal dari penduduk Aceh Tamiang. Tuturan Tamiang memiliki ciri khas dimana dapat dibedakan berdasarkan asal penuturnya.
Tuturan Tamiang yang digunakan oleh etnis Tamiang Hilir cenderung terdapat akhiran “e”. Sementara, etnis Tamiang Hulu mengkomunikasikan Tuturan Tamiang yang biasanya ada akhiran “o”.
- Bahasa Sigulai
Bahasa berasal serta banyak dipakai oleh etnis Sigulai yang mendiami Pulau Simeulue, tepatnya di Desa Malasin. Tutur Sigulai memiliki keterikatan dengan beberapa tutur seperti Tuturan Nias, Devayan, Lekon serta Haloban.
- Bahasa Leukon
Sama seperti Bahasa Sigulai, karena juga digunakan oleh penduduk di Pulau Simeulue. Dituturkan pada penduduk Desa Langi serta Desa Lafakha. Kebanyakan tuturan ini dipakai saat penuturnya berkomunikasi bersama keluarga atau kerabat terdekat.
Banyak hasil penelitian yang menyatakan tuturan ini sudah jarang digunakan, sehingga terancam punah. Penyebab berkurangnya penutur karena sudah banyak bahasa lainnya masuk dan digunakan pada masyarakat di kedua desa itu.