Daftar isi
Perjuangan Bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Belanda melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk di dalamnya para ulama. Banyak sekali pahlawan nasional Indonesia bergelar ulama yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, baik dengan terjun langsung memimpin perlawanan bersenjata maupun melalui pergerakan dan organisasi nasional.
Diantara ulama yang juga merupakan pahlawan nasional adalah K.H. Ahmad Rifa’i yang merupakan pendiri organisasi kemasyarakatan Rifa’iyyah.
Kelahiran Ahmad Rifai
K.H Ahmad Rifa’i lahir di Desa Tempuran, Kota Kendal, Jawa Tengah, pada tanggal 13 November 1785 (ada yang mengatakan 1786) atau bertepatan dengan 9 Muharram 1200 H. Ayahnya bernama Muhammad Marhum yang merupakan putra dari K.H Abu Sujak atau Soetjowijojo yang merupakan seorang bangsawan kraton dan penghulu Landeraad di kota Kendal. Sementara ibunya bernama Siti Rohimah atau dikenal dengan Umi Radjiyah.
Pada saat berusia 6 tahun, ayah Ahmad Rifa’i meninggal dunia. Setelah itu, beliau tinggal bersama kakaknya yang bernama Nyai Rajiyah binti Muhammad Marhum, yang merupakan seorang istri dari K.H. Asy’ari pendiri dan pengasuh Pesantren Kaliwungu. Dibawah asuhan K.H Asy’ari inilah Ahmad Rifa’i tumbuh dengan pendidikan agama yang kuat.
Masa Remaja dan Masa Dewasa Ahmad Rifai
Ahmad Rifa’i tumbuh dengan didikan agama di pesantren Kaliwungu yang merupakan pusat perkembangan agama Islam di Kendal dan sekitarnya. Di pesantren tersebut, Ahmad Rifa’i mendapat berbagai ilmu pengetahuan Islam seperti ilmu nahwu, sharaf, hadits, fiqih, dan selainnya.
Setelah lama menimba ilmu dibawah asuhan K.H Asy’ari, pada tahun 1816 atau saat usianya 30 an tahun, Ahmad Rifa’i menunaikan haji dan umroh ke kota Makkah. Setelah menunaikan haji dan umroh, beliau memutuskan untuk menetap dan menimba ilmu di Makkah dan Madinah. Selama kurang lebih 8 tahun disana, beliau berguru pada sejumlah ulama besar Jazirah Arab seperti Syekh Ahmad Ustman, Syaikh Isa Al-Barowi dan Syaikh Fakih Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Jaizi. Selama tinggal di Makkah, beliau juga mendapat pengaruh perkembangan Islam di Jazirah Arab pada saat itu yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Setelah 8 tahun di Makkah dan Madinah, ada yang mengatakan Ahmad Ri’fai langsung kembali ke Kendal. Akan tetapi, sumber lainnya menyebutkan bahwa setelah di Makkah dan Madiah beliau menuju Mesir dan menuntut ilmu disana untuk mendalami tentang mahzab Syafi’i.
Peran dan Perjuangan Ahmad Rifai
Sekembalinya dari menuntut ilmu di Jazirah Arab, Ahmad Rifa’i mulai mendakwahkan Islam di sekitaran kota Kendal. Selain mengajarkan tentang agama Islam, Ahmad Rifa’i juga membahas hal-hal terkait masalah sosial termasuk mengenai perjuangan kemerdekaan melawan penjajah Belanda.
Dikarenakan isi dakwahnya yang dianggap terlalu provokatif, pemerintahan kolonial saat itu menangkap Ahmad Rifa’i dan mengasingkannya ke Ambon sebelum kemudian dipindah ke Manado. Selama menjalani masa pengasingan, Ahmad Rifa’i justru tidak gentar dan tetap konsisten mendakwahkan agama Islam yang justru membuat pergerakannya semakin kuat.
Mendapati kenyataan tersebut, pemerintah kolonial Belanda semakin merasa khawatir sehingga pada tahun 1838 mereka memindahkan pengasingan Ahmad Rifa’i ke sebuah desa terpencil bernama Desa Kalisanak yang berada di Kecamatan Limpung, Batang. Tiga tahun kemudian, yakni pada 1841, Ahmad Rifa’i justru mendirikan pesantren di Kalisanak hingga pesantren tersebut berkembang pesat dan menarik banya santri dari berbagai penjuru wilayah berdatangan untuk menimba ilmu.
Perjuangan dakwah yang terus berjalan juga diiringi dengan perjuangan menentang kolonialisme. Ahmad Rifa’i mempelopori gerakan Taramujah, yaitu gerakan perjuangan yang menekankan pada aspek keagamaan dan budaya masyarakat setempat. Perjuangannya juga diwujudkan melalui tulisan dimana beliau berhasil menyusun sebuah kitan yang bernama Nazam Wikayah. Dalam kitab tersebut beliau membahas mengenai anjuran untuk menentang orang kafir Belanda dan juga pihak-pihak yang bersekutu dengan mereka. Di dalamnya beliau juga menekankan bahwa Belanda dan sekutunya merupakan orang-orang kafir yang halal atau boleh untuk diperangi.
Keberanian, ketegasan dan pandangannya yang keras menentang pemerintahan kolonial Belanda membuat Ahmad Rifa’i mendapat julukan “Setan Kalisanak” dari pemerintahan Belanda. Sementara pihak-pihak pro Belanda menyuarakan bahwa Ahmad Rifa’i adalah ulama yang sesat. Pada akhirnya langkah dakwah beliau mendapat ganjalan dan beliau dilarang untuk berdakwa oleh Belanda.
Meski demikian semasa hidupnya beliau telah berhasil menyusun setidaknya 55 (atau sumber lain menyebut 62) buah kitab mengenai berbagai pembahasan tentang agama. Diantara kitab-kita tersebut adalah terjemahan dari kitab-kitab berbahasa arab karya ulama terdahulu yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Jawa untuk membantu agar isi kitab-kitab tersebut lebih mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa dimana beliau berdakwah.
Murid-murid beliau kemudian mendirikan organisasi bernama Rifa’iyyah yang berpusat di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah.
Wafatnya Ahmad Rifai
Akhir kehidupan Ahmad Rifa’i adalah ketika beliau tengah diasingkan di sebuah kampung yang bernama Jawa Tondano di Kota Manado. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 1870, yakni saat usianya menginjak 84 tahun.
Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kyai Mojo yang terletak di Jawa Tondani, Kelurahan Kampung Jawa, Kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Pada tahun 2004, setelah lebih dari satu abad sepeninggal Beliau, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada K.H. Ahmad Rifa’i melaui Kepres Nomor: 089/TK/2004.