Dalam sistem Islam, penanganan kasus pemerkosaan dipandu oleh hukum yang tegas dan berdasarkan prinsip-prinsip syariat. Terdapat dua situasi yang dibedakan:
Dalam hal ini, pemerkosaan dianggap sebagai tindakan zina. Bagi pelaku yang belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah cambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sementara bagi pelaku yang sudah menikah (muhsan), hukumannya adalah rajam sampai mati. Penting dicatat bahwa korban pemerkosaan tidak dikenai hukuman had, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Quran (QS Al-An’am: 145).
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
mam Malik dalam Al-Muwatha’ berpendapat, orang yang memerkosa wanita, selain dijatuhi hukuman had zina, juga mendapat sanksi tambahan, yaitu diharuskan membayar mahar kepada wanita.
Imam Malik mengatakan, “Menurut pendapat kami, tentang orang yang memerkosa wanita, baik masih gadis maupun sudah menikah, jika wanita tersebut adalah wanita merdeka (bukan budak), pemerkosa wajib memberikan mahar kepada sang wanita. Sementara, jika wanita tersebut adalah budak, ia wajib memberikan harta senilai kurang sedikit dari harga budak wanita tersebut. Adapun hukuman dalam masalah ini hanya diberikan kepada pemerkosa, sedangkan wanita yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman sama sekali.” (Al-Muwaththa’, 2:734)
Pemerkosa yang menggunakan senjata untuk mengancam dihukumi seperti perampok. Hukuman bagi perampok telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran (QS Al-Ma’idah: 33), termasuk di antaranya hukuman mati atau disalib.
اِنَّمَا جَزٰۤؤُا الَّذِيْنَ يُحَارِبُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَسْعَوْنَ فِى الْاَرْضِ فَسَادًا اَنْ يُّقَتَّلُوْٓا اَوْ يُصَلَّبُوْٓا اَوْ تُقَطَّعَ اَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ مِّنْ خِلَافٍ ذٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِى الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”
Pengadilan dalam kasus pemerkosaan memerlukan bukti yang jelas atau pengakuan dari pelaku. Jika terbukti tanpa keraguan, pelaku akan dikenai hukuman sesuai dengan syariat Islam. Namun, jika tidak ada bukti yang cukup, pengadilan takzir bisa diterapkan, yaitu hukuman selain hukuman had, untuk memberikan efek jera dan mencegah kejahatan serupa.
Pentingnya Bukti dalam Penanganan Kasus Pemerkosaan Menurut Hukum Islam
Ibnu Abdil Bar menegaskan bahwa para ulama sepakat bahwa dalam kasus pemerkosaan, pelaku hanya bisa dikenai hukuman had jika terdapat bukti yang kuat atau pengakuan dari pelaku. Jika tidak ada bukti yang memadai, maka pelaku akan dikenai hukuman takzir, yaitu hukuman yang ditentukan oleh kebijaksanaan pengadilan.
Dalam konteks ini, korban pemerkosaan tidak dikenai hukuman apa pun, karena dia adalah pihak yang menjadi korban kekerasan dan tidak memiliki kesalahan dalam peristiwa tersebut. Penting juga untuk memperhatikan reaksi korban, seperti teriakan atau permintaan tolong, yang dapat menjadi indikator keadaan yang sebenarnya.
Syekh Muhammad Shalih Munajid menjelaskan bahwa dalam ketiadaan bukti yang memadai, pengadilan takzir menjadi alternatif untuk menegakkan keadilan. Hukuman takzir ini bertujuan untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa yang akan datang. Selain itu, sistem hukum Islam kafah juga memiliki fungsi sebagai penebus dosa di hadapan Allah di akhirat.
Pentingnya penerapan sistem hukum Islam kafah sebagai aturan yang kokoh dan konsisten diakui sebagai langkah penting dalam mencegah tindak kejahatan dan menegakkan keadilan. Sistem ini tidak hanya menciptakan efek jera bagi pelaku, tetapi juga memberikan perlindungan kepada masyarakat serta memastikan bahwa keadilan yang sejati terwujud.
Namun, untuk menerapkan sistem hukum ini secara efektif, diperlukan juga sistem pemerintahan yang berlandaskan pada syariat Islam kafah, yaitu Khilafah Islamiah, yang didasarkan pada prinsip-prinsip kenabian. Ini merupakan perbedaan mendasar dengan sistem hukum sekuler yang sering kali tidak mampu memberikan efek jera yang cukup dan gagal mencegah kejahatan serupa terulang.
Sistem hukum Islam kafah memiliki ketegasan dan keadilan yang konsisten. Hukuman yang diberikan bukan hanya sebagai efek jera bagi pelaku, tetapi juga sebagai penebus dosa di hadapan Allah di akhirat. Namun, implementasi yang efektif dari hukum Islam memerlukan penerapan syariat secara menyeluruh dalam sistem pemerintahan, bukan sekadar berdasarkan prinsip sekularisme yang menafikan aturan Allah dalam kehidupan.