Daftar isi
Kerajaan Negara Dipa merupakan kerajaan yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan. Pusat Kerajaan Negara Dipa berada di dekat Amuntai atau saat ini berada di sekitar Tabasan. Kerajaan ini didirikan oleh Ampu Jatmaka.
Ampu Jatmaka merupakan saudagar kaya yang berasal dari Keling. Keling sendiri adalah negara yang berada di bawah kekuasaan Majapahit yang berada di barat daya Kediri. Ampu Jatmaka merupakan anak dari saudagar bernama Mangkubumi yang disebut Saudagar Jantam.
Atas saran dari ayahnya, ia melakukan perjalanan untuk mencari negeri yang tanahnya suam dan harum. Ia melakukan perjalanan ke Hujung Tanah atau Kalimantan yang berjarak sekitar dua bulan perjalanan laut. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa Ampu Jatmaka merupakan pengungsi dari Kediri karena keadaan Kediri saat itu tengah terjadi pertempuran Genter.
Selain itu, ada pula sejarawan yang meyakini bahwa perjalanan yang dilakukan oleh Ampu Jatmaka merupakan kebijakan ekspansionis Hayam Wuruk untuk menyerang Kerajaan Dayak Ma’anyan Nan Sarunai yang memiliki corak kaharingan. Serangan-serangan yang dilakukan dikenal dengan nama Nansarunai Usak Jawa yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan Nan Sarunai.
Pada tahun 1387, Ampu Jatmaka mendirikan Kerajaan Negara Dipa dengan corak Hindu. Kemudian ia mendirikan negeri Candi Laras yang berada di sebuah anak sungai Bahan. Ampu Jatmaka memerintahkan Bentara kanan Tumenggung Tatahjiwa untuk melakukan perluasan wilayah dengan cara menaklukan beberapa daerah seperti batang Tabalong, batang Balangan, batang Pitap dan daerah perbukitan yang ada di sekitarnya.
Tidak hanya itu, ia juga memerintahkan Bentara kiri Arya Megatsari untuk menaklukkan daerah batang Alai, batang Labuan Amas, batang Amandit, dan daerah perbukitan yang berada di sekitar daerah tersebut. Kemudian setelah itu, ia memindahkan ibukota kerajaan yang semula dari negeri Candi Laras ke Negeri Candi Agung yang berada di sebalik negeri Kuripan.
Raja Kuripan yang tidak memiliki anak kemudian mengadopsi Ampu Jatmaka sebagai anak dan penerus tahta dari Kuripan. Ampu Jatmaka kemudian menjadi penerus ayah angkatnya yang merupakan raja tua dari Kerajaan Kuripan.
Negeri Kuripan, Negeri Candi Laras dan Negeri Candi Agung dan Negeri Batu Batulis dan Baparada menjadi daerah kekuasan dari Kerajaan Negara Dipa. Selain itu, Empu Jatmaka membuat patung sepasang dewa dan Dewi yang berasal dari kayu jati di Candi Agung sebagai simbol raja yang disembah oleh rakyat. Sayangnya, patung tersebut dirusak dan diganti oleh patung angsa.
Ketika Tanjungpuri masih berada di puncak kejayaan, Negara Dipa menjadi bandar utamanya. Namun, setelah Negara Dipa menjadi sebuah kerajaan dan memiliki pusat pemerintahan baru, bandar dipindahkan ke Daha. Namun, ketika Daha berubah menjadi keraton dan memiliki pusat pemerintahan yang baru, bandar kembali dipindahkan ke Muara Bahan.
Menurut Tutur Candi, Kerajaan Negara Dipa semula beribu kota di Negeri Candi Laras dekat hilir sungai Bahan atau lebih tepatnya berada di suatu anak sungai bahan. Kemudian ibu kota kerajaan pindah ke Hulu Sungai Bahan yakni Negeri Candi Agung (Amuntai). Selanjutnya Ampu Jatmaka menggantikan kedudukan dari Raja Kuripan yang mangkat dan tidak memiliki keturunan.
Setelah Ampu Jatmaka naik tahta, nama Kerajaan Kuripan berubah menjadi Kerajaan Negara Dipa. Ibu kotanya saat itu berada di Candi Agung yang ada di sekitar hulu sungai Bahan yang bercabang menjadi Sungai Tabalong dan Sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan.
Ampu Jatmaka memiliki dua orang anak yang bernama Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Menurut sejarah lisan, sebelum dirinya meninggal, ia memerintahkan kepada kedua anaknya untuk membuang patung angsa yang menjadi simbol raja ke laut. Lambung Mangkurat menggantikan ayahnya sebagai raja kedua Negara Dipa dan gelar Ratu Kuripan.
Pada masa pemerintahannya, ia berhasil melakukan perluasan wilayah Negara Dipa mulai dari Tanjung Silat hingga Tanjung Puting. Saat itu, kerajaan Negara Dipa memiliki daerah bawahan yang dinamakan dengan wilayah Sakai. Masing-masing wilayah Sakai dipimpin oleh seorang Mantri Sakai.
Pemerintah Sakai hampir sama dengan pemerintahan lalawangan (distrik) saat pemerintahan kerajaan Banjar. Adapun wilayah Sakai ini meliputi Tanjung Puting hingga Tanjung Silat sebagaimana yang diceritakan dalam Hikayat Banjar.
Setelah adanya pemindahan ibu kota kerajaan Negara Dipa yang semula dari Candi Laras ke Candi Agung, Lambung Mangkurat mengikuti saran dari sang ayah yakni untuk bertanya di Sungai yang bernama Luhak Bahaya.
Saat bertapa ia bertemu dengan Puteri Junjung Buih yang muncul dari buih. Menurut J.J Ras, Putri Buih merupakan putri dari Ngabehi Holder dan masih memiliki keturunan Dayak. Kemudian ia diangkat menjadi seorang Raja Putri di Kerajaan Negara Dipa.
Saat itu Puteri Buih belum menikah dan dikabarkan tengah dekat dengan putra dari Empu Mandastani yakni Bambang Padmaraga dan Bambang Sukmaraga. Kedekatan mereka kekhawatiran pada Lambung Mangkurat, karena takut terjadi malapetaka.
Jika salah satu diantara mereka berhasil mempersunting Puteri Buih, maka akan naik tahta menjadi seorang raja. Hal tersebut yang ditakutkan oleh Lambung Mangkurat sebab penguasanya bukan berasal dari keturunan raja sebagaimana yang dipesankan oleh ayahnya yakni Ampu Jatmaka.
Lambung Mangkurat pada akhirnya membunuh kedua laki-laki yang tengah dekat dengan Puteri Buih yang tak lain masih keponakannya. Mendengar kematian kedua putranya, Empu Mandastana dan istrinya melakukan bunuh diri di sekitar kawasan candi.
Setelah tragedi pembunuhan tersebut, Lambung Mangkurat pergi ke Jawa guna meminang Raden Putra yang merupakan Pangeran Majapahit. Raden Putra akan dinikahkan dengan Puteri Junjung Buih. Raden Putra memiliki gelar Maharaja Suryanata.
Dari keturunan keduanya inilah yang kelak menjadi raja-raja di Negara Dipa. Kepercayaan mengenai pentingnya raja yang berasal dari keturunan raja terus dilestarikan hingga kerajaan Banjar.
Ampu Jatmaka merupakan seorang pendiri kerajaan Negara Dipa. Ia memiliki gelar Maharaja di Candi. Ia merupakan keturunan saudagar kaya yang berasal dari negeri Keling, Kediri. Saat itu, Ampu Jatmaka tengah melakukan ekspedisi ke Kalimantan. Kemudian ia membentuk sebuah kerajaan bernama Negara Dipa dan membangun Candi Agung sebagai pusat kerajaan.
Ampu Jatmaka diangkat oleh seorang Raja Kuripan. Ketika itu, raja tidak memiliki anak untuk meneruskan pemerintahan, kemudian dirinya mengangkat Ampu Jatmaka menjadi seorang anak sekaligus menggantikan dirinya memerintah Kuripan.
Kerajaan Kuripan semula beribu kota di Negeri Candi Laras dekat hilir sungai Bahan atau lebih tepatnya berada di suatu anak sungai baha. Kemudian Ampu Jatmaka naik tahta dan mengganti nama kerajaan menjadi Negara Dipa.
Selain itu, ia juga melakukan pemindahan ibu kota kerajaan ke Candi Agung yang ada di sekitar hulu sungai Bahan yang bercabang menjadi Sungai Tabalong dan Sungai Balangan dan sekitar sungai Pamintangan.
Ampu Jatmaka memiliki dua orang anak yang bernama Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Di mana salah satu di antara anaknya menjadi penerusnya di Kerajaan Negara Dipa yakni Lambung Mangkurat.
Lambung Mangkurat merupakan anak dari Ampu Jatmaka. Ia memelikk gelar Ratu Kuripan karena saat itu wilayah yang menjadi tempat tinggal merupakan bekas negeri Kuripan. Ia menggantikan ayahnya sebagai pejabat raja.
Saat memerintah dirinya berhasil melakukan perluasan wilayah kerajaan dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting yakni meliputi wilayah Sungai Barito sampai Sungai Seruyan. Ayahnya yakni Ampu Jatmaka pernah berpesan bahwa posisi raja tidak boleh diisi oleh seseorang yang bukan berasal dari keturunan raja.
Maka dari itu, saat dirinya naik tahta ia melakukan tapa di sebuah sungai. Ketika sedang bertapa, dirinya bertemu dengan Puteri Junjung Buih. Puteri Junjung Buih inilah yang kemudian menggantikan posisi dirinya sebagai seorang raja di kerajaan Negara Dipa.
Raden Galuh Ciptasari atau Puteri Ratna Janggala Kediri. Ia memiliki gelar Anumerta Puteri Junjung Buih yang konon menurut mitos Melayu, ia merupakan perwujudan dari Puteri Buih atau Bunga Air. Puteri Buih diangkat menjadi saudari angkat dari Lambung Mangkurat.
Saat itu, Lambung Mangkurat menepati janji ayahnya untuk mengangkat raja Kerajaan Negara Dipa yang berasal dari keturunan raja. Maka dari itu, Lambung Mangkurat mengangkat Puteri Junjung Buih sebagai Raja dan dirinya bertindak sebagai seorang Patih. Ia juga mencarikan jodoh untuk Puteri Junjung Buih yakni Maharaja Suryanata yang berasal dari Majapahit.
Hal ini dilakukan tak lain agar janji pada mendiang ayahnya terus ditepati. Sebab, jika Puteri Junjung Buih menikah dengan orang lain yang bukan berasal dari keturunan raja, maka akan menyebabkan malapetaka. Sebab, suaminya nanti yang akan meneruskan tahta kerajaan namun suaminya bukan berasal dari keturunan raja.
Raden Putra atau yang memiliki nama lengkap Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa. Ia memiliki gelar anumerta Maharaja Suryanata. Konon, dirinya merupakan perwujudan dari raja dewa matahari. Dirinya dijodohkan dengan putri Junjung Buih oleh Lambung Mangkurat.
Hal ini dikarenakan Lambung Mangkurat tidak setuju Putri Junjung Buih tengah dekat dengan kedua keponakan Lambung Mangkurat. Sebab, kedekatan keduanya dapat mengundang malapetaka. Maka dari itu, Lambung Mangkurat membunuh keduanya dan menjodohkan Puteri Junjung Buih dengan putra kerajaan Majapahit yakni Maharaja Suryanata.
Dia dijodohkan dengan mempersembahkan 10 biji intan. Keduanya berhasil dijodohkan dan Maharaja Suryanata naik tahta menjadi raja Kerajaan Negara Dipa. Hal ini sesuai dengan permintaan Ampu Jatmaka yang menginginkan raja yang menjabat berasal dari keturunan raja.
Menurut Hikayat Banjar Versi II, dari pernikahannya dengan Puteri Junjung Buih, mereka dikaruniai tiga orang anak yakni Pangeran Suryawangsa, Pangeran Suryaganggawangsa, dan Pangeran Aria Dewangsa.
Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menaklukkan beberapa daerah yakni raja Sambas, raja Sukadana, orang-orang besar Batang Lawai, penguasa Kotawaringin, orang besar Pasir, Raja Kutai dan penguasa Berau serta raja Karasikan.
Ketiga anaknya memerintah di daerah yang berbeda. Anak pertama memerintah di Undan Besar dan Undan Kuning. Anak kedua memerintah di Undan Kulon dan Undan Kecil. Sementara anak bungsunya meneruskan tahta pemerintahan yakni memerintah di Candi Laras, Candi Agung, Batung Batulis, Baparada dan Kuripan.
Pemerintahan selanjutnya dilanjutkan oleh putera bungsu dari Puteri Junjung Buih dengan Maharaja Suryanata. Aria Dewangsa menikahi seorang Puteri yang bernama Putri Mandusari atau Putri Huripan. Putri Huripan memiliki gelar Putri Kabu (Kebo) Waringin.
Hal ini dikarenakan dia meminum air susu kerbau yang terikat di sebuah pohon beringin. Putri Mandusari merupakan anak dari Lambung Mangkurat dengan Dayang Diparaja. Ibunya meninggal dunia saat dirinya dilahirkan.
Terdapat beberapa versi yang menjelaskan asal usul Raden Sekar Sungsang. Menurut Hikayat Banjar Versi pertama, Raden Sekar Sungsang merupakan cicit dari Putri Junjung Buih dan cicit Lambung Mangkurat atau dalam hal lain ia merupakan cucu dari Pangeran Aria Dewangsa.
Sementara itu, menurut Hikayat Banjar versi kedua, Raden Sekar Sungsang adalah cucu dari Putri Junjung Buih dan cucu Lambung Mangkurat. Dalam hal ini, Raden Sekar Sungsang adalah anak dari pangeran Aria Dewangsa dengan Putri Kabu Waringin. Berdasarkan Hikayat Banjar versi kedua, Raden Sekar Sungsang pernah melakukan migrasi ke Pulau Jawa dan diduga sudah memeluk agama Islam.
Di sana dirinya menikahi perempuan setempat dan mendapatkan dua orang anak yang bernama Raden Panji Sekar dan Raden Panji Sekar. Raden Panji Sekar memiliki gelar Sunan Serabut karena dirinya menikahi anak dari Raja Giri.
Pada masa pemerintahan Raden Sekar Sungsang, dia melakukan pemindahan ibu kota kerajaan guna menghindari bala bencana. Ibu kota dipindahkan dari Candi Aging ke arah hilir percabangan anak sungai Bahan yakni Muara Bulak atau yang kemudian berganti nama menjadi Negara Daha.
Pemindahan ibu kota ini dikarenakan Candi Agung sudah kehilangan tuahnya. Dengan adanya pemindahan ibu kota, nama kerajaan pun berubah menjadi Kerajaan Negara Daha. Hal ini sesuai dengan nama lokasi dari ibu kota yang baru.