Daftar isi
Sebelum menjadi sebuah negara kesatuan, Republik Indonesia pernah menjadi sebuah negara serikat yang diberi nama Republik Indonesia Serikat.
Hal tersebut sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar yang telah ditetapkan antara Indonesia dengan Belanda. Bentuk negara federal itupun membuat Indonesia dibagi menjadi beberapa negara bagian, seperti Republik Indonesia, negara Pasundan, negara Madura, serta negara Indonesia Timur.
Dalam perkembangannya tersebut rakyat Indonesia yang terhimpun dalam negara negara Republik Indonesia Serikat sudah mulai menunjukkan ketidakpuasannya terhadap bentuk negara federal hasil dari perundingan KMB.
Sehingga dengan adanya beberapa desakan dari rakyat dan pemerintahannya sendiri, Indonesia lebih memilih untuk kembali pada bentuk negara kesatuan yang dinilai lebih pas dengan kondisi Indonesia.
Meskipun demikian, walaupun bentuk negara federal sudah diubah, beberapa rakyat tetap menunjukkan ketidakpuasannya terhadap bentuk pemerintahan tersebut. Sehingga timbul beberapa pergolakan-pergolakan yang terjadi di berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Berikut merupakan pergolakan-pergolakan yang terjadi di Indonesia akibat sistem pemerintahan
1. Pemberontakan PRRI
Setelah kembalinya bentuk negara Republik Indonesia menjadi negara kesatuan, masih terdapat pergolakan di kalangan masyarakat.
Pergolakan tersebut muncul akibat adanya ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Yang menjadi salah satu dampak akibat ketidakharmonisan hubungan tersebut adalah munculnya beberapa pemberontakan terhadap pemerintah seperti Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik indonesia atau disingkat dengan PRRI.
Latar Belakang Pemberontakan PRRI
Pada masa kepemimpinan presiden Soekarno, pemerintah pusat sedang gencar-gencarnya dalam melaksanakan pembangunan di berbagai bidang.
Pembangunan yang dilaksanakan pun terjadi secara besar besaran. Namun, pembangunan yang sedang dilakukan tersebut hanyalah terfokus pada satu wilayah saja yaitu wilayah ibu kota dan pulau jawa.
Pemerintah melakukan pembangunan tersebut di daerah ibu kota dan pulau jawa, karena mereka beranggapan bahwa pulau Jawa memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan nantinya.
Adanya hal tersebut tentunya memicu adanya kecemburuan sosial dari pemerintah daerah yang menangani daerah daerah yang berada di luar pulau Jawa.
Kecemburuan sosial tersebut akhirnya memuncak pada tanggal 15 Februari 1958, saat Letkol Ahmad Husain mulai mendeklarasikan berdirinya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang, Sumatera Barat.
Dalam sistem kepengurusannya Syarifudin Prawiranegara ditunjuk untuk menjabat sebagai perdana menteri PRRI.
Berdirinya gerakan ini bukan tanpa maksud, gerakan ini didirikan untuk dapat mengingatkan pemerintah, bahwa pemerintah pusat memiliki daerah daerah lainnya yang harus diperhatikan dan lebih dikembangkan demi terwujudnya kesejahteraan bersama.
Jalannya Pemberontakan PRRI
Sejak awal berdirinya PRRI berusaha kuat untuk menghimpun berbagi dukungan. Setelah dirasa mendapatkan dukungan massa yang cukup besar, PRRI mulai berani untuk melancarkan berbagai aksi-aksi pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia dengan membentuk dewan dewan daerah.
Dewan-dewan daerah yang berhasil dibentuk oleh PRRI ini yaitu:
- Dewan Banteng yang berada di Sumatra Barat di bawah pimpinan Letkol Ahmad husain
- Dewan Gajah yang berada di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Letkol M. Simbolon
- Dewan Garuda yang berada di Sumatra Selatan berada di bawah Komando Letol Barian
- Dewan Manguni yang berada di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh olonel Ventje Sumual
Upaya Penyelesaian
Untuk menumpas PRRI dibentuklah sebuah pasukan militer yang nantinya akan dikerahkan untuk melakukan operasi militer.
Pasukan militer tersebut dibentuk dengan gabungan dari pasukan angkatan darat, angkatan laut, serta angkatan udara. Pelaksanaan operasi militer tersebut dibagi menjadi beberapa diantaranya adalah:
- Operasi Tegas
- Operasi 17 Agustus
- Operasi Saptamarga
- Operasi Sadar
- Operasi Merdeka
Semua pelaksanaan operasi militer tersebut berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ahmad Yani yang dipantau oleh Mayor Jenderal A.H Nasution.
Operasi militer tersebut pertama kali diluncurkan pada tanggal 14 Maret 1958 untuk dapat mengamankan sumber-sumber minyak yang berada di Pekanbaru.
Tidak hanya sampai di situ, operasi militer terus dilakukan perluasan wilayah, menuju wilayah pusat pertahanan PRRI. Operasi militer ini akhirnya memperoleh titik temu pada tanggal 17 Maret.
Mereka dapat memukul mundur para pemberontak PRRI yang berada di kota Medan. Pada tanggal 5 Mei gerakan pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas setelah pasukan militer pemerintah Indonesia berhasil merebut Bukit Tinggi dari tangan PRRI.
2. Pemberontakan Permesta
Perjuangan Rakyat Semesta atau Permesta ini pertama dideklarasikan berdirinya oleh Letkol Ventje Sumua.
Ia merupakan seorang pemimpin sipil dan militer di Indonesia Timur. Namun, Permesta ini sendiri memiliki tujuan yang sama dengan PRRI, yaitu melakukan pemberontakan pada pemerintahan indonesia.
Latar Belakang Pemberontakan Permesta
Memasuki tahun 1950-an pasca berubahnya sistem pemerintah di Indonesia, kondisi politik di Indonesia kian mengalami ketidakstabilan.
Beberapa pemerintah daerah sudah mulai menunjukkan ketidakpuasannya terhadap pembagian pembiayaan pembangunan yang dibagikan pemerintah pusat guna dialokasikan untuk kemajuan daerah.
Adanya ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu munculnya gerakan gerakan pemberontakan yang menentang pemerintah pusat. Salah satu gerakan pemberontakan tersebut adalah Permesta.
Jalannya Pemberontakkan
Pada tanggal 2 maret panglima tentara dan teritorium VII Letkol H. N Ventje Sumual mulai memproklamasikan piagam perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Proklamasi ini bertujuan untuk menunjukkan eksistensi Permesta pada pemerintah pusat. Bahwa Permesta benar adanya bukan hanya ancaman semata.
Piagam tersebut diproklamasikan di Makassar dan ditandatangani oleh 51 wakil gerakan Permesta. Berdirinya gerakan tersebut difokuskan pada wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, serta Maluku.
Untuk menghadapi perluasan kependudukan oleh permesta, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Indonesia bagian Timor mulai dalam keadaan yang bahaya.
Namun sebelumnya Letkol Ventje Sumual dan para pengikutnya telah dipecat oleh pemerintah pusat dari jabatannya sebagai seorang anggota militer dari angkatan darat, termasuk juga Mayor D. J Somba.
Namun, pemecatan tersebut tidaklah mengurangi langkah Permesta untuk tetap melancarkan pemberontakannya yang dilakukan dengan bergerilya.
Upaya Penyelesaian
Selain dilakukannya pemecatan oleh pemerintah pusat, pemerintah juga melancarkan operasi gabungan untuk dapat menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh Permesta.
Operasi gabungan tersebut diadakan di wilayah Sulawesi bagian utara dan tengah. Operasi yang dilancarkan oleh pemerintah tersebut dibagi menjadi beberapa yaitu:
- Operasi Merdeka yang dipimpin oleh letkol Rukminto Hendraningrat
- Operasi Saptamarga 1 yang dipimpin oleh Letkol Soemarsono.
Kedua operasi gabungan tersebut dipimpin oleh KSAD Mayor Jenderal A. H Nasution. Berkat operasi gabungan tersebut, pada tahun 1960 pihak Permesta menyatakan ketersediaanya untuk berunding dengan pihak pemerintah pusat.
Dalam pertemuan tersebut pihak Permesta diwakili panglima besar angkatan perang Permesta, Mayor Jenderal Alexander Evert Kawilarang.
Sedangkan pihak indonesia diwakili oleh Nicholas Bondan yang saat itu menjabat sebagai kepala staf angkatan darat. Dan dengan perundingan tersebut pemberontakan permesta berhasil diselesaikan dengan damai.
3. Persoalan Negara Federal dan BFO
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda masih berambisi untuk menguasai wilayah Indonesia kembali, tepatnya berada di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Hubertus Johanes van Mook.
Supaya dapat mencapai ambisinya tersebut, Van mook memecah wilayah Indonesia dengan garis demarkasi atau garis van mook, sehingga Indonesia terbagi menjadi lima belas negara federal yang memiliki daerah otonom khusus.
Van Mook mendirikan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Pembentukan BFO tersebut memunculkan dua golongan yang memiliki pandangan berbeda.
- Golongan federalis yang pro terhadap kebijakan Belanda. Golongan ini berusaha untuk mempertahanan bentuk pemerintahan Indonesia menjadi bentuk negara federal dengan tetap menjalin hubungan dengan Belanda.
- Golongan unitaris yang pro terhadap Indonesia. Golongan ini menolak keras Indonesia untuk berhubungan kembali dengan Belanda dan lebih memilih untuk mengembalikan Indonesia dalam bentuk negara kesatuan.
Berdasarkan hasil dari Konferensi Meja Bundar, pemerintah Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) yang nantinya akan terdiri atas Republik Indonesia dan negara negara BFO.
Dalam perkembangannya, negara-negara bagian tersebut mulai menunjukkan ketidakpuasannya terhadap sistem negara ini, karena mereka masih merasa berada dalam belenggu Belanda.
Dengan begitu banyak yang menginginkan Republik Indonesia Serikat untuk dihapuskan, karena dirasa tidak sesuai dengan prinsip Indonesia sebelumnya.