Sejarah

4 Peninggalan Kerajaan Luwu

√ Edu Passed Pass education quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Kedatuan atau kerajaan Luwu merupakan salah satu kerajaan Bugis tertua. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan sekitar abad ke-10 dan abad ke-14 Masehi. Luwu, Wewang Nriwuk dan Tompotikka merupakan tiga kerajaan Bugis pertama yang masuk ke dalam epik I La Galigo yakni sebuah karya orang suku Bugis.

Pusat kerajaan Luwu berada di Malangke yang saat ini menjadi wilayah Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Kerajaan Luwu juga disebut dalam Kakawin Nagarakertagama, yakni teks abad ke-14. Kerajaan ini sebagai daerah yang berada di bawah pengaruh kerajaan Majapahit bersama Lombok Mirah, Bantayan dan Udamakatraya dan pulau-pulau di sekitarnya.

Di dalam epik La Galigo, kerajaan ini digambarkan sebagai wilayah pesisir dan sungai yang memiliki pusat ekonomi berbasis perdagangan. Sama seperti kerajaan Nusantara lainnya, kerajaan Luwu meninggalkan banyak peninggalan sejarah.

Peninggalan sejarah ini sangat kaya akan budaya mulai dari istana, museum, masjid hingga sumur. Berikut ini peninggalan dari kerajaan Bugis tertua.

1. Masjid Tua Palopo

Masjid Tua Palopo adalah masjid peninggalan dari Kerajaan Luwu. Masjid ini berada di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid Tua Palopo didirikan pada tahun 1604 oleh Raja Luwu yang bernama Datu Payung XVI Pati Pasaung Taompanangi Slutan Abdullah Matinroe.

Masjid Tua Palopo memiliki luas 15 m². Nama Tua dari masjid ini diambil karena usia masjid ini yang sudah berusia tua. Sedangkan Palopo sendiri diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti.

Arti pertama dari kata Palopo adalah penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula. Sedangkan, arti keduanya adalah memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Jika dilihat dari kedua arti tersebut, arti kedua yang lebih cocok dengan proses pembangunan masjid tua Palopo ini.

Masjid tua Palopo memiliki bentuk bujur sangkar dengan ukuran 15 x 15 meter dan ketebalan dinding yang mencapai 90,2 cm, tinggi dinding 3 meter dari permukaan tanah. Masjid ini menghadap ke arah timur dan tidak jauh dari lokasi tersebut terdapat istana Luwu.

Pintu masjid diapit oleh 6 buah jendela yang berukuran 85 x 117 cm. Pintu masjid berbentuk seperti pintu bersayap yang dihiasi dengan huruf Arab. Pada bagian atas setiap pintu berbentuk agak melengkung dan bagian puncaknya di sebelah kanan dan kiri ada tonjolan dengan motif daun.

Pada bagian dinding sebelah Utara dan selatan terdapat dua buah jendela. Sementara bagian barat terdapat ceruk yang memiliki fungsi sebagai mihrab. Bagian atas mihrab masjid berbentuk melengkung dan meruncing seperti kubah. Di sekitar mihrab terdapat hiasan daun kecil. Pada bagian ceruk terdapat pengapit ceruk yang berupa ventilasi dengan bentuk belah ketupat dengan komposisi enam dua berjajar.

Bentuk atap masjid sama seperti masjid lainnya yakni beratap tumpang. Atap masjid ini terbuat dari sirap. Pada bagian atap tumpang teratas ada sebuah mustaka yang terbuat dari keramik Tiongkok. Mustaka tersebut berfungsi sebagai pengunci puncak untuk menjaga air yang masuk.

Namun, secara filosofis menandakan keesaan Tuhan. Pada bagian tumpang tengah dan bawah ditopang oleh empat buah pilar sementara bagian tumpang paling atas ditopang oleh tiang utama atau Soko guru. Soko guru terbuat dari kayu lokal yakni cinna gori yang ditatap dengan ukuran garis tengah sepanjang 90 cm. Keberadaan soko guru disakralkan oleh penduduk sekitar.

Secara arsitektur bangunan masjid merupakan perpaduan dari 4 budaya yakni lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam. Pada unsur lokal Bugis, terlihat pada 3 susunan yang menyerupai rumah panggung. Konsep susunan ini diterapkan pada bagian lainnya juga seperti pada bagian atap dan hiasan yang terdiri atas 3 susun.

Atap tersebut terdiri dari tiang penyangga yang terdiri dari 3 susun yakni pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu. Selain itu, ada dinding tiga susun yang ditandai dengan bentuk gerigi dan pewarnaan tiang bangunan yang terbuat tersusun tiga dari atas ke bawah, mulai dari warna hijau, putih kemudian cokelat.

Sedangkan pada unsur Jawa terlihat pada bagian atap yang dipengaruhi unsur rumah joglo yakni berbentuk Piramida berbentuk tiga atau kerap disebut tajug. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh empat tiang yang dalam konstruksi Jawa dinamakan dengan Soko guru.

Sedangkan atap Piramida atas disangga oleh kolom atau pilar tunggal. Mengenai atap masjid ini terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan bahwa atap terpengaruh dari arsitektur Jawa sedangkan ada yang berpendapat bahwa atap tersebut merupakan pengembangan dari konsep lokal masyarakat Sulawesi Selatan.

Namun, jika dilihat dari hubungan kedua masyarakat Jawa dan Sulawesi yang sudah terjalin lama, maka wajar jika terdapat akulturasi antar kedua budaya tersebut. Sementara itu, unsur Hindu terlihat dari denah masjid yang memiliki bentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konstruksi candi.

Pada bagian dinding bagian bawah masjid terdapat hiasan bunga lotus yang mirip dengan hiasan yang ada di Candi Borobudur. Pada bagian dinding bagian atas masjid juga terdapat motif alur yang serupa dengan hiasan Candi di Jawa. Unsur Islam terlihat dari jendela masjid yakni terdapat lima teralis besi yang berbentuk tegak. Hal. Ini melambangkan jumlah salat wajib dalam sehari semalam.

2. Museum Batara Guru

Museum Batara Guru dahulunya merupakan istana dari Raja Luwu. Bangunan ini didirikan sekitar tahun 1920 dan pernah menjadi tempat tinggal raja. Museum Batara Guru disahkan secara resmi pada tanggal 26 Juli 1971. Pergantian fungsi bangunan yang semula dari istana menjadi museum adalah dengan tujuan agar dapat melestarikan warisan budaya dari kerajaan Luwu.

Bangunan yang dahulunya istana kerajaan ini memiliki luas sekitar 10.000 meter persegi dengan ketinggian kurang lebih sekitar 20 meter dari permukaan air laut. Di dalam museum terdapat ruang pamer yang lega dan cantik untuk dipandang.

Sekat di antara benda pusaka satu dengan yang lainnya ditata dengan begitu apik. Bahkan benda-benda peninggalan sejarah diletakkan pada tempat khusus dan dirawat dengan baik. Adapun koleksi barang yang ada di museum ini adalah keramik, naskah, numismatik, heraldik, dan beberapa foto. Menurut data, terdapat sekitar 832 koleksi yang ada di museum ini.

3. Sumur Mattirowalie

Salah satu peninggalan kerajaan Luwu lainnya adalah sumur Mattirowalie. Sumur ini nyaris terlupakan oleh zaman. Kondisinya sangat menyedihkan dan kotor. Untung saja, masyarakat serta instansi terkait bahu membahu untuk membersihkan dan memelihara kembali situs bersejarah kerajaan Luwu ini. Sumur ini berada di Kota Palopo Sulawesi Selatan.

Konon dahulunya sumur ini menjadi salah satu tempat sakral karena menjadi titik pertama prosesi pengukuran raja Luwu pada saat itu. Raja Luwu atau Datu Luwu memulai proses pengukuhannya menjadi Pajung Luwu di sumur ini. Gelar Pajung atau payung merupakan gelar tertinggi bagi seorang raja di kedatuan Luwu. Tidak semua datu atau raja menyandang gelar ini.

Sumur yang terlupakan ini berada di kompleks perumahan anggrek dan ada di jantung kota Palopo. Tak jauh dari kantor walikota atau sekitar ratusan meter. Sumur ini lebih tepatnya berada di dekat BTN Anggrek samping Blok DD/25.

Perumahan tersebut banyak ditempat oleh para petunggiy Pemkot dan sekertaris daerah Palopo. Kondisi sumur sebelum dibersihkan tertutup oleh rumput-rumput liar. Hanya terdapat sebuah tugu yang menjadi penanda keberadaan sumur tua itu.

Untung saja, masyarakat sekitar memiliki tingkat kepedulian akan situs bersejarah ini. Mereka mengadakan gerakan bersih-bersih. Beberapa instansi juga ikut terlibat seperti dinas kebudayaan, Roemah simpoel, kejaksaan, anak muda peduli anggrek dan lurah setempat.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Sekretaris kebudayaan kota Palopo yakni Andi Adnan menyatakan bahwa sumur itu menjadi tempat pemandian raja sebelum pelantikan menjadi pajung kemudian baru berjalan ke Tana Bangkala lalu ke Salekoe yang saat ini menjadi kantor walikota.

Sumur ini dinamakan mattriwalie karena dahulunya di sana terdapat sebuah menara sebagai tempat orang bisa Mattiro atau melihat bebas ke semua penjuru.

4. Istana Langkane Luwu

Peninggalan kerajaan Luwu selanjutnya adalah istana langkane Luwu. Bangunan ini dibangun di atas tanah bekas saoraja pada tahun 1920-an. Dulunya, bangunan ini terbuat dari kayu yang dihiasi dengan tiang yang berjumlah 88 buah.

Sayangnya, bangunan tersebut diratakan oleh pemerintah Belanda. Tak jauh dari bangunan itu, ada miniatur Saoraja yang dilengkapi monumen perjuangan rakyat Luwu. Monumen tersebut berbentuk patung tangan yang memegang badik dan terhunus menghadap arah langit.

Dulunya, bangunan istana ini difungsikan sebagai pusat pemerintahan kerajaan Luwu. Namun, seiring berjalannya waktu istana tersebut dialihfungsikan. Istana Luwu ini terdiri dari dua bangunan yakni Langkane dan Salassae.

Langkane diartikan sebagai istana dan dijadikan sebagai cagar budaya buatan. Langkane atau umah adat langkane menjadi saksi sejarah masa kejayaan kerajaan Luwu. Bangunan ini terbuat dari kayu tanpa tambahan material bangunan lain sebagai penompang.

Pada istana ini terdapat ruangan lapang yang dibangun sebagai tempat Tudang Sipulung. Tempat ini digunakan untuk membicarakan masalah terkait kerajaan maupun rakyat. Pada bagian tengah bangunan ada dua buah kamar yang cukup luas.

Kamar itu diperkirakan sebagai tempat beristirahat bagi Datuk dan raja. Sedangkan pada bagian belakang ada dua kamar yang memiliki ukuran yang lebih kecil dari kamar yang di bagian tengah. Bangunan kedua dinamakan dengan Salassae yakni sebagai tempat pertemuan dan perjamuan bagi tamu istana.

Pada saat memasuki istana, terdapat banyak benda pusaka milik kerajaan Luwu. Beberapa benda pusaka ini di antaranya lemari kaca dan sertifikat milik almarhum Andi Jemma, Pahlawan Nasional RI. Di tempat itu pula, terdapat sepasang boneka manekin yang berpakaian maha Luwu dan pelaminan khas adat setempat.

Tak jauh dari sana ada silsilah dari 23 generasi Pajung e ri Luwu atau pohon keluarga dari Raja Luwu. Sedikit geser dari ruang itu ada benda pusaka berupa keris, guci, keramik, piring antik, alat musik kecapi dan bosara tempat penyimpanan penganan tradisional yang diletakkan dalam lemari kaca.