Daftar isi
Suku Bugis adalah suku bangsa Indonesia yang berasal dari Sulawesi Selatan. Menurut data BPS Tahun 2010, jumlah suku Bugis di Indonesia mencapai 6.359.700 orang atau 2,69 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.
Apa itu Suku Bugis?
Suku Bugis adalah salah satu suku bangsa yang mendiami sebagian besar Jazirah selatan Pulau Sulawesi yang dikenal dengan provinsi Sulawesi Selatan. Dari daerah ini pulalah suku Bugis berasal.
Kata “Bugis” sendiri berasal dari kata To Ugi, yang artinya orang Bugis. “Ugi” sejatinya adalah raja La Sattumpugi yakni raja dari kerajaan Cina pertama yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo.
Rakyat kerajaan ini kerap menamakan atau mengidentikkan dirinya sebagai “Ugi” atau pengikut La Sattumpugi.
Lalu, siapakah La Sattumpugi?
La Sattumpugi adalah ayah We Cudai sekaligus saudara Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Pernikahan antara Sawerigading dan We Cudai melahirkan beberapa anak, salah satunya La Galigo.
Sejarah Perkembangan Suku Bugis
Menurut para ahli, suku Bugis adalah salah satu suku yang tergolong ke dalam bangsa Deutero Melayu atau bangsa Melayu Muda.
Bangsa ini berasal dari Dongson di Vietnam Utara dan masuk ke Nusantara sekitar 500 SM melalui jalan barat yaitu melalui Semenanjung Melayu terus ke Sumatera dan kemudian menyebar ke wilayah Indonesia yang lain.
Keturunan bangsa Deutero Melayu ini berkembang menjadi beberapa suku, termasuk suku Bugis, dan membentuk beberapa kerajaan yang mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri.
Tercatat, ada beberapa kerajaan Bugis klasik yang membentuk suku Bugis antara lain kerajaan Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang.
Masyarakat suku Bugis kemudian berkembang hingga memiliki keterkaitan etnik dengan suku Makassar dan suku Mandar karena adanya proses pernikahan.
Akibat proses ini, kta dapat menemukan beberapa daerah peralihan antara suku Bugis dengan suku Makassar seperti Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan.
Adapun daerah peralihan antara suku Bugis dengan suku Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Hingga kini, orang Bugis tercatat menyebar ke beberapa pulau seperti pulau Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Di luar negeri seperti Malaysia dan Singapura juga dapat ditemui suku Bugis.
Ciri Khas Suku Bugis
Suku Bugis memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari suku lainnya, di antaranya adalah sebagai berikut.
- Suku Bugis dikenal sebagai suku bangsa yang gemar merantau. Karena itu, tak mengherankan jika mereka sangat mahir dalam membuat perahu pinisi.
- Mereka juga mampu mendirikan sebuah kerajaan tanpa ibukota kerajaan sebagai pusat kegiatan.
- Suku Bugis merupakan suku yang mampu menjadikan agama Islam sebagai bagian integral dan penting dalam adat istiadat dan budaya.
- Suku Bugis memiliki karakter keras serta menjunjung tinggi kehormatan.
Pakaian Adat Suku Bugis
Secara umum, terdapat dua macam pakaian adat suku Bugis, yaitu pakaian adat untuk acara tertentu seperti pernikahan dan pakaian tradisional yang dikenakan sehari-hari.
1. Pakaian adat untuk pernikahan
Untuk mempelai wanita, biasanya mengenakan baju bodo berupa kain sarung berwarna cerah dan bermotif kotak-kotak. Asesoris yang dikenakan antara lain perhiasan gelang bersusun, dan kalung. Rambut disanggul dan dihiasi dengan kembang goyang,
Adapun untuk pakaian pengantin pria, pakaian adat yang dikenakan berupa baju jas model tertutup atau baju bella dada, mengenakan rope yakni kain sarung songket, dan pada bagian kepala mengenakan siagra.
Kemudian, di bagian pinggang terselip sebuah keris. Keris yang digunakan biasanya keris pasang timpo, yaitu keris yang separuhnya terbungkus emas atau keris tataroppeng, yaitu keris yang seluruhnya terbungkus emas.
2. Pakaian tradisional yang digunakan sehari-hari
Adapun pakaian tradisional yang digunakan sehari-hari untuk pria adalah baju lengan panjang, kain pelekat, kopiah atau sorban sebagai penutup kepala.
Untuk perempuan, pakaian yang dikenakan adalah baju lengan panjang, kain atau batik, selendang atau bercongko’ sebagai penutup kepala.
Agama yang dianut Suku Bugis
Jauh sebelum masyarakat suku Bugis mengenal agama, mereka memiliki sistem kepercayaan sendiri yakni percaya pada dewa yaitu dewa Seuwae yang berkedudukan di Boting Langit atau langit tertinggi.
Untuk menghormati sang dewa ini, masyarakat suku Bugis biasanya mengadakan ritual dengan cara memberikan sesajen sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Selain percaya pada dewa, masyarakat suku Bugis juga percaya pada beberapa hal berikut.
- Berbagai macam makhluk halus yang menghuni pohon-pohon, puncak gunung, dan persimpangan jalan. Agar makhluk-makhluk tersebut tidak mengganggu, diberikan semacam sesaji.
- Adanya kekuatan gaib pada benda-benda dan objek lainnya, seperti jimat dan makam-makam keramat.
- Manusia jadi-jadian, seperti poppok, parakang, asu patting, salimpo atau pontianak, dan donga.
- Beberapa hewan tertentu yang dapat memberikan firasat suatu keadaan, misal serrak, kupu-kupu, dan cicak.
- Peruntungan berdasarkan hari baik dan hari buruk. Di sini, masyarakat suku Bugis percaya pada ahli kutika untuk mencarikan hari baik ketika akan melakukan sesuatu (hajat atau kepentingan lainnya).
- Bulan Muharram dan Zulkaidah adalah bulan yang harus dihindari untuk melakukan sesuatu (hajat atau kepentingan lainnya) karena dipercaya bisa membawa bencana, jika dilanggar.
Sisa-sisa kepercayaan ini masih ada hingga sekarang, terlihat pada orang To Lotang di Kabupaten Sindenreng-Rappang, dan pada orang Amma Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba.
Setelah agama Islam masuk wilayah tersebut pada abad ke-17 dan diterima oleh sebagian raja-raja di Sulawesi Selatan, hampir sebagian besar masyarakat suku Bugis pun turut menganut agama Islam.
Rumah Adat Suku Bugis
Paling tidak, ada tiga macam rumah adat suku Bugis yaitu sao raja, sao piti, dan bola.
- Sao raja adalah rumah yang ditempati khusus oleh mereka yang berstatus tinggi seperti raja dan keturunannya serta para bangsawan. Rumah ini berukuran besar dan biasanya dibangun bertingkat dengan atap bersusun tiga atau lebih.
- Sao piti adalah rumah yang ditempati oleh kelompok masyarakat menengah. Rumah jenis ini berukuran lebih kecil dibanding rumah bangsawan dengan atap bersusun dua.
- Bola adalah rumah yang ditempati oleh rakyat biasa.
Rumah adat suku Bugis merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Untuk bagian atap biasanya terbuat dari sirap, rumbia atau seng.
Umumnya, rumah adat suku Bugis terdiri atas tiga bagian yaitu rakkeang, ale-bola, dan awaso.
- Rakkeang atau botting langi adalah bagian atas rumah yang terletak di bawah atap. Fungsinya adalah untuk menyimpan bahan pangan, benda-benda pusaka, dan sebagai tempat untuk anak perempuan yang belum menikah.
- Ale-bola atau ale-kawa adalah ruang bagian tengah yang terbagi dalam ruang-ruang khusus, antara lain ruang tamu, ruang tidur, ruang makan, dan dapur.
- Awa bola atau Awasao adalah rumah bagian bawah atau kolong rumah yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan alat-alat pertanian, alat penangkap ikan, kandang ternak, dan lain sebagainya.
Bahasa yang digunakan Suku Bugis
Bahasa yang digunakan suku Bugis dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Ugi atau bahasa Bugi.
Menurut klasifikasi Esser, bahasa Bugis dapat dikelompokkan ke dalam bahasa-bahasa orang Lawu, Sa’dan, Mandar, Pitu Ulunna Sallu, Makasar dan Seko.
Bahasa Bugis juga memiliki beberapa dialek, seperti dialek Bone, Soppeng, Luwuk, Wajo, Bulukumba, Sidenreng, Pare-Pare dan lain-lain.
Orang Bugis juga telah mengenal tulisan sejak berabad-abad yang lalu sehingga memiliki tulisan sendiri yang disebut aksara lontarak.
Yang dimaksud dengan aksara lontarak adalah aksara tradisional yang dimungkinkan berasal dari huruf sansekerta yang ditulis di atas daun lontar.
Kebudayaan Suku Bugis
Kebudayaan suku Bugis dalam hal ini berkaitan dengan sistem kekerabatan, sistem politik, dan sistem ekonomi.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat suku Bugis disebut dengan assiajingeng yang bersifat bilateral yakni sistem kekerabatan yang ditentukan berdasarkan garis keturunan ayah dan ibu.
Sistem ini berkembang dari suatu kelompok keluarga batih atau sianangmaranak yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak dari ayah dan ibu yang hidup dalam sebuah keluarga.
Perlu dipahami pula bahwa dalam sebuah keluarga Bugis, seringkali terdapat anggota keluarga yang lain seperti sepupu dan keponakan dari suami atau istri, nenek, dan kakek.
Anggota keluarga yang lain ini juga dimasukkan sebagai saudara atau sumpung lolo atau seajing. Kelompok kerabat dekat disebut dengan seajing mareppe sedangkan kelompok kerabat jauh disebut dengan seajing mabela.
Terkait dengan pernikahan, masyarakat suku Bugis meyakini bahwa pernikahan yang ideal adalah sebagai berikut.
- Siala massappo siseng yaitu pernikahan antara sepupu sederajat kesatu dan biasa dilakukan oleh kalangan bangsawan untuk menjaga derajat kemurnian darah. Pernikahan semacam ini disebut juga dengan assialang marola atau perjodohan yang sesuai.
- Siang massappo kadua yaitu pernikahan antara sepupu sederajat kedua atau biasa juga disebut dengan asialanna memeng yaitu perjodohan yang baik dan sangat serasi.
- Siala masappo katellu yaitu pernikahan antara sepupu sederajat ketiga atau biasa juga disebut dengan ripasilorongngengi atau ripadeppe mabelae.
Dalam proses pernikahan, pihak laki-laki memberikan mas kawin kepada pihak perempuan yang terdiri atas sompa dan lise’ kawing.
- Sompa adalah persembahan yang disimbolkan dengan sejumlah uang rella’ sesuai dengan status perempuan yang akan dinikahi yang besarannya ditentukan oleh pihak keluarga perempuan.
- Lise’ kawing adalah hadiah perkawinan atau mahar dalam Islam yang diberikan kepada pihak perempuan dalam bentuk uang atau mushaf Al Qur’an.
Prosesi pernikahan yang dilakukan masyarakat suku Bugis juga disertai dengan rangkaian upacara adat yang tidak dapat dilepaskan dari lima unsur pokok sistem adat masyarakat suku Bugis yaitu sebagai berikut.
- Ade’ atau adat yaitu bagian dari pangaderrang yang berfungsi sebagai pandangan hidup bagi masyarakat suku Bugis.
- Rapang atau undang-undang yaitu bagian dari pangaderrang yang bertujuan untuk menjaga serta menjamin kepastian hukum.
- Wari atau perbedaan strata adalah bagian dari pangaderrang yang berfungsi mengklasifikasikan berbagai benda dan peristiwa dalam kehidupan manusia. Misalnya, dalam memelihara garis keturunan dan hubungan kekerabatan antarraja.
- Bicara atau ucapan berarti bagian dari pangaderreng, yaitu mengenai semua kegiatan dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan hukum adat, acara di muka pengadilan, dan mengajukan gugatan.
- Sara’ atau hukum berlandaskan ajaran agama adalah bagian dari pangaderreng, yang mengandung pranata hukum, dalam hal ini ialah hukum Islam.
Sistem Pemerintahan
Sebagai sistem pemerintahan terkecil, sebuah kampung dalam masyarakat suku Bugis memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
- Dipimpin oleh seorang kepala kampung (matowa, jannang, lompo’ toddo’)
- Kepala kampung dibantu oleh sariang dan parennung.
- Gabungan kampung disebut dengan wanua, pa’rasangan atau bori’.
- Gabungan kampung dipimpin oleh arung palili atau sullewatang.
Sistem Ekonomi
Mata pencaharian masyarakat suku Bugis yang tinggal di perkampungan daerah pantai adalah mencari ikan dengan menggunakan perahu layar tipe pinisi dan lambo.
Karena kemahirannya mengarungi lautan luas, suku Bugis dipandang sebagai suku yang mengembangkan kebudayaan maritim sejak abad ke-17.
Mereka juga telah mewarisi hukum niaga pelayaran yang disebut Ade ’allopiloping bicaranna pabbalue yang ditulis oleh Amanna Gappa pada lontar di abad ke-17.
Selain menangkap ikan, masyarakat suku Bugis juga bertani, berdagang, serta membuat beragam usaha kerajinan rumah tangga.
Kesenian Suku Bugis
Beberapa kesenian suku Bugis di antaranya adalah seni kerajinan, seni sastra, seni tari, seni musik, dan seni teater atau seni drama.
1. Seni kerajinan
Salah satu seni kerajinan masyarakat adat suku Bugis yang sangat terkenal adalah seni kerajinan menenun kain sutera atau lipa’ sabbe (lipa’ sengkang).
Kain tenun sutera ini dibuat dengan menggunakan tangan serta peralatan yang masih sangat sederhana.
Selain kain tenun, masyarakat suku Bugis juga mahir dalam membuat beragam jenis senjata tradisional seperti kuawali atau badik, bangkung, bangkung lampe, tomba’ kapa’, dan pisau.
Senjata-senjata tersebut dibuat secara tradisional dan memiliki kegunaan masing-masing seperti berburu, berkebun, bertani, berperang, dan berlayar.
Mereka juga sangat mahir membuat beragam jenis perahu pinisi yakni perahu tradisional yang digunakan suku Bugis untuk berlayar.
2. Seni Sastra
Tidak sedikit naskah sastra kuno atau buku sastra kuno yang dihasilkan masyarakat suku Bugis, di antaranya adalah sebagai berikut.
- Sure’ La Galigo yang isinya penuh dengan mitos dan peristiwa luar biasa lainnya.
- Sure’ Baweng merupakan karya sastra berbentuk syair yang ditulis oleh Arung Pancana Toa
3. Seni tari
Salah satu tarian daerah yang berasal dari Bugis adalah tarian pajaga andi yakni tarian yang ditarikan oleh dua belas penari puteri yang mengenakan pakaian sarung dan baju bodo.
Tarian daerah lainnya adalah genderang bulo yakni tarian yang ditarikan oleh sekumpulan penari yang memegang dua buah tongkat bambu kecil.
4. Seni musik
Masyarakat adat suku Bugis juga memiliki beberapa alat musik tradisional seperti Jajjakang, Mappendendang, Orkes Taurido, dan Rebana.
5. Seni teater atau seni drama
Seni teater yang berasal dari suku Bugis adalah Kondobuleng. Menurut asal katanya, kata Kondobuleng berasal dari kata kondo atau bangau dan buleng atau putih. Dengan demikian, Kondobuleng berarti bangau putih.
Kondobuleng dimainkan secara spontan dengan cerita yang bersifat simbolik, dimainkan dengan gaya lelucon, banyolan, dipadukan dengan gerak stilasi.